Surga Tersembunyi di Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Senin (20/5/2019) pukul 10.30 Wita, jalan dari Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, menuju Desa Tuamese tampak lengang. hanya ada beberapa sepeda motor melintas dari arah Atapupu menuju Wini, perbatasan dengan Oecussi, Timor Leste.
Danau Tuamese terletak di sebelah selatan dari jalan Atapupu-Wini-Oecussi. Sekitar 2 kilometer selewat Desa Ponu di Kecamatan Kakuluk Mesak, Belu, pengunjung harus berbelok ke arah selatan, yakni arah pantai, menuju danau. Jalanan masih berupa jalan tanah, penuh debu dan bebatuan. Di musim hujan pengendara harus waspada karena jalanan menjadi lautan lumpur. Ban kendaraan bisa terperosok dan terbenam lumpur liat.
Di sepanjang jalan tampak rumah-rumah warga yang masih tradisional. Atap dan dinding rumah terbuat dari pelepah lontar. Ukuran rumah rata-rata sekitar 4 x 6 meter persegi. Di ruang nyaris tak bersekat itu mereka tidur, memasak maupun menerima tamu.
Tidak ada papan petunjuk yang menunjukkan arah danau dan berapa jarak dari jalan utama. Pengunjung harus beberapa kali bertanya karena ada beberapa belokan di jalan setapak. Saat bertanya pun harus menyebut nama Raja Ampat. Nama Danau Tuamese tidak dikenal warga.
Nama Raja Ampat digunakan media lokal karena pemandangan danau itu mirip wilayah Raja Ampat di Papua. Istilah itu beredar dari mulut ke mulut di kalangan warga Tuamese. Danau tersebut baru dikenal pada pertengahan tahun 2018.
Danau tersebut berada di balik bukit setinggi sekitar 40 meter. Saat mendaki bukit, pengunjung harus hati-hati menjejakkan kaki. Belum ada undak-undak dan batu tumpang mudah berguling jika diinjak.
Sesampai di puncak bukit, barulah danau terlihat. Panorama alam tampak sangat indah. Air di tiga laguna Tuamese tampak biru. Ketiga laguna berdempetan, dibatasi daratan sempit dan bukit-bukit kecil.
Danau ini mirip pulau Padar di Manggarai Barat. Bedanya, kalau Pulau Padar berbatasan langsung dengan laut, maka Danau Tuamese berada sekitar 2 kilometer dari bibir pantai.
Dari bukit Tuamese terlihat Laut Timor. Saat mendung, pelangi tampak menggelayut di kaki langit pantai Tuamese. Pada senja hari, burung-burung pantai kembali ke sarang dengan cericit bersahutan.
Terkait sebutan Raja Ampat bagi Danau Tuamese, Aleks Ludji (49), warga Desa Tuamese, berupaya menolak nama itu. “Kalau ada pertemuan desa, saya ajak warga agar jangan pakai lagi nama Raja Ampat. Kami mau gunakan nama asli, Danau Tuamese,” katanya.
Menurut Ludji, Air danau berasal dari laut. Airnya terasa asin. Meski demikian, danau ini tidak pernah kering saat air laut surut.
Belum disadari
Sampai kini potensi Danau Tuamese belum disadari pemerintah daerah maupun warga setempat. Padahal, jika dikembangkan danau ini bisa menjadi destinasi wisata di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Sejauh ini belum ada papan petunjuk bagi pengunjung yang hendak menuju danau, jalan masih buruk dan belum ada undak-undakan menuju puncak bukit. Perjalanan ke danau sebaiknya dilakukan pada siang hari. Kondisi jalan masih berupa jalan tanah, di beberapa titik ada pepohonan di tengah jalan. Pengemudi harus waspada agar badan mobil tidak bergesekan dengan batang pohon.
Mama Marince Ludji (45), warga Desa Tuamese, menuturkan, danau mulai dikunjungi sejumlah orang dari Kupang akhir tahun 2018. Sejak itu, setiap bulan ada sejumlah pengunjung datang untuk berfoto dan menikmati pemandangan sekitar danau.
“Belum banyak orang Timor mengenal tempat ini. Kami juga tidak tahu kalau itu sebuah danau. Kami hanya tahu bahwa ada kubangan air yang merupakan bagian dari laut,” katanya.
Meski danau ini berada di wilayah Timor Tengah Utara (TTU), tetapi lebih mudah dijangkau dari Atambua (Belu) dibanding dari Kefamenanu (TTU). Jarak Tuamese-Kefamenanu sekitar 100 kilometer, sedangkan jarak Tuamese– Atambua hanya 20 kilometer.
Saat ini, pengunjung bisa menikmati danau secara cuma-cuma, tidak ditarik tiket masuk. Pengunjung hanya perlu membayar parkir.
“Dulu parkir kendaraan gratis, tetapi karena ada anak nakal yang sering mencoret bodi kendaraan dan mengempiskan ban, sekarang kami yang jaga kendaraan pengunjung. Tarifnya Rp 10.000 per kendaraan, tetapi kadang terserah pengunjung karena ini tanpa karcis,” kata Ludji.
Suku Sabu
Sebagian besar warga Desa Tuamese berasal dari suku Sabu. Hal ini terlihat dari penggunaan nama marga Sabu seperti Ludji, Riwu Kaho, Dimu, dan Malehere. Mereka mendiami pantai Tuamese sejak ratusan tahun silam.
Mata pencaharian penduduk selain bertani lahan kering adalah memasak garam tradisional, membuat gula dan arak dari air nira lontar.
Penduduk memanfaatkan pohon lontar yang berderet di sekitar danau dan tepi pantai Laut Timor sebagai sumber air nira. Setelah disadap, air nira dijual langsung, atau diproses menjadi gula merah, gula air, gula semut maupun arak.
Karena itu, selain menikmati pemandangan danau dan laut, pengunjung dapat menyaksikan aktivitas penyadap di atas pohon lontar setinggi 25 meter. Mereka mengiris bulir muda lontar untuk mendapatkan air nira. Wadah air nira tergelantungan di ujung bulir dan pinggang penyadap.
Nira lontar yang diambil pada pukul 05.00 – 08.00 Wita jauh lebih manis dibanding yang diambil lebih siang. Pengunjung juga bisa menyaksikan warga memproses air nira menjadi gula maupun arak.
Warga Tuamese menyebut arak dengan sebutan moke. Arak dihargai Rp 15.000 per botol ukuran 250 ml. Namun, sebagian besar penyadap menjual arak dalam jeriken seharga Rp 100.000, kalau dipindahkan, setara dengan delapan botol. Di Kupang, arak tersebut dijual dengan harga Rp 40.000 – Rp 70.000 per botol.
Jika Anda mencari petualangan baru, berburu pemandangan alam yang masih murni, mari berwisata ke Tuamese. Menikmati surga Danau Tuamese serta manisnya gula nira.
(KORNELIS KEWA AMA)