Pasar ”wadai” menjadi salah satu kekhasan Kota Banjarmasin pada bulan suci Ramadhan. Pasar yang digelar setahun sekali ini menjadi tempat berburu aneka makanan dan minuman untuk berbuka puasa.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Hj Jamilah (50) tampak cekatan memotong kue basah yang masih berada di loyang dengan sebilah pisau saat beberapa pengunjung Pojok Pasar Ramadhan di Lapangan Kamboja, Banjarmasin Tengah, mendatangi stan dagangannya, Senin (18/4/2022) sore.
Ia kemudian mengambil potongan kue itu dengan tangan berbalut kantong plastik, membungkusnya dengan kertas pembungkus makanan, lalu menyerahkannya kepada pembeli. Harga sepotong kue amparan tatak pisang itu Rp 15.000.
Sebagian kue atau wadai dalam bahasa Banjar, yang dijual di stan dagangan Jamilah, masih asing bagi orang luar Kalsel. Jenis kuenya, antara lain, ialah bingka, sari ketan, amparan tatak, keraraban, putri selat, kasusun, putri keraton, tar kelapa, kue lumpur, ipau, kue lapis. ”Ini adalah wadai khas Banjar. Sebagian hanya ada di bulan puasa,” katanya.
Menurut Jamilah, wadai seperti amparan tatak pisang, amparan tatak sagu, keraraban, dan putri selat bisa disebut wadai khas bulan Ramadhan. Semua kue itu termasuk jenis kue basah. ”Di luar bulan puasa, wadai-wadai ini jarang ditemukan,” ujarnya.
Amparan tatak pisang, misalnya, terbuat dari tepung beras dicampur gula pasir, santan, vanili, garam, dan potongan pisang talas. Adonan yang sudah diaduk menjadi satu, kemudian dituangkan ke dalam loyang dan dikukus hingga matang. Rasa kuenya manis dan berlemak.
Jamilah, yang sudah 30 tahunan berjualan wadai, mengatakan, beberapa jenis wadai hanya dibuat pada bulan Ramadhan sebagai ciri khas bulan Ramadhan. Wadai menjadi salah satu santapan wajib untuk berbuka puasa. Tak ada pasar wadai, Ramadhan pun terasa kurang ramai.
Karena itu, wadai menjadi identitas pasar makanan dan minuman yang muncul di Banjarmasin pada bulan Ramadhan. Pasar wadai yang digelar setiap bulan Ramadhan di Banjarmasin dinamakan juga Ramadhan Cake Fair. Kegiatan tersebut menjadi salah satu agenda dalam kalender pariwisata Kota Banjarmasin.
Namun, sejak terjadi pandemi Covid-19 pada 2020, Pemerintah Kota Banjarmasin meniadakan kegiatan pasar wadai. Memasuki Ramadhan tahun 2022, pemkot juga masih meniadakan pasar wadai tingkat kota, tetapi sudah memperbolehkan pasar wadai di setiap kecamatan.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina saat meresmikan Pojok Pasar Ramadhan di Lapangan Kamboja pada 4 April 2022 mengatakan, Pojok Pasar Ramadhan merupakan salah satu pasar wadai tingkat kecamatan di Banjarmasin Tengah. ”Pasar wadai tahun ini dilaksanakan di setiap kecamatan,” katanya.
Di Kecamatan Banjarmasin Tengah terdapat dua lokasi pasar wadai, kemudian Banjarmasin Timur (2 lokasi), Banjarmasin Barat (1 lokasi), Banjarmasin Utara (1 lokasi), dan Banjarmasin Selatan (1 lokasi). ”Tahun ini, pasar wadai tersebar di setiap kecamatan dalam rangka menghidupkan perekonomian warga supaya lebih merata,” ujarnya.
Pemkot Banjarmasin terakhir kali menyelenggarakan pasar wadai pada Ramadhan tahun 2019 di Lapangan Kamboja. Pasar wadai pada tahun itu menyediakan 150 stan untuk pedagang kuliner dan lainnya serta 100 lapak pedagang kaki lima.
Tahun ini, pasar wadai bernama Pojok Pasar Ramadhan di Lapangan Kamboja diselenggarkan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kota Banjarmasin bersama Pemerintah Kecamatan Banjarmasin Tengah. Terdapat 90 stan kuliner dan 10 stan dagang lainnya di Pojok Pasar Ramadhan.
”Pasar wadai itu membuat suasana Ramadhan terasa lebih semarak dan juga sangat memudahkan warga dalam mendapatkan makanan serta minuman untuk berbuka puasa,” kata Budi Santosa (55), warga Banjarmasin.
Kisah ”wadai”
Dalam buku Makna Simbolik dan Nilai Budaya Kuliner ”Wadai Banjar 41 Macam” pada Masyarakat Banjar Kalsel, yang ditulis Neni Puji Nur Rahmawati Musfeptial dan Syarifuddin disebutkan, pembuatan wadai Banjar sangat erat berkaitan dengan kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Banjar kuno, yakni tentang adanya makhluk gaib.
Setiap upacara adat pada waktu itu mengharuskan tersedianya piduduk, yang terdiri dari buah kelapa, gula merah, beras, ketan, dan telur ayam. Dari bahan-bahan itu, masyarakat Banjar membuat wadai tradisional dengan berbagai macam bentuk, warna, dan nama sehingga disebut wadai 41 macam.
”Penyajian wadai 41 macam dimaksudkan sebagai hidangan atau sesaji kepada makhluk-makhluk gaib agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat sehingga masyarakat bisa hidup tenang dan tenteram,” tulis Neni dan kawan-kawan.
Seiring perjalanan waktu dan masuknya berbagai suku ke tanah Banjar, wadai tradisional sedikit demi sedikit mengalami perubahan dalam hal bahan, bentuk, peralatan, ataupun cara pengolahan. Pada bulan Ramadhan, berbagai macam wadai dipasarkan dan diperkenalkan kepada masyarakat luas melalui kegiatan Ramadhan Cake Fair.
”Melalui event tahunan tersebut, masyarakat mengetahui dan merasakan betapa banyak ragam dan nikmatnya kuliner Banjar sehingga mereka selalu merindukan wadai-wadai Banjar,” tulisnya.
Dalam buku Wisata Kuliner Khas Banjar Kalimantan Selatan yang diterbitkan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Provinsi Kalsel disebutkan, wadai khas Banjar kalau dirunut satu per satu bisa lebih dari 41 macam. Penganan khas Banjar tersebut selalu menjadi buruan pada bulan Ramadhan hingga tiba Lebaran.
Pemkot Banjarmasin pun sudah memasukkan pasar wadai dalam kalender pariwisata Kota Banjarmasin. Namun, sejumlah agenda pariwisata terpaksa ditiadakan sejak tahun 2020 karena situasi pandemi Covid-19.
Melalui event tahunan tersebut masyarakat mengetahui dan merasakan betapa banyak ragam dan nikmatnya kuliner Banjar sehingga mereka selalu merindukan wadai-wadai Banjar.
”Pasar wadai di Banjarmasin tidak sekadar menyediakan aneka makanan dan minuman untuk berbuka puasa, tetapi juga menjadi sarana pelestarian kue-kue tradisional khas Banjar untuk para pencinta wisata kuliner,” kata Ibnu Sina saat membuka pasar wadai Ramadhan tahun 2019 lalu.
Waktu itu, Ibnu juga sempat menyebutkan, ada tiga wadai Banjar yang sangat khas sesuai dengan Peraturan Wali Kota Banjarmasin Tahun 2018, yaitu masubah, keraraban, dan ipau. Kemudian kuliner khasnya ialah soto banjar dan nasi astakona. ”Kuliner itu akan terus kami sosialisasikan agar semakin banyak yang menyukai,” ujarnya.