Kenal lewat Medsos, Anak SD di Baubau Jadi Korban Pencabulan
Seorang anak SD menjadi korban pencabulan oleh seorang remaja yang baru dikenalnya di Baubau, Sultra. Mereka berkenalan lewat media sosial.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·2 menit baca
KENDARI, KOMPAS Seorang anak kelas 6 SD berusia 11 tahun di Baubau, Sulawesi Tenggara, menjadi korban pencabulan remaja bernisial TA (19) yang baru dikenal di media sosial. Berulangnya kasus serupa menunjukkan minimnya pengawasan bersama dan lemahnya posisi perempuan dan anak di masyarakat.
TA, warga Wolio, Baubau, itu ditangkap polisi pada Rabu (6/4/2022) siang. Dia ditangkap dua hari setelah mencabuli korban di rumah temannya. ”Pelaku dan korban berkenalan lewat media sosial dan janjian bertemu. Pelaku lalu mengajak korban ke rumah temannya. Di situ, pelaku mencabuli korban,” kata Kepala Polsek Wolio Inspektur Satu Sunarton.
Atas laporan korban, orangtuanya segera mendatangi polisi. Setelah menerima laporan itu, polisi lantas menangkap pelaku. TA disangkakan Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ia terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Kasus ini menambah muram wajah kekerasan seksual di Sultra, Sebelumnya, NF (21), seorang perempuan, juga warga Baubau, diperkosa SA (47), pamannya, selama 13 tahun atau sejak berusia 8 tahun.
Tidak hanya di Baubau, April 2021, seorang pria memerkosa anak tirinya yang masih berusia 12 tahun. Korban yang masih duduk di bangku SMP itu bahkan diketahui hamil.
Di Konawe, anak 12 tahun diperkosa tiga pemuda. Kurangnya pengawasan bersama, dan tidak terjaminnya keselamatan anak dan perempuan membuat kasus kekerasan seksual terus terjadi.
Yustina Fendritta dari Yayasan Lambu Ina yang kerap mendampingi kasus kekerasan seksual di Kepulauan Sultra menyampaikan, sebagian besar kasus dilakukan orang yang dikenal korban. Mereka antara lain keluarga dekat, guru, dan tetangga. Namun, tidak menutup kemungkinan orang yang baru dikenal juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, terutama terhadap anak.
Hal ini terjadi, terang Yustina, akibat lemahnya pengawasan bersama, dan lemahnya posisi perempuan dan anak di masyarakat. Pola pikir yang menempatkan perempuan di posisi lemah membuat kasus kekerasan butuh waktu lama terungkap. Terlebih lagi, media sosial kini menjadi kebutuhan sehari-hari dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bersama.
Menurut Yustina, salah satu hal yang melanggengkan kekerasan seksual terhadap anak karena banyaknya kasus tidak tertangani maksimal, mulai dari proses pelaporan hingga persidangan. Selain itu, anak juga kerap terstigma sebagian masyarakat.
Oleh sebab itu, ia melanjutkan, aparat kepolisian harus memberikan hukuman maksimal terhadap pelaku. Pencegahan dari semua pihak juga harus dilakukan dengan penyadaran atau pemberian pemahaman secara berkesinambungan. Tujuannya, melindungi para perempuan, khususnya anak, yang begitu sering menjadi korban kekerasan seksual.