Mencarikan Rumah Baru bagi Ukiran Kamoro
Semangat mengukir kembali membara di kalangan suku Kamoro dari pesisir Mimika, Papua. Mereka mendapatkan penghasilan dari penjualan karyanya. Namun, mempertahankan akses pasar di masa depan adalah sebuah tantangan.
Di dalam benaknya, Herman Kiripi (43) yakin eksistensi suku Kamoro di masa depan tersimpan dalam seni ukir. Maka, sekuat tenaga pula ia mempertahankan napas tradisi turun-temurun suku dari pesisir Mimika, Papua, itu lewat Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe yang ia pimpin.
Setiap dua atau tiga bulan sekali, Herman dan tim yayasan rutin turun ke kampung-kampung pesisir untuk mengambil hasil karya para perupa Kamoro. Tugas itu tidaklah mudah. Dari sekretariat yayasan di Kampung Nawaripi, Distrik Wania, yang masih di seputar Timika, mereka harus menempuh jalur darat ke pantai, kemudian berlayar dengan perahu motor ke kampung-kampung yang terletak di antara lika-liku muara sungai.
Sekitar 500 pengukir, yang tersebar dari Kampung Potowai Buru di Mimika Barat Jauh hingga Otakwa di Mimika Timur Jauh, senantiasa menanti kedatangan mereka. ”Saya sudah suruh mereka standby di kampung, tidak perlu ke Timika. Bikin capek diri saja dan menghabiskan biaya untuk minyak (bahan bakar) perahu johnson (motor),” kata Herman, Jumat (18/3/2022), ketika ditemui di sekretariat yayasan.
Di sana, tim yayasan akan memilah dan memilih hasil ukiran yang begitu beragam. Di antaranya ada wemawe (figur leluhur) dan mamokoro (orang yang mengenakan topeng mbiikao) yang terbuat dari kayu besi, eme alias tifa (gendang Papua) dari kayu waru, dan tiang mbiitoro dari kayu kepuh yang esensial untuk ritual adat karapao.
Ukiran yang lolos kurasi akan dibawa ke galeri di Nawaripi untuk dijual. ”Biasanya kami beri DP (down payment/jaminan) lebih dulu. Misal, harga ukiran Rp 600.000, kami beri DP Rp 300.000. Setelah ukiran terjual, baru sisanya kami berikan kepada si pengukir,” lanjut Herman.
Akhirnya, karya para perupa Kamoro sampai ke tangan para pengagumnya lewat pembelian di galeri serta berbagai pameran, terutama di Jakarta, dengan harga yang bisa mencapai jutaan rupiah. Hasil penjualan menjadi insentif penting bagi para pengukir untuk terus menelurkan karya baru.
Baca juga : Membangkitkan Magis Seni Ukir Kamoro
Herman pun tak bisa menyembunyikan rasa bangganya terhadap Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, yang berarti ”seorang pengukir muda.” Kerja mereka berhasil mencetak tak hanya satu, melainkan ratusan, pengukir belia. Tradisi ukir Kamoro, yang sempat hampir punah antara pertengahan abad ke-19 dan akhir abad ke-20, bisa hidup lagi.
Semangat itu juga kembali membara karena para pengukir berkesempatan pergi ke Jakarta atau kota-kota lain ketika pameran digelar. ”Kami orang Kamoro yang tidak pernah naik pesawat, hanya tahu macetnya Jakarta dan megahnya Monas dari majalah dan televisi, akhirnya bisa merasakan dan melihat semuanya sendiri. Makanya, kami berusaha terus mengukir,” ujar Herman.
”Ayah angkat”
Revitalisasi tradisi mengukir Kamoro, kata Herman, bisa terwujud karena peran PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang logam terbesar di Indonesia yang beroperasi di Mimika. Segala kegiatan Yayasan Maramowe dibiayai oleh dana program kebudayaan community affairs PTFI, dimulai dari festival budaya Kamoro Kakuru pada 1996 hingga sekarang.
Berbagai pameran di Ibu Kota, yang menjadi titik temu bagi karya ukir Kamoro dengan para kolektor seni, juga terlaksana berkat PTFI. Karena itu, Herman tak ragu menyebut perusahaan itu sebagai ”ayah angkat” orang Kamoro. ”PT Freeport Indonesia-lah yang memperhatikan dan mengangkat identitas kami sehingga tradisi kami tidak terputus,” katanya.
Sesekali ada acara kecil-kecilan, tetapi setelah itu kami didiamkan.
Sebaliknya, Pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua, yang seharusnya menjadi ”ayah kandung” orang Kamoro, disebut Herman tak punya perhatian yang sama. Ia mengklaim, tak satu pun festival besar digelar pemerintah setidaknya enam tahun terakhir. ”Sesekali ada acara kecil-kecilan, tetapi setelah itu kami didiamkan,” tambahnya.
Luluk Intarti, pendiri sekaligus pembina Yayasan Maramowe, menyebut suntikan dana dari PTFI bisa melampaui Rp 4 miliar per tahun. Dampak pendanaan ini bahkan meluber hingga ke aspek lain dari budaya Kamoro. Ritual-ritual adat yang terkait ukiran juga hidup kembali, seperti karapaoatau pengukuhan hak adat anak laki-laki, yang tak pernah digelar 40 tahun terakhir di Kampung Nawaripi.
Tak ayal, kehadiran PTFI disebut Luluk memberikan kekuatan besar bagi Yayasan Maramowe untuk merevitalisasi seni ukir Kamoro. Program yayasan pun kini tak hanya mencarikan pasar, tetapi juga mencakup pengumpulan data dan penelitian, kampanye, hingga publikasi untuk mempromosikan budaya Kamoro.
”Kami melayani pengukir di sekitar 50 kampung pesisir untuk preservasi budaya ini. Tetapi, yang kami mampu tangani sekarang ini baru setengahnya. Itu butuh biaya besar. Kalau tidak ada dukungan dari Freeport, mungkin kami tidak akan sanggup berjalan lagi,” katanya.
Lihat juga : Pesta Adat dan Seni Ukir Asmat yang Pudar
Namun, PTFI mungkin tak akan selamanya ada di Mimika. Izin usaha pertambangan khususnya (IUPK) kedaluwarsa pada 2041 sekalipun cadangan logam di tambang bawah tanah di Pegunungan Barisan Sudirman diperkirakan masih ada hingga 2050-an. Kini tak ada yang tahu, apakah PTFI akan memperbarui IUPK-nya.
Jika PTFI hengkang, Yayasan Maramowe mungkin saja tak bisa lagi turun ke kampung-kampung untuk mengambil karya para pengukir. Pameran-pameran di Jakarta yang menjadi pintu pemasaran ukiran juga sangat mungkin tertutup.
Luluk mengakui, ukiran Kamoro tak begitu diminati di Timika atau di kota-kota lain di Papua. Pasar paling potensial adalah Jakarta. ”Saat event budaya digelar di Jakarta, Freeport mendukung dengan mengundang para kolektor dan pemerhati budaya yang punya hati untuk menyelamatkan karya ini. Makanya, biasanya penjualan bagus,” ujarnya.
Jika akses pasar tertutup, ia khawatir tradisi mengukir Kamoro akan mengalami kemunduran lagi, menegasikan segala upaya yang telah dikerjakan selama 25 tahun terakhir. ”Kalau tidak ada pembeli, otomatis mereka tidak akan membuat lagi. Sebaliknya, kalau mereka mendapatkan manfaat ekonomi, mereka akan terus berkarya sehingga regenerasi pengukir dan preservasi budaya akan terus berjalan,” katanya.
Yayasan Maramowe tidak bisa berdiri sendiri untuk memandirikan masyarakat.
Penanggung jawab program pengembangan budaya Kamoro dari Community Development PTFI, Reza Sofyan, menyebut pelestarian budaya masyarakat sekitar wilayah operasi adalah komitmen perusahaan. Ini menjadi keharusan mengingat saham PTFI dipegang oleh Freeport McMoran (FCX) yang terikat standar-standar internasional.
Dari kacamata perusahaan, kata Sofyan, program revitalisasi budaya Kamoro telah mencapai keberhasilan sehingga telah tercipta hubungan mutual antara perusahaan dan masyarakat. Namun, ia juga tak ingin budaya ukir lenyap setelah 2041 seandainya IUPK PTFI tak diperpanjang.
“Kalau (IUPK) tidak diperpanjang, kami tentu tidak ingin budaya masyarakat langsung hilang juga. Jadi, kami berupaya menjalin kemitraan seluas-luasnya. Yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah daerah dan lembaga adat. Yayasan Maramowe tidak bisa berdiri sendiri untuk memandirikan masyarakat,” tuturnya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Mimika Albertin Timang mengatakan, pemerintah ingin pelestarian budaya lewat Yayasan Maramowe tidak terlalu bergantung pada PTFI. Karena itu, salah satu program utama yang dicetuskan adalah pembuatan situs penjualan ukiran.
Program itu dimungkinkan karena Disparbudpora mendapatkan suntikan dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 800 juta untuk bidang kebudayaan. Situs itu diharapkan bisa membuka akses pasar di luar Timika yang dapat dikunjungi peminatnya kapan saja. Harapannya, penjualan bisa terlaksana lebih cepat.
Baca juga : Hidup-Mati Pendulang Demi Setitik Emas
Albertin menambahkan, pemerintah sedang menjajaki gelaran pameran di kota lain sebagaimana dilakukan PTFI. Namun, tantangannya adalah keterbatasan anggaran daerah. ”Biaya membawa ukiran ke daerah lain dengan pesawat itu besar sekali. Tetapi kami dorong terus agar ini bisa terealisasi, karena daya beli yang kuat memang di luar Timika,” ujarnya.
Menjaga akses pasar demi mempertahankan pamor ukiran Kamoro tak boleh ditunda lagi. Sebab, dari 250-an suku di Papua, hanya tiga yang masih memiliki dana untuk mempertahankan tradisi mengukir, yaitu Asmat, Sempan, dan Kamoro. ”Inilah yang harus kita upayakan dan rawat bersama,” kata Luluk.