Wisata Bali yang selama ini bergantung pada turis, mancanegara perlu mematangkan diversifikasi tema wisata agar lebih holistik.
Oleh
ERIKA KURNIA, KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Wisatawan mulai berdatangan di Bali setelah pemerintah membuka lebih besar keran perjalanan di tahun kedua pandemi Covid-19. Wisata Bali yang selama ini bergantung turis mancanegara perlu mematangkan diversifikasi tema wisata agar lebih holistik.
Jumlah pelaku perjalanan domestik, dari data kedatangan di Bandara I Gusti Ngurah Rai, sebagai salah satu gerbang utama ke Bali, menyentuh angka 10.000 orang lebih pada Rabu (16/3/2022). Jumlah ini naik hampir dua kali lipat dari hanya 5.448 penumpang pesawat yang datang pada Rabu (2/3/2022).
Sementara itu, jumlah wisatawan asing yang datang ke Bali masih ditargetkan dapat menyentuh angka 1.500 orang per hari, kata Ida Bagus Agung Partha Adnyana, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, saat dihubungi Selasa (22/3/2022).
Target itu sekitar 10 persen dari rata-rata jumlah kedatangan wisatawan asing di Bandara Ngurah Rai di tahun 2019, yang bisa mencapai 17.000 orang per hari. Namun, target itu sangat besar dibandingkan jumlah kedatangan wisatawan asing sejak April 2020 hingga Januari 2022 yang hanya berkisar nol sampai 273 orang per bulan.
Optimisme ini bangkit setelah adanya pelonggaran aturan perjalanan, yang memungkinkan turis asing tidak perlu dikarantina begitu sampai ke Indonesia, tapi cukup dengan bukti negatif dari tes Covid-19 sebelum dan setelah kedatangan di Bali. Lalu, adanya kebijakan visa on arrival untuk 42 negara. Selain itu, pemerataan vaksinasi Covid-19 hingga dosis penguat.
”Kita lihat bulan Mei ada peningkatan pemesanan hotel sampai bulan Agustus,” kata Agung.
Meski kalah jumlah dengan wisatawan domestik, kedatangan wisatawan mancanegara disambut baik karena mereka biasa menghabiskan waktu lebih lama dan pengeluaran lebih banyak.
Survei Bank Indonesia (BI) pada 2019 mencatat, lama tinggal wisatawan domestik di Bali rata-rata empat hari, lebih singkat dibandingkan dengan wisatawan mancanegara yang lama tinggalnya 9,9 hari. Pengeluaran wisatawan domestik rata-rata Rp 463.000 per hari, sedangkan wisatawan mancanegara mencapai 142 dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 2.000.000 (kurs Rp 14.000) per hari.
Survei BI 2021 lalu menemukan, selama pandemi, kunjungan pariwisata ke Bali didominasi wisatawan Nusantara dengan rata-rata lama tinggal kurang dari lima hari. Mayoritas wisatawan Nusantara membawa keluarga, terutama melalui jalur darat. Pengeluaran per orang mencapai Rp 3,1 juta atau rata-rata maksimal Rp 600.000 per hari, dengan porsi terbesar untuk akomodasi.
Sudah saatnya, pariwisata Bali berkembang menjadi pariwisata yang holistik. Jadi, apa pun yang diinginkan wisatawan Bali punya. Ada wisata alam, ada wisata kultural, ada wisata kesehatan, dan lain sebagainya.
Keragaman wisata
Agung menilai, bisnis pariwisata dan kedatangan wisatawan mancanegara masih sangat diandalkan Bali selama satu abad lebih. Tidak mudah bagi masyarakat Bali untuk mengganti sumber pendapatan ke industri lain, seperti pertanian yang kurang dalam bidang pengolahannya. Untuk itu, perlu lebih banyak inovasi dalam pariwisata.
”Yang paling penting sekarang switch (peralihan) enggak terlalu signifikan. Tetap di wisata, tapi bisa nanti diarahkan ke medical tourism, sport tourism, farming tourism, jadi enggak cuma leisure saja. Intinya membangkitkan ekonomi Bali dalam bentuk lain,” ujarnya.
Senada, I Putu Winastra, Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Agen Perjalanan dan Wisata (Asita) Bali, mengatakan, agen perjalanan siap menjual keragaman potensi Bali kepada beragam pasar. Misalnya, Ubud di Gianyar yang kental dengan tradisi dan budaya, Bali utara yang dikenal dengan kecantikan bawah lautnya, lalu Bangli dengan alam dan desa wisatanya.
”Asita punya 11 divisi pangsa pasar, masing-masing punya kriteria atau spesifikasi berbeda. Contoh, di Bali, wisatawan China suka air karena jauh dari pantai, demikian juga Rusia. Orang Perancis dan Denmark cenderung suka budaya, tradisi, eksplor desa dan pegunungan,” tuturnya.
Secara jangka pendek, Asita masih menargetkan wisatawan dari tiga negara yang sebelumnya berkontribusi besar pada Bali, yaitu China, India, dan Australia. Selain itu, mereka juga mempromosikan Bali sebagai destinasi yang memenuhi kriteria kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan atau CHSE (cleanliness, health, safety, environment friendly).
Protokol CHSE menjadi prioritas berkenaan dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Saat ini, tercatat ada 1.343 akomodasi penginapan yang tersertifikasi CHSE.
Wisata khusus
Seiring dengan perkembangan dunia pariwisata, di Bali pelan-pelan mulai muncul wisata-wisata khusus. Di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, misalnya, wisata kesehatan berupa spa dan paket-paket healing (penyembuhan) menjamur. Wisata jenis ini cukup banyak diminati wisatawan.
Kathrine (54), misalnya, secara khusus datang dari Amerika Serikat bersama dua anaknya untuk wisata kesehatan di Ubud. Pada Desember 2021, ia mendapatkan informasi dari temannya terkait adanya pusat penyembuhan di Ubud. Kemudian, pada awal Februari 2022, dirinya langsung terbang ke Bali.
”Selama pandemi, saya merasa memiliki beban kesehatan, terutama kesehatan mental. Setelah berbagi cerita kepada seorang teman, ia menyarankan agar saya datang ke sini. Rencananya, saya akan mengikuti program penyembuhan lewat yoga bersama dengan anak-anak saya sampai sebulan ke depan,” katanya.
Kathrine sudah tiga kali datang ke Bali, tetapi baru pertama kali datang ke Ubud. Sebelumnya, ia berwisata di pantai dan menikmati keindahan pertunjukan seni.
I Made Gunarta, salah satu pengelola usaha wisata kesehatan di Ubud, menuturkan, inovasi perlu terus dilakukan agar pariwisata Bali semakin berkembang.
”Sudah saatnya, pariwisata Bali berkembang menjadi pariwisata yang holistik. Jadi, apa pun yang diinginkan wisatawan, Bali punya. Ada wisata alam, ada wisata kultural, ada wisata kesehatan, dan lain sebagainya,” ucap Gunarta.