Biaya Transportasi Menggerus Uang dari Kota ke Desa
Lebaran tahun ini masyarakat harus menanggung kenaikan biaya transportasi. Selain menambah beban ongkos perjalanan, kenaikan biaya tersebut juga mengurangi aliran dana dari kota ke desa-desa.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
Menjelang Lebaran, sejumlah komponen biaya perjalanan mengalami kenaikan harga. Akibatnya, beban biaya mudik masyarakat meningkat dan berpotensi menggerus aliran uang ke daerah.
Masyarakat antusias melakukan perjalanan mudik pada Lebaran tahun ini setelah dua tahun menahan diri akibat pandemi Covid-19. Merujuk hasil survei Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun ini diprediksi lebih banyak ketimbang tahun 2019, masa sebelum pandemi. Dari 85,5 juta orang yang akan melakukan perjalanan pada Lebaran tahun ini, sebanyak 51,5 juta di antaranya mempunyai tujuan utama mudik. Sementara, jumlah pemudik tahun 2019 hanya sekitar 22,8 juta orang.
Seperti beberapa tahun belakangan, tahun ini kendaraan pribadi juga menjadi moda transportasi pilihan sebagian besar calon pemudik. Kemenhub mencatat, setidaknya ada 22,9 juta orang akan menggunakan mobil pribadi. Sementara, 16,9 juta orang akan menggunakan sepeda motor, dan 6,7 juta lainnya dengan mobil sewa.
Jumlah ini pun meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2019. Kompas mencatat, pada Lebaran 2019 terdapat 3,7 juta unit mobil dan 6,8 juta sepeda motor yang melakukan perjalanan mudik. Penggunaan kendaraan pribadi ini boleh jadi kian diminati lantaran pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berakhir. Berkendara berjam-jam dengan anggota keluarga dinilai lebih aman daripada menggunakan transportasi umum yang memungkinkan kontak erat dengan orang dari sejumlah daerah.
Hanya, tahun ini pengguna kendaraan pribadi dihadapkan dengan biaya transportasi yang kini meroket. Naiknya tarif jalan tol, terutama rute Trans-Jawa telah menanti pemudik dengan kendaraan roda empat.
Sejak awal 2022, empat ruas jalan tol mengalami kenaikan tarif. Pertama, Jalan Tol Dalam Kota Jakarta. Kenaikan tarif sebesar Rp 500 tersebut berlaku sejak 26 Februari 2022 melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No 74/KPTS/M/2022. Kemudian, tarif ruas Jalan Tol Surabaya-Mojokerto dan Gempol-Pandaan juga naik sejak 19 Maret 2022.
Mendekati Idul Fitri, kenaikan tarif pun turut diberlakukan di ruas Jalan Tol Cipali (Cikopo-Palimanan), jalur terpadat saat mudik Lebaran. Berdasarkan Kepmen PUPR No 263/KPTS/M/2022, tarif baru diberlakukan per 30 Maret 2022 di semua ruas jalan tol.
Jika dibandingkan dengan tahun 2019, rata-rata kenaikan tarif di semua rute jalan tol sekitar 12,7 persen. Menurut Kementerian PUPR, kenaikan tarif tersebut sesuai dengan UU No 38 Tahun 2004 dan PP No 15 Tahun 2005 di mana penyesuaian tarif jalan tol dapat dilakukan dua tahun sekali mengikuti besaran inflasi.
Selain kenaikan tarif jalan tol, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi juga menanti para pemudik Lebaran tahun ini. Pemerintah menaikkan harga BBM sejak 1 April 2022 sebagai imbas perang Rusia-Ukraina. Dampak gejolak ini karena Indonesia merupakan salah satu netimportir minyak mentah dunia.
Sejumlah jenis BBM yang mengalami kenaikan harga, antara lain Pertamax, Pertamax turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Harga Pertamax mencapai Rp 12.500 per liter di wilayah Jawa, sedangkan di sejumlah wilayah, seperti Riau, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Batam, mencapai Rp 13.000 per liter.
Jika dirata-rata, harga Pertamax per liter menjadi Rp 12.707, naik 32,23 persen dari tahun 2019. Berikutnya, Pertamax Turbo menjadi BBM nonsubsidi yang naik paling tinggi, yakni 36,69 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara, BBM jenis Dexlite dan Pertamina Dex masing-masing naik 31,61 persen dan 23,43 persen.
Penyesuaian
Kombinasi kenaikan tarif jalan tol dan BBM nonsubsidi memunculkan potensi penyesuaian dana mudik 17-20 persen. Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta, misalnya. Tahun 2019, pemudik merogoh kocek sebesar Rp 426.500 untuk biaya Jalan Tol Jakarta-Yogyakarta. Sementara, dengan asumsi satu liter BBM mampu menempuh jarak 15 km, biaya BBM nonsubsidi yang harus dikeluarkan pemudik sebesar Rp 359.680. Biaya transportasi dari BBM nonsubsidi plus tarif jalan tol sebesar Rp 786.180.
Sementara tahun ini biaya jalan tol di rute yang sama menghabiskan dana Rp 453.500. Alokasi dana untuk BBM nonsubsidi juga naik di tahun ini, yakni mencapai Rp 468.333 untuk rute yang sama. Artinya, total biaya transportasi menjadi sebesar Rp 921.833, atau naik 17,3 persen dari lebaran tahun 2019.
Hal serupa terjadi di rute Jakarta-Surabaya. Jika menggunakan tarif jalan tol dan harga BBM nonsubsidi pada 2019, biaya transportasi mudik lebaran 2019 di rute itu sebesar Rp 1,18 juta. Tahun ini, pemudik harus mengalokasikan dana sebesar Rp 1,4 juta untuk rute tersebut.
Boleh jadi, pemudik akan memilih untuk beralih ke BBM subsidi guna mengurangi biaya perjalanan. Persoalannya, sebelum Lebaran tiba, kelangkaan BBM subsidi sudah terjadi di mana-mana sehingga peluang untuk menggunakan BBM bersubsidi pun menjadi kecil.
Sama-sama melewati jalur darat dan melalui jalur tol, harga tiket bus pun berpotensi naik. Menurut pantauan Kompas, harga tiket bus naik sekitar Rp 20.000-Rp 30.000 dari harga normal. Tak hanya pada transportasi darat, kenaikan harga juga terpantau terjadi pada tiket pesawat. Kenaikan tersebut juga tak bisa dilepaskan dari semakin mahalnya harga minyak dunia yang memengaruhi harga avtur, bahan bakar pesawat.
Pemerintah pun mengizinkan maskapai penerbangan menyesuaikan harga. Pemudik perlu mempersiapkan biaya tiket pesawat 10-20 persen lebih mahal daripada harga normal. Hal tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2022 tentang Biaya Tambahan Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Akhirnya, sejumlah kenaikan tersebut akan membuat proporsi pengeluaran untuk transportasi kian membesar. Merujuk data Statistik Wisatawan Nusantara dari BPS, tahun 2019 proporsi pengeluaran transportasi mencapai sepertiga dari total pengeluaran per perjalanan. Dengan asumsi yang sama seperti tahun 2019, proporsi pengeluaran untuk transportasi tahun ini mencapai separuh dari total pengeluaran per perjalanan.
Uangtercecer
Fenomena penyesuaian anggaran tersebut mengakibatkan aliran dana yang dibawa pemudik dari kota ke desa lebih banyak ”tercecer” di jalan. Manfaat ekonomi mudik bagi daerah pun berpotensi tergerus. Pasalnya, mudik selalu diikuti dengan aktivitas wisata dan kegiatan konsumsi lainnya di kampung halaman. Hal ini mendukung perputaran ekonomi di daerah.
Buktinya, laju pertumbuhan ekonomi pada momentum lebaran yang selalu lebih tinggi dari periode di luar Lebaran. Tahun 2019, momentum Ramadhan dan Lebaran pada bulan Mei-Juni membuat ekonomi triwulan II 2019 tumbuh 4,20 persen. Sektor-sektor yang tumbuh, antara lain, akomodasi dan makan minum yang berkaitan dengan wisata.
Sementara pertumbuhan ekonomi triwulan I-2019 tercatat minus 0,52 persen dan triwulan III-2019 pun hanya 3,05 persen. Fenomena ini terjadi juga pada 2018 dan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut membuktikan, daya ungkit ekonomi dari Lebaran dan mudik cukup kuat. Meskipun sebatas momentum musiman, uang dari kota selalu mengalir ke desa, mendukung usaha-usaha kecil di daerah.
Tahun ini, rasanya ekonomi mudik tidak bisa banyak diharapkan mendukung perekonomian daerah. Kenaikan biaya perjalanan di hampir semua moda transportasi menyebabkan uang dari kota tidak tuntas menetes sampai ke desa-desa. Agar perekonomian di daerah tetap dapat menggeliat, para pemudik harus menyiapkan tambahan dana minimal 20 persen untuk Lebaran tahun ini. (LITBANG KOMPAS)