Anak Korban Pemerkosaan di Aceh Timur Belum Didampingi Konselor
EM, anak korban pemerkosaan di Aceh, belum didampingi tenaga konselor. Aceh kini darurat kekerasan seksual pada anak tetapi upaya pencegahan dan pendampingannya masih minim.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — EM (15), korban pemerkosaan, di Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, belum didampingi konselor. Pemerintah setempat mengaku kewalahan mendampingi korban karena kekurangan tenaga konselor.
EM adalah korban pemerkosaan IW (60) dan MD (55). Keduanya adalah tetangga korban. Akibatnya, EM kini hamil delapan bulan. Pascakejadian, dia terpaksa tinggal bersama kakaknya. Sementara ibunya merantau ke Malaysia untuk bekerja.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Aceh Timur Resmiwati, yang dihubungi, Kamis (7/4/2022), menuturkan, pihaknya hanya memiliki satu konselor untuk mendampingi anak-anak korban korban kekerasan seksual. Salah satu penyebabnya, kekurangan anggaran sehingga tidak dapat menambah tenaga konselor.
”Kami butuh empat tenaga konselor, tetapi kemampuan anggaran hanya mengontrak satu orang,” kata Resmiwati.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani mengatakan, keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala pencegahan, perlindungan, dan pemenuhan hak korban tidak berjalan maksimal. Nevi berharap kepala daerah kabupaten atau kota memosisikan persoalan anak sebagai prioritas dalam agenda pembangunan.
Presidium Balai Syura Inong Aceh, yang kerap mendampingi kasus kekerasan, Suraiya Kamaruzzaman menuturkan, upaya perlindungan terhadap anak di Aceh masih lemah. Kasus-kasus baru terus bermunculan. Berdasarkan data DP3A Aceh, kekerasan terhadap anak sepanjang 2018-2021 terjadi 3.352 kasus. Sebanyak 743 kasus di antaranya pelecehan seksual dan 392 kasus lainnya adalah pemerkosaan.
Suraiya menambahkan, lemahnya dukungan anggaran dan keterlibatan tokoh agama, tokoh adat, serta tokoh masyarakat juga menjadi catatan penting. Ditambah minimnya komitmen kepala daerah melindungi anak dan memenuhi hak korban kekerasan seksual membuat hak korban belum terpenuhi, seperti pendampingan dan pemulihan trauma.
Suraiya juga menilai hukum belum sepenuhnya berpihak kepada korban. Dalam beberapa kasus yang dijerat menggunakan Qanun/Perda Hukum Jinayah, pelaku justru divonis bebas oleh hakim pengadilan Mahkamah Syariyah di Aceh.
Padahal, Suraiya mengatakan, penderitaan korban sangat panjang. Trauma dan stigma dialami korban. Suraiya pernah menemukan kasus, korban dan keluarga terpaksa pindah dari desa lantaran terus mendapat stigma buruk.