Komnas HAM: Perusahaan Tambang Rawan Langgar HAM di Sangihe
Komnas HAM menyatakan kehadiran perusahaan tambang di Pulau Sangihe berpotensi menyebabkan pelanggaran hak dasar warga, seperti hak akan rasa aman dan lingkungan hidup yang baik. Pemerintah harus proaktif mencegahnya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan, kehadiran perusahaan tambang di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, berpotensi menyebabkan pelanggaran hak dasar warga, seperti hak akan rasa aman dan lingkungan hidup yang baik. Pemerintah diharapkan lebih proaktif untuk mencegahnya.
Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (28/3/2022) malam, di Manado. Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik serta Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandra Moniaga, telah meninjau situasi di Kampung Bowone dan Salurang di Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, di sisi tenggara Pulau Sangihe yang menjadi lokasi pertama PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Dialog dengan kelompok advokasi Save Sangihe Island (SSI), tokoh agama dari Gereja Masehi Injili di Sangihe dan Talaud (GMIST), para kepala desa, dan tokoh-tokoh adat berujung pada satu kesimpulan. ”Mereka sangat tegas menolak keberadaan PT TMS,” kata Ahmad.
Nuansa penolakan tampak dari banyaknya spanduk yang dipasang di jalanan menuju daerah Tabukan Selatan Tengah dan di perkampungan. Ahmad bahkan mengaku belum menemukan masyarakat atau pihak yang mendukung kehadiran PT TMS meskipun ia yakini pasti ada.
Warga yang dimotori SSI pun sudah dua kali menghadang alat berat milik PT TMS yang hendak dibawa dari pelabuhan menuju Kampung Bowone. Pertama kali di Pelabuhan Pananaru pada 24 Desember 2021 dan kedua di Pelabuhan Tahuna serta Pananaru pada 4 Februari 2022. Konfrontasi ini rentan menimbulkan kekerasan.
Apalagi, lanjut Ahmad, masyarakat sudah curiga kepolisian tidak netral. Dalam peristiwa penolakan alat berat Februari lalu, warga melaporkan Pelabuhan Pananaru dijaga oleh sekitar 150 polisi untuk mengawal dan mengamankan akses masuk truk-truk yang membawa, antara lain, mesin bor.
”Kalau ada penolakan besar-besaran tetapi perusahaan tetap beroperasi, biasanya akan ada benturan dan kekerasan. Itu terjadi di banyak tempat. Kami sejak dini ingin ingatkan, jangan sampai terulang lagi kasus di Wadas (Jawa Tengah) dan Wawonii (Sulawesi Tenggara) yang malah berujung pada benturan antara warga dan aparat,” kata Ahmad.
Oleh karena itu, Komnas HAM akan berdialog pula dengan Kepolisian Daerah Sulut dengan harapan polisi akan netral. ”Tugas dan fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban serta tidak berpihak,” katanya.
PT TMS menguasai wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) seluas 42.000 hektar atau 57 persen dari luas Pulau Sangihe. Namun, area yang telah berizin lingkungan adalah 65,48 hektar di Kampung Bowone. Saat ini, PT TMS berupaya membeli lahan masyarakat. Ada 290 petak seluas 100 hektar yang disasar.
Kalau ada penolakan besar-besaran tetapi perusahaan tetap beroperasi, biasanya akan ada benturan dan kekerasan.
Namun, mayoritas warga menolak sekalipun dibayar mahal. Menurut Ahmad, warga telah tinggal di sana dari generasi ke generasi dan hidup dari hasil perkebunan, terutama sagu sebagai makanan pokok, serta hasil perikanan tangkap.
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, masuknya PT TMS berpotensi melanggar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. ”Tanah merupakan sumber kehidupan warga Sangihe. Kita tahu, masyarakat di sana bergantung pada sagu. Kalau alam di sana rusak, mereka akan kehilangan hak atas sumber pangan yang baik,” katanya.
Komnas HAM telah melihat adanya pertambangan emas tanpa izin (PETI) milik masyarakat juga sedang marak di kawasan itu. Tambang rakyat ini pun ia sebut menyebabkan kerusakan alam. Sungai-sungai kecil yang biasa dipakai masyarakat mencuci dan mengolah sagu telah tercemar dan tak bisa dipakai. Wilayah pesisir pun menjadi keruh karena limbah tambang.
”Ini baru tambang kecil, belum tambang besar. Tentu PETI ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Tetapi, dalam konteks PT TMS, negara seharusnya hadir bukan hanya ketika sudah terjadi konflik atau kerusakan, melainkan harus memastikan HAM tetap terpenuhi dan mencegah terjadinya pelanggaran,” katanya.
Perizinan
Komnas HAM juga telah berbicara dengan Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana. Hingga kini, pendirian Jabes tetap sama, yaitu tak pernah setuju sejak awal masuknya PT TMS. Pemkab juga tak pernah menerbitkan rekomendasi kesesuaian tata ruang untuk pertambangan. “Prioritas pembangunan di Sangihe ada tiga, yaitu pertanian dan perkebunan, perikanan, dan pariwisata,” kata Ahmad menirukan pernyataan Jabes.
Posisi Gubernur Sulut Olly Dondokambey pun tak berubah. Dalam pertemuan dengan Komnas HAM, ia menyatakan kehadiran PT TMS adalah kebijakan pemerintah pusat berdasarkan kontrak karya sejak 1997. Pemprov menerbitkan izin lingkungan setelah seluruh persyaratan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), terpenuhi.
Olly menyatakan siap mengikuti ketetapan pemerintah pusat, termasuk jika IUPK PT TMS dicabut. Izin yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pemprov Sulut dinilai menyalahi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menetapkan pulau kecil di bawah 2.000 km persegi tidak diprioritaskan untuk tambang. Luas Pulau Sangihe hanya 736,98 km persegi.
Sandra menyatakan, pelanggaran HAM bisa saja terjadi dalam proses perizinan tersebut sebab masyarakat mengaku tidak dilibatkan dalam pembuatan amdal. Artinya, hak dasar atas informasi tidak dipenuhi PT TMS dan pemerintah. Tanpa informasi yang jelas, masyarakat tak bisa mengambil keputusan untuk menjual lahannya. Kondisi ini telah ditemukan Komnas HAM di Wadas.
Komnas HAM telah memanggil perwakilan PT TMS untuk dimintai keterangan, tetapi belum dipenuhi. Sebaliknya, Direktur Operasi PT TMS Jiriel Kumajas, ketika dihubungi pada Selasa (29/3/2022), menyatakan belum ada undangan yang diterima. ”Kalau undangan sudah masuk, tidak mungkin kami tidak datang,” katanya.
Sementara itu, aktivis SSI, Jull Takaliuang, menyebut kedatangan Komnas HAM ke Sangihe setahun setelah mereka minta adalah sebuah langkah maju. Memang, saat ini belum terjadi pelanggaran HAM yang parah. Hanya saja, hak hidup masyarakat mulai terganggu, misalnya akibat kerusakan pipa air karena aktivitas pembuatan jalan oleh PT TMS.
”Mungkin belum ada, tetapi kita tidak mau menunggu ada pelanggaran HAM. Kita mau mengantisipasi karena Sangihe adalah beranda terluar dan terdepan Indonesia yang keamanannya harus dijaga. Bahaya jika ada gesekan-gesekan horizontal,” ujarnya.
Jull berharap Komnas HAM dapat segera menerbitkan rekomendasi kebijakan pemerintah yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu pencabutan izin PT TMS. “Harapan orang Sangihe adalah jaminan akan rasa aman, kenyamanan, ketenteraman hidup, dan kedamaian. Itu bisa jadi titik berangkat pembuat rekomendasi Komnas HAM untuk presiden,” katanya.