Di Banjarmasin, menjadi bagian dari barisan pemadam kebakaran adalah hal yang membanggakan. Mereka dengan sukarela bergabung ke dalam barisan pemadam kebakaran demi membantu sesama.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
Ada gerakan sosial di Kota Banjarmasin yang tak pernah padam. Gerakan itu berupa barisan pemadam kebakaran swadaya. Jumlah lembaganya ratusan dan anggotanya ribuan orang. Dalam barisan itu, tua-muda menguatkan solidaritas sosial dan mendekatkan diri pada jalan kebaikan.
Sejumlah anak muda cekatan membuka gulungan selang dan menyambungkannya ke mesin pompa portabel di dermaga terapung, Sungai Martapura, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (2/5/2021) sore. Dalam hitungan beberapa menit saja, semua bagian selang tersambung. Begitu mesin pompa dinyalakan, mereka langsung mengarahkan selang penyemprot ke tengah Sungai Martapura seperti sedang memadamkan kebakaran.
Di tepian Sungai Martapura, Minggu sore itu, anak-anak muda yang tergabung dalam barisan pemadam kebakaran (BPK) swasta di Kota Banjarmasin ikut mengetes peralatan pemadam kebakaran. Sambil mengecek kondisi mesin dan peralatan secara berkala, mereka berlatih memadamkan api.
Maulani (18) adalah satu dari banyak anak muda yang bergabung dengan barisan pemadam. Ia aktif di BPK Putra Daha sejak 2019. Saat baru bergabung, ia harus belajar dari nol mulai dari menyambung selang, menyalakan mesin pompa, dan memegang selang penyemprot. Rekan-rekannya dengan senang hati mengajarinya ”Semakin sering turun (tugas pemadaman) jadi semakin terampil,” ujarnya.
Muhammad Nazmi (16), anggota BPK Star 10, juga ikut jadi bagian dari tim pemadam swadaya. Ia baru bergabung di BPK pada Januari 2021, tetapi kini sudah mahir hampir di semua hal. Remaja itu tertarik bergabung ke dalam barisan pemadam setelah banjir besar melanda Kalimantan Selatan, medio Januari lalu. Saat itu, ia bersama beberapa teman ikut mengevakuasi penyintas banjir dan membagikan bantuan bahan pokok.
Banjir kala itu menggenangi permukiman warga hingga sekitar 80 sentimeter. Sebagian lansia dan anak-anak harus dievakuasi. ”Kami membantu evakuasi warga menggunakan perahu karet. Mereka dinaikkan ke perahu, sedangkan kami tetap di air untuk menarik dan mendorong perahu,” kata Nazmi bangga.
Di Banjarmasin, menjadi bagian dari barisan pemadam kebakaran adalah hal membanggakan. Meskipun tugas pemadaman itu menantang dan penuh risiko, warga di Banjarmasin termasuk anak muda tak gentar menjalani. Mereka sukarela bergabung ke dalam barisan pemadam kebakaran demi membantu sesama.
Di luar kegiatan pemadaman kebakaran, mereka banyak terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Misalnya, turut mengatur lalu lintas atau menjaga area parkir ketika hajatan warga atau acara keagamaan. ”Banyak kegiatan sosial dan positif yang dilakukan bersama kawan-kawan di BPK,” kata Maulani.
Apa yang mereka lakukan hanya meneladani para orang tua di lingkungan mereka. Di kota ini, banyak warga yang aktif, bahkan menginisiasi lahirnya BPK. Ahmad Berkati (64), salah satunya. Perintis barisan pemadam kebakaran di Banjarmasin ini telah banyak menghabiskan waktu bekerja sosial saat aktif di BPK.
Menurut Ahmad, awalnya pada 1973, jumlah BPK hanya tiga. Namun, seiring waktu dan bertambahnya kesadaran warga, Banjarmasin kini memiliki 277 BPK. Baginya, gerakan sosial di Banjarmasin berkembang karena rasa keikhlasan. ”Masyarakat Banjar dikenal sangat agamis. Karena itu, banyak yang mau beramal dengan menjadi anggota BPK. Kalau kita ikhlas menolong orang, Insyaallah, itu akan menjadi kebaikan di dunia dan akhirat,” katanya.
Sejarah dan budaya
Sejarah panjang turut memupuk rasa solidaritas sosial itu. Pengajar Progam Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur mengatakan, Banjarmasin memiliki sejarah kelam kebakaran kota dalam kurun waktu 1973, 1976, dan 1978 yang menghanguskan ribuan rumah penduduk.
Peristiwa kerusuhan Kampanye Pemilu, yang dikenal dengan peristiwa Jumat Kelabu 23 Mei 1997 juga menjadi pelajaran berharga. Peristiwa itu mengakibatkan Banjarmasin menjadi lautan api yang memusnahkan hampir seluruh pusat perbelanjaan. ”Kota Banjarmasin waktu itu hampir lumpuh,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, sekurang-kurangnya 133 orang tewas terbakar akibat kerusuhan yang terjadi di Banjarmasin pada Jumat 23 Mei itu (Kompas, 27/5/1997). ”Sejak peristiwa itulah satuan unit pemadam kebakaran di Banjarmasin bermunculan dan termasuk yang sangat besar di Indonesia dari segi jumlah unitnya,” kata Mansyur, yang juga Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan.
Pengajar Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ULM, Setia Budhi, juga melihat ada peran budaya Banjar di dalamnya. Dalam tradisi masyarakat Banjar di perdesaan, misalnya, ada solidaritas. Solidaritas itu bisa muncul dalam hal pertanian yang disebut ”baarian”, yakni kegiatan gotong royong menanam ataupun menuai padi. Ada pula istilah gawi sabumi (bekerja bersama-sama atau bergotong-royong).
”Secara sosial budaya fenomena BPK di Banjarmasin adalah kebangkitan solidaritas bersama untuk menghadapi kebakaran. Solidaritas sosial itu tumbuh dengan akar budaya orang Banjar yang sangat kuat solidaritasnya,” kata Budhi.
Zaman bisa berganti, tetapi semangat solidaritas di warga Banjarmasin telah teruji. Mereka tetap bergerak dengan sukarela untuk membantu sesama. Di dalam jiwa pemadam, api solidaritas tak pernah padam.