Abaka yang berguna sebagai bahan baku tekstil dan bahkan uang kertas asing potensial dikembangkan di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Namun sampai saat ini belum tergarap optimal.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Petani pisang abaka di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, mengeluhkan perhatian pemerintah yang kurang terhadap pengembangan komoditas serat abaka yang berguna sebagai bahan baku tekstil dan bahkan uang kertas asing. Ketersediaan bahan baku dan keterampilan mengolahnya masih sangat terbatas.
Keluhan ini datang salah satunya dari Jufri Animan, petani pisang abaka (Musa textilis) dari Kecamatan Essang, Kepulauan Talaud. Ia memiliki kebun pisang abaka seluas 2 hektar yang ditumbuhi sekitar 6.000 batang tanaman. Ketika panen setiap empat bulan, satu batang bisa menghasilkan 1 kilogram serat abaka. Sekali waktu, panen bisa mencapai 3 ton.
“Saya dapat pasar di Palembang, Sumatera Selatan, buat bahan baku karpet. Pernah juga saya coba titip teman jual ke Jepang untuk pabrik bubuk kertas. Tapi permintaannya sampai 200 ton tiap bulan. Mau cari di mana sebanyak itu?” kata Jufri melalui sambungan telepon, Jumat (30/4/2021).
Ia memperkirakan, ada setidaknya 200 hektar kebun pisang abaka di Pulau Karakelang sebagai pulau terbesar di Talauad. Sebab, banyak keluarga yang memiliki 10-50 rumpun (30-150 batang) pisang abaka. Angka itu sudah cukup untuk memenuhi permintaan pasar lokal untuk serat abaka dari Talaud yang sementara kira-kira 6-9 ton setiap bulan.
Namun, harga serat abaka saat ini sekitar Rp 20.000 per kg, kerap tak cukup untuk menutup biaya produksi. Di Essang misalnya, yang terletak di utara Pulau Karakelang, petani harus mengangkut pelepah melewati jalan rusak menuju pusat pengolahan untuk mengubahnya menjadi serat.
Pusat pengolahan pun masih sedikit. “Seandainya pemerintah masuk untuk memberi mesin kepada kelompok tani, pasti komoditas ini lebih berkembang. Selama ini warga belum terlalu minat karena harganya tidak bagus dan pasarnya masih terbatas,” ujar Jufri.
Petani lain, Alwin Atini, mengatakan, harga yang tak kompetitif menyebabkan petani pisang abaka di Talaud lebih banyak mengusahakan komoditas lain seperti kopra. Pisang abaka tidak dirawat dan dipanen. “Padahal, kalau tidak dipanen, batang abaka bisa membesar dan tidak menghasilkan banyak serat,” kata dia.
Upaya budidaya untuk memperbanyak pisang abaka belum banyak. Akibatnya, keterampilan masyarakat mengolah serat abaka untuk juga masih lemah, termasuk untuk membuat produk-produk seperti baju atau tas bagi pasar lokal Talaud. “Perlu ada pelatihan keterampilan mengolah serat abaka sehingga masyarakat dapat nilai tambah,” ujar Alwin.
Menurut Jufri, serat abaka bisa menjadi bahan dasar bagi usaha kecil hingga industri tekstil. Eksperimennya juga menunjukkan serat abaka bisa menjadi substitusi bagi kapas. Negara peminat pun tak sedikit, antara lain Inggris dan Jepang.
Jufri pun berharap ada pihak-pihak yang bisa masuk ke Talaud, seperti investor, untuk bekerja sama dengan warga memanfaatkan serat abaka. “Peluangnya besar. Abaka ini dilempar ke tanah saja sudah bisa tumbuh. Mati satu bisa tumbuh seribu,” ujarnya.
Kepala Kantor Karantina Pertanian Manado Donni Muksydayan Saragih mengatakan, serat abaka dibutuhkan sebagai bahan baku berbagai produk selain tekstil, seperti tali tambang dan karpet. Bahkan, serat ini digunakan sebagai bahan baku uang kertas seperti dollar Amerika Serikat dan Euro.
Peluangnya besar. Abaka ini dilempar ke tanah saja sudah bisa tumbuh. Mati satu bisa tumbuh seribu
Menurut Donni, Abaka merupakan tanaman yang banyak tumbuh liar di Talaud. Upaya budidaya sudah mulai diperbanyak. “Jelas, ini adalah produk unggulan dari Talaud selain kelapa, kopra, cengkeh, dan pala. Serat abaka dari Talaud sudah pernah diekspor ke Inggris pada 2019 dan Jepang pada 2020,” kata dia.
Karena itu, Donni berkomitmen mengembangkan komoditas ini sambil mencarikan pasar eskpor untuknya. Apalagi, sebagai koordinator ekspor pertanian, Balai Karantina Pertanian Indonesia mendapat target meningkatkan ekspor hingga 20 persen tahun ini.
“Kami akan lebih sering mengunjungi sentra petani dan berkoordinasi dengan pelaku usaha. Kerja sama dengan pemkab juga sangat penting untuk menggenjot ekspor,” ujar Donni.
Pemkab Kepulauan Talaud belum menjawab permintaan wawancara. Namun, sejak pertengahan April 2021, Pemkab Kepulauan Talaud memulai program penanaman jagung di 18 kecamatan dan 103 desa/kelurahan. Total luas lahan mencapai 85,35 hektar. Program itu dibuka secara simbolis oleh Wakil Bupati, Moktar Parapaga.
Bagi Jufri, program itu justru aneh karena pemerintah lebih suka memperkenalkan tanaman baru kepada petani Talaud ketimbang mengembangkan potensi lokal. “Misalnya, karena pala jadi unggulan di Siau, kami juga jadi ikut tanam Pala. Padahal tidak mungkin kami mengalahkan pala siau. Potensi serat abaka ini justru belum ada yang menyaingi di Sulut,” kata Jufri.