Ekspor Serat Abaka dari Talaud Masih Sulit Terealisasi
Ekspor serat abaka di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, sulit terealisasi karena petani kesulitan mendatangkan mesin pemintal benang. Akses infrastruktur ke daerah perkebunan juga sangat terbatas.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Ekspor serat abaka di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, sulit terealisasi karena petani terkendala mendatangkan mesin pemintal benang. Akses infrastruktur ke daerah perkebunan juga sangat terbatas. Padahal, pasar ekspor komoditas ini ke Jepang disebut terbuka lebar.
Jufri Amiman, petani pisang abaka (Musa textilis) di Kecamatan Essang, Talaud, mengatakan, ia dan kelompok taninya mengelola lahan seluas lebih kurang 70 hektar. Jumlah pohon yang tumbuh di lahan itu diperkirakan ratusan ribu batang. Satu batang bisa menghasilkan hingga 1 kilogram serat kering.
”Masalahnya, kami tidak bisa mengelola. Sebagian besar kebun kami ada di samping kuala (sungai). Transportasinya sulit karena kami harus naik rakit dulu untuk ke kebun,” kata Jufri ketika dihubungi via telepon, Senin (18/4/2022).
Infrastruktur pendukung berupa jalan umum mendesak bagi para petani. Sebab, kata Jufri, batang pohon cenderung menyerap air sehingga menjadi terlalu berat untuk dibawa ke pusat pengolahan di kampung. Transportasi dengan rakit pun tidak menjadi pilihan utama.
Menurut Jufri, cara paling efektif menuai potensi maksimal serat abaka di Bumi Porodisa adalah mengadakan pusat pemintalan benang di area perkebunan. ”Jadi, harus mesin yang dibawa ke kebun supaya petani tidak perlu kerja manual lagi,” katanya.
Meskipun demikian, mesin pemintal yang harganya diperkirakan Rp 50 juta itu tidak bisa dengan mudah mereka dapatkan. Menurut Jufri, petani kesulitan mengambil kredit usaha rakyat (KUR). Alasannya, banyak petani yang sudah terikat KUR untuk keperluan lain.
Akibatnya, potensi pasar ke Jepang yang permintaannya mencapai 200 ton serat kering per bulan tidak dapat dipenuhi. Padahal, serat abaka dibutuhkan untuk bahan baku berbagai produk, dari tali tambang, karpet, hingga uang kertas asing, seperti dollar Amerika Serikat, euro, dan yen Jepang.
Kini, petani hanya bisa memanen pisang abaka dari pohon-pohon yang mudah dijangkau. Hasil kerja para petani yang hingga April 2021 baru kira-kira 3 ton per bulan kini hanya diserap di dalam negeri dengan kisaran harga Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram oleh pengusaha di Palembang, yang juga eksportir.
Ekspor langsung dari Talaud pun masih menjadi angan-angan. ”Jaringan pasar ada. Berapa pun barang yang ada, pembeli pasti bayar. Tetapi, seberapa besar kekuatan kami di sini,” katanya.
Balai Karantina Pertanian Manado, sebagai koordinator ekspor produk pertanian di Sulut, bertekad meningkatkan skala produksi serat abaka, terutama memenuhi permintaan pasar internasional. Apalagi, saat ini diperkirakan lahan yang ditumbuhi pisang abaka mencapai 400 hektar dan dikelola ratusan petani.
Kepala Balai Karantina Pertanian Manado Donny Muksydayan Saragih mengatakan, cara pertama merealisasikan potensi ini adalah dengan membantu petani mendapatkan sarana yang dibutuhkan, terutama mesin pemintal. Saat ini, abaka di Talaud hanya memiliki akses ke dua mesin pemintal. Padahal, menurut peta sebaran lahan pisang abaka, kira-kira dibutuhkan 10 mesin tambahan untuk diletakkan di area perkebunan.
”Kami sedang berusaha mencari cara memfasilitasi pengadaan mesin pemintal. Sebenarnya harga mesinnya tidak mahal, tetapi mungkin berat di tingkat petani. Salah satu opsi yang sedang kami teliti adalah KUR, sambil juga mencari program-program instansi lain yang mungkin bisa membantu pengadaan mesin,” kata Donni.
Mesin pemintal, lanjut Donni, merupakan kepentingan petani. Para petani pun diharapkan berupaya mendapatkan mesin itu baik sendiri maupun berkelompok agar tumbuh rasa memiliki dan tanggung jawab. Namun, pemerintah tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja jika ingin ekspor terealisasi.
”Sebenarnya bisa saja jika tiga atau lima petani berkelompok untuk urunan dan membeli mesin pemintal. Tetapi, itu akan kami bicarakan lebih lanjut. Setelah Lebaran, kami berencana mengundang para petani dan instansi, seperti Bank Indonesia, Bea Cukai, dan bank-bank penyedia KUR, untuk selesaikan persoalan ini,” ujar Donni.
Jika persoalan sarana produksi telah terpecahkan, menurut Donni, serat abaka dari Talaud tidak hanya akan terserap oleh industri di Palembang, tetapi juga bisa diekspor langsung secara kontinu sesuai kuota yang diminta pembeli. Sebab, kualitas dan persyaratan untuk akses ke Jepang sebagai negara tujuan utama tidak sulit untuk dipenuhi.
Serat abaka juga akan dapat memenuhi kebutuhan lokal di Sulut. Saat ini, komoditas itu dimanfaatkan untuk membuat berbagai produk kerajinan tangan di Sulut. Tjahyani (57), perajin di Manado, menggunakan serat pisang abaka untuk membuat tas tenun. Produk-produknya kerap ditemui di pameran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan harga Rp 50.000-Rp 400.000 per kerajinan.
Serat abaka yang diduga merupakan tanaman endemik di Kepulauan Talaud, Sangihe, dan juga wilayah selatan Filipina juga digunakan untuk membuat kain tenun kofo khas Nusa Utara. Kain tenun itu kini masuk di antara 33 produk tekstil tradisional yang dilindungi.