Masyarakat Adat Ingin Lebih Dilibatkan dalam Pariwisata Danau Kelimutu
Balai Taman Nasional Kelimutu didorong memperluas kolaborasi dengan masyarakat adat lokal. Warga sekitar danau mesti lebih dilibatkan dalam menjaga dan melestarikan danau.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
ENDE, KOMPAS — Balai Taman Nasional Kelimutu di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, didorong memperluas kolaborasi dengan masyarakat adat di sekitarnya untuk menjaga, merawat, dan melestarikan hutan di sekitar kawasan danau. Wisatawan yang mengunjungi Danau Kelimutu pun bisa diarahkan mengunjungi desa-desa adat sekitar danau sehingga meningkatkan geliat pariwisata di kawasan tersebut.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nusa Bunga Flores, Philipus Kamy, dihubungi di Ende, Senin (4/4/2022), mengatakan, ada24 desa di sekitar Danau Kelimutu. Sebelum Balai TN Kelimutu hadir mengelola kawasan danau, masyarakat adat setempat terlebih dahulu membangun hubungan khusus dengan tiga danau itu melalui ritual adat yang digelar rutin setiap tahun oleh para tetua adat.
”Karena itu hubungan masyarakat adat dengan danau itu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Memang ada ritual adat Patika yang digelar setiap 14 Agustus. Tetapi, itu saja tidak cukup. Pihak Balai Taman Nasional Kelimutu mestinya berkolaborasi dengan masyarakat adat secara lebih intensif melalui sejumlah kerja sama,” kata Kamy.
Selain itu, Peraturan Daerah Kabupaten Ende Nomor 2 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan, Pengakuan, dan Perlindungan terhadap masyarakat adat antara lain juga mewajibkan setiap lembaga yangmengelola sumber daya alam di dalam kewenangan masyarakat adat, perlu membangun kerja sama dengan masyarakat adat lokal. Perda ini mewajibkan pengakuan terhadap masyarakat adat sekitar danau oleh Balai TN Kelimutu.
Menurut Kamy, sejumlah kasus kebakaran hutan, perburuan satwa, penebangan dan pengambilan hasil hutan kayu sekitar kawasan, antara lain akibat kurangnya peran serta masyarakat adat dalam menjaga maupun melestarikan kawasan Danau Kelimutu. Keterlibatan masyarakat adat, tidak hanya menjaga dan melindungi, tetapi ikut melakukan penghijauan dan rehabilitasi hutan yang rusak.
Jika dilibatkan, warga akan merasa memiliki dan berusaha merawat lingkungan. Masyarakat pun menyadari bahwa hutan yang lestari dan terlindungi memberi sumber air-sumber air sepanjang tahun, kerindangan, dan membebaskan mereka dari ancaman bencana.
Sejumlah kasus kebakaran hutan, perburuan satwa, penebangan dan pengambilan hasil hutan kayu sekitar kawasan, antara lain akibat kurangnya peran serta masyarakat adat dalam menjaga ataupun melestarikan kawasan Danau Kelimutu.
Sementara itu, Kepala Balai TN Kelimutu Hendrik Rani Siga mengatakan, dari sisi pemberdayaan, setiap tahun pihaknya punya agenda khusus dalam berbagai bentuk yang tersebar di 24 desa tempat kelompok-kelompok adat itu bermukim. Pemberdayaan tersebut seperti pengembangam kebun edelweis, kebun stroberi, pembinaan UMKM, dan pembangunan lapak-lapak di sekitar parkiran danau.
”Kalau Anda datang ke Danau Kelimutu melihat ada lapak berjualan di lokasi parkiran danau, kemudian ada masyarakat lokal berjualan di sana, itu salah satu contoh dukungan kami,” kata Hendrik.
Kemudian, dari sisi perlindungan kawasan, ada masyarakat peduli api. Selain itu ada mitra Polhut Kelimutu yang terlibat dalam patroli bersama hingga pemantauan potensi konflik batas taman. ”Beberapa waktu lalu ada warga mengklaim lahan beberapa hektar, tetapi dengan kemitraan konservasi ini, masalah itu sudah diatasi. Kami terus bangun komunikasi dengan warga terkait konservasi ini,” kata Hendrik.
Balai TN Kelimutu pun membentuk 22 forum masyarakat adat yang berperan aktif menjaga dan merawat budaya lokal di sana. Kegiatan mereka ini berpuncak di Danau Kelimutu yang disebut ritual adat ”Patika”. Ke depan, 22 forum masyarakat adat ini akan saling mengunjungi desa masing-masing, mengadakan festival budaya di desa itu secara bergilir, sebelum kegiatan puncak ”Patika” di Danau Kelimutu. Kegiatan ini untuk membangun keharmonisan hubungan antarkampung.
Mengenai kunjungan wisatawan ke rumah-rumah adat di 24 desa itu, Hendrik mengatakan, hal itu menjadi peran instansi teknis pemerintah lokal, seperti Dinas Pariwisata yang bisa menggandeng pengelola biro perjalanan wisata. Namun, untuk mendukung program itu, infrastruktur jalan menuju desa harus dibangun aman dan layak. Selain itu, jaringan internet dan desa-desa perlu ditata lebih baik.
Kepala Desa Pemo Kecamatan Kelimutu Saverius Peme Rada mengatakan, perhatian Balai Taman Nasional Kelimutu sudah cukup seperti dukungan usaha souvenir, agrowisata, dan rumah pohon. Selain itu, ada inisiatif pembangunan homestay sebanyak satu unit per desa, jaringan internet, listrik, dan air bersih. Sejauh ini, sudah ada 12 homestay milik warga disiapkan bagi wisatawan.
Hanya jalan masuk desa yang masih buruk. Jalanan tersebut berupa tanah karena aspal sudah terkelupas. "Tetapi Balai Taman Kelimutu telah membangun jalur tracking untuk wisatawan menuju desa kami. Sebelum pandemi Covid-19, wisatawan asing cukup banyak masuk desa ini, tetapi saat ini sudah sepi. Mudah-mudahan ke depan, pandemi selesai sehingga wisatawan bisa datang lagi,” kata Peme Rada.
Ia mengatakan, setiap bulan Oktober juga diselenggarakan festival budaya di desa itu, Demikian pula desa-desa lain di sekitar danau juga menggelar festival budaya sebelum berlangsung ritual budaya “Patika” di tepi Danau Kelimutu.
“Perhatian Balai TN Kelimutu sudah cukup tetapi dari sisi sumber daya masyarakat kami, itu yang perlu ditingkatkan seperti penguasaan bahasa asing hingga kreasi mengolah suvenir. Kemajuan wisata ini sangat ditentukan oleh SDM warga setempat termasuk membangun pola hidup berjiwa wisata,” kata Peme Rada.