Keseimbangan Danau Kelimutu dalam Balutan Tradisi Lokal
Danau Kelimutu di Nusa tenggara Timur yang tersohor dengan keindahan tiga warnanya, menyimpan kearifan lokal yang diyakini mampu menjaga keharmonisan alam dan manusia.
Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, tidak saja menampilkan keindahan tiga warna yang selalu berubah. Danau yang berada di puncak Gunung Kelimutu itu diyakini sebagai berkumpulnya para arwah dari suku Lio di Ende dan Sikka. Ritual tahunan “Pati Ka Du,a Bupu Ata Mata” digelar di sana sebagai kearifan lokal dalam membangun keharmonisan alam danau, para leluhur, dan manusia sekitarnya.
Suara burung Garugiwa, burung endemik di Danau Kelimutu, menggema dari kejauhan mengiringi langkah para tetua menuju pelataran ritual adat. Para tetua adat mengenakan pakaian adat khas suku Lio Ende, yakni kain tenun, sarung, baju, dan ikat kepala.
Upacara adat “Pati Ka Du,a Bupu Ata Mata”, atau lebih sering disebut “Pati Ka”, merupakan ritual memberi makan kepada para arwah penghuni danau. Upacara adat rutin digelar setiap menjelang 17 Agustus, sejak tahun 2000. Biasanya ditentukan para tetua adat atau “mosalaki”, antara 13-15 Agustus. Tahun ini, "Pati Ka" digelar, Sabtu (14/8/2021).
Kebesaran pakaian adat Suku Lio Ende yang dikenakan para tetua adat itu menyatu dengan keelokan dan keangkeran danau, keunikan fauna, flora, keindahan bebatuan, dan alam Kelimutu. Gerak langkah mereka pun sangat hati-hati, sopan, dan penuh pengharapan karena kawasan yang sedang diinjak adalah kawasan yang diyakini sakral, tempat perlindungan sekaligus pembawa malapetaka.
“Kebaikan dan keburukan ada di sini. Tanah dan segala isinya di Kelimutu memiliki kekuatan, dan selalu berkorelasi dengan alam dan arwah-arwah sebagai penghuni Kelimutu. Sebelum pemerintah menetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, 10 Oktober 1997 wilayah itu sangat sakral. Tumbuh-tumbuhan dan hewan jenis apa pun tidak boleh diambil,” kata Peme Rada, ketua adat, atau “mosalaki” suku Lio dari Desa Peme Kecamatan Kelimutu, Minggu (22/8/2021).
Baca juga : Tujuh Hal Menarik yang Bisa Anda Temukan di Danau Kelimutu Flores
Langkah para tetua adat itu seakan mengikuti irama panggilan burung Garugiwa penghuni danau yang oleh warga lokal lebih dikenal sebagai burung arwah. Konon, arwah suku-suku di sekitar danau, khususnya suku Lio yang ada di Ende dan suku Lio di Sikka, berkumpul di dalam kawah tiga danau itu. Keberadaan Garugiwa yang diyakini sebagai penjelmaan dari para arwah, mendominasi jenis burung di sana.
Sebelum menuju pelataran adat Kelimutu, para tetua adat ini berkumpul di rumah adat, di Kampung Pemo, sekitar 1 km dari pelataran. Mereka membacakan doa-doa adat, serta mengungkap kesalahan dan penyesalan kepada leluhur, dipimpin Peme Rada.
Sekitar 25 mosalaki dari sembilan desa ini bergerak menuju pelataran tempat persembahan, dengan pakaian adat lengkap. Lokasinya di “Olangari” atau tempat persinggahan, pertemuan manusia, alam, dan leluhur, sebelum menuju puncak tertinggi Kelimutu. Seharusnya ada 21 desa yang terlibat tetapi karena pandemi Covid-19, jumlah desa dibatasi sembilan saja.
Di tanah datar itu mereka mengambil posisi duduk melingkar. Musik gong dan kendang terus dibunyikan, mengiringi lagu-lagu adat yang dibawakan para tetua adat setempat. Saat itu pula, hewan kurban berupa seekor babi pun disembelih sebelum didoakan secara adat. Jenis hewan kurban ditentukan sesuai pentingnya permohonan dan masalah yang dihadapi. Ujud utama kegiatan kali ini, yakni kemunculan air Danau Ata Bupu yang telah setahun mengering.
Baca juga : Wisatawan Mulai Mengunjungi Danau Kelimutu
Darah babi yang keluar pertama direciki pada “Tubuh Musuh” atau batu perjanjian, berjumlah tiga buah, terletak 50 meter dari ketiga kawah gunung. Tubuh artinya bumi, dan Musuh berarti Tuhan. Mereciki Tubuh Musuh, pertanda seluruh alam Kelimutu telah diharmoniskan kembali.
Perjanjian sakral
Perjanjian antara para leluhur, wujud tertinggi, alam semesta, dan manusia, terungkap dalam perecikian dan pemberian sesajian. Perjanjian itu diyakini menghasilkan keseimbangan atau keharmonisan hidup, saling menjaga dan menghormati. Manusia berperan penting dalam perjanjian ini.
Saat perecikan, batu hitam masing-masing berdiameter sekitar 1,5 meter, didekati hanya tiga “mosalaki” dari tiga kampung, yakni Pemo, Nua Muri, dan Kampung Tenda. Mereka adalah kampung tertua di sekitar danau.
Di kawasan “Olangari”, ada rumah adat besar, “Sao Ria”. Di sini, semua orang boleh duduk dan beristirahat. Di samping Sao Ria ada “Sao Keda” atau rumah pertemuan para “mosalaki” atau ketua adat dari setiap kampung, yang tidak boleh dimasuki rakyat biasa.
Garugiwa sangat sulit dilihat manusia, kecuali memperdengarkan suaranya kepada orang sekitar. Setiap pengunjung terutama tamu yang baru, pun selalu disambut dengan suara burung itu.
Daging hewan kurban kemudian direbus tanpa garam dan bumbu apa pun. Daging kurban diberikan kepada Tubuh Musuh. Bagian kurban berupa daging dan hati diletakkan di atas dan di samping Tubuh Musuh. Daging itu diletakkan bersama nasi, kopi, sirih, pinang, tembakau, dan arak. Jika ada binatang jenis apa pun mencicipi makanan dan minuman itu, pertanda persembahan diterima.
Sisa hewan kurban dimakan Kepala Mosalaki, sementara daging sisa dimakan bersama hadirin di tempat itu. Daging atau sisa makanan apa pun tidak boleh dibawa pulang. Daging, nasi, dan arak, dan bahan persembahan lain diletakkan di wadah yang disebut “dila”, terbuat dari kulit buah maja yang telah dikeluarkan isinya.
Baca juga : Keindahan Danau Kelimutu dan Penjaga Arwah
Pada upacara ini masing-masing kampung dengan mosalakinya, membacakan ujud doa masing-masing. Selain itu, ada satu ujud umum yang disampaikan mosalaki dari 21 desa sekitar. Kali ini ujud umum itu berupa permohonan mengembalikan air Danau Ata Bupu yang telah mengering setahun silam, Agustus 2020. Penurunan air danau itu sekitar 5 meter sampai dasar danau kelihatan.
Saat pesta berlangsung, burung arwah, “Garugina” mengeluarkan suara yang lantang. Para arwah pun berpesta ria. Bahkan beberapa hari sebelum upacara adat “Pati Ka”, burung arwah ini mengeluarkan suara hampir di seantero kawasan gunung.
Garugiwa sangat sulit dilihat manusia, kecuali memperdengarkan suaranya kepada orang sekitar. Setiap pengunjung terutama tamu yang baru, pun selalu disambut dengan suara burung itu.
Legenda Kelimutu
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Flores, Philipus Khami mengatakan, kekeringan air danau membuat para tetua adat dan masyarakat Ende resah. Bagi mereka, kekeringan air danau pertanda bakal ada bencana. Bencana itu telah tiba sepanjang satu tahun terakhir, yakni kematian warga sekitar danau akibat berbagai penyakit terutama Covid-19, serta serangan hama tanaman berupa tikus.
“Kepercayaan masyarakat ini terkait legenda tentang peran kebaikan dan keburukan di danau itu. Konon, ada legenda tentang kehidupan raja Konde Ratu dan rakyatnya yang menguasai Kelimutu, saat itu,” kata putra Ende ini.
Baca juga : Kabut Menyelimuti Kelimutu
Di kalangan masyarakat setempat, ada kepercayaan akan adanya dua orang tukang sihir di masa lalu, yakni Ata Bupu yang selalu bersahabat, berbuat baik, dan berbudaya, serta Ata Polo yang selalu membunuh manusia dengan menggunakan kemampuan sihirnya.
Saat itu, ada dua anak yatim piatu atau Anak Kalo mendatangi Ata Bupu untuk meminta perlindungan karena kedua orangtuanya telah meninggal. Mereka khawatir akan dibunuh Ata Polo. Ata Bupu menyanggupi permintaan keduanya dengan syarat keduanya menjaga ladang Ata Bupu dan tidak boleh meninggalkan tempat itu.
Ata Bupu kemudian meminta Ata Polo agar membiarkan kedua anak itu sampai dewasa lalu bisa dimangsa Ata Polo. Permintaan itu dituruti Ata Polo.
Setelah kedua anak itu menjadi dewasa, Ata Polo menagih janji Ata Bupu. Namun, Ata Bupu menolak. Terjadi pertengkaran. Tetapi Ata Polo tidak mampu menangkal kemampuan Ata Bupu. Ata Polo pun berupaya mengejar Anak Kalo untuk memangsanya, namun tak berhasil.
Ata Polo sadar tak mampu mengalahkan Ata Bupu, ia pun lari bersembunyi ke perut bumi. Saat itu pula terjadi gempa dasyat, Ata Polo tenggelam di perut bumi. Kedua anak itu pun ikut terkubur hidup-hidup di perut bumi. Ata Bupu pun akhirnya masuk ke perut bumi mengikuti jejak kedua anak yatim piatu itu. Kedua anak itu pun diberi nama Koo Fai dan Nuwa Muri.
Baca juga : Jelajah Sepeda Flores-Kelimutu-Riung
Tempat di mana Ata Bupu tenggelam ke perut bumi menghasilkan danau berwarna biru sehingga kawah itu disebut danau Ata Bupu sampai hari ini. Tempat Ata Polo terkubur menghasilkan air danau berwarna merah, disebut danau Ata Polo, sementara Koo Fai dan Nuwa Muri menghasilkan air danau berwarna hijau, disebut danau Koo Fai Nuwa Muri.
Warna air di dalam ketiga kawah ini selalu berubah, tidak dapat diprediksi. Perubahan bisa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Perubahan warna air danau itu, oleh masyarakat setempat diyakini akibat penampakan kekuatan gaib, sesuai kekuatan yang dimiliki oleh mereka yang tenggelam di dalam perut bumi.
Kami tetap setia dengan warisan tradisi nenek moyang ini untuk menjaga keseimbangan alam, leluhur, dan manusia. (Philipus Kami)
Air danau itu pun tidak pernah mengering sejak ditemukan salah satu turis asing tahun 1879, kemudian dipopulerkan Pastor J Boumans SVD tahun 1926 melalui jurnal “Alam Flores”. Karena itu, ketika air danau Ata Pubu mengering Agustus 2020, sebagai kejadian pertama dalam sejarah Kelimutu.
Kelimutu berada di dalam Kampung Pemo dengan jumlah penduduk sekitar 1.210 jiwa. Kata Kelimutu berasal dari bahasa daerah setempat, yakni Keli artinya gunung, dan mutu artinya mendidih, gunung mendidih. Kelimutu sebagai bagian dari kawah gunung api di Flores dengan ketinggian 1.690 mdpl.
Sejumlah peneliti, ahli geologi, dan vulkanologi telah melakukan sejumlah penelitian ilmiah terkait warna air danau, dan perubahan warna itu. Hasilnya tentu saja berbeda dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang keberadaan danau dan warna airnya. Kepercayaan akan tradisi dan kearifan lokal lokal itu tetap terpelihara dengan baik.
“Kami tetap setia dengan warisan tradisi nenek moyang ini untuk menjaga keseimbangan alam, leluhur, dan manusia,” kata Philipus Khami.
Baca juga : Legenda Kelimutu dan Cerita Konde Ratu