Masih Banting Harga, Penginapan di Bali Sambut Wisatawan
Pelonggaran aturan perjalanan membuat pelaku usaha penginapan di Bali berharap tingkat okupansi yang rata-rata masih 20 persen meningkat. Pelaku usaha pun masih berstrategi menarik wisatawan dengan menurunkan harga.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI, ERIKA KURNIA
·4 menit baca
GIANYAR, KOMPAS — Pemilik dan pengelola penginapan di Bali menanggapi positif kebijakan pemerintah pusat yang menghapus aturan tes Covid-19 untuk pelaku perjalanan domestik serta karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri pada awal Maret 2022. Hal ini diharapkan menggairahkan kembali pariwisata di daerah itu.
”Tamu saya dulu kebanyakan bule. Mereka kalau menginap bisa lima hari sampai seminggu. Jadi, mungkin ini nanti bisa datangkan lagi turis mancanegara,” kata I Gusti Mahendra (42), pemilik villa di kawasan Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, saat ditemui pada Senin (21/3/2022).
Sejauh ini ia merasakan pelonggaran kebijakan bagi pendatang dari luar negeri mulai berdampak pada pemesanan penyewaan mobil yang ia jalankan. Meski rata-rata turis itu baru melakukan perjalanan pada pertengahan tahun ini, ia optimistis tren ini juga akan menular ke okupansi penginapannya.
Selama pandemi, ia mengakui, vila tiga kamar miliknya nyaris sepi. Bahkan, dalam sebulan, ia hanya melayani tiga tamu. Untuk tetap bertahan, ia pun menyesuaikan diri dengan pasar wisatawan domestik. Ia pun memangkas biaya sewa vilanya menjadi Rp 300.000-Rp 350.000 per malam. Padahal, biaya sewa normalnya Rp 850.000 per malam.
”Kami masih menyesuaikan harga dengan pasar domestik karena sekarang turis masih dominan lokal,” katanya.
Di Desa Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, pengelola penginapan seperti Putu Diarthi mengaku mulai merasakan kembali naiknya kunjungan wisatawan ke tempatnya yang juga membuka usaha warung makan. Kenaikan terjadi baik pada turis domestik maupun asing.
Diarthi memiliki empat kamar dengan balkon yang menghadap langsung ke suasana kebun dan sawah di Ubud yang tersembunyi. Kamar itu ia sewakan mulai Rp 250.000 per malam hingga Rp 3,5 juta per bulan. Pada kondisi normal, tarif sewa kamar di penginapannya Rp 800.000 per hari.
”Sebenarnya masih sedikit sekali orang yang menginap ke sini. (Penginapan) saya terakhir ada yang menyewa akhir tahun kemarin. Ada empat orang yang ke sini karena kamar yang mereka pesan di penginapan lain ternyata tutup,” ujarnya.
Meski demikian, ia melihat mulai banyak turis asing yang kembali ke Bali karena kemudahan aturan perjalanan yang dibuat pemerintah. Ini ia rasakan dari usaha warung makan yang ia juga jalankan. Putu mengatakan, kini warung makannya mulai didatangi beberapa turis asing, meski jarang.
”Kemarin ada tamu dari Amerika ke sini. Dia bilang baru ke sini lagi karena sudah enggak perlu karantina lagi,” katanya.
Para wisatawan datang ke Bali tidak hanya untuk berlibur. Sebagian wisatawan datang untuk work from Bali atau bekerja dari Bali. Program bekerja dari bali pertama kali dicanangkan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada pertengahan 2021. Program itu untuk memulihkan pariwisata dan perekonomian di Bali.
Program bekerja dari Bali disebut Diarthi cukup membantu meningkatkan pendapatan pelaku usaha wisata. Di warung makannya, misalnya, ada dua wisatawan mancanegara yang bekerja dari Bali dan menjadi pelanggan tetap di warung makannya. Bekerja dari Bali banyak dipilih oleh pekerja-pekerja dari kota-kota besar. Mereka memilih bekerja dari Bali untuk mencari suasana bekerja yang baru.
Pesanan-pesanan kamar untuk Mei sampai Agustus sudah mulai masuk.
”Saya memilih Bali, spesifiknya Ubud, karena di sini tenang. Ingin cari suasana berbeda saja, di Jakarta udaranya panas, tidak adem seperti di sini,” ucap Ajeng (34), karyawan swasta asal Jakarta Selatan.
Okupansi
Mulai adanya wisatawan yang berkunjung ke Bali berdampak pada peningkatan okupansi hotel dan penginapan. Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali Ida Bagus Agung Partha Adnyana menyebut, rata-rata tingkat keterisian atau okupansi penginapan di Bali mulai merangkak naik menjadi sekitar 20 persen.
”Selama pandemi, rata-rata okupansi penginapan pernah mencapai titik terendah, yakni 13 persen. Dengan adanya pelonggaran aturan perjalanan seperti sekarang, pesanan-pesanan kamar untuk Mei sampai Agustus sudah mulai masuk,” tutur Partha.
Untuk menyambut wisatawan, pelaku usaha wisata mulai berbenah. Salah satu upayanya adalah mengurus sertifikasi CHSE. Sertifikasi CHSE adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha pariwisata, destinasi pariwisata, dan produk pariwisata lainnya untuk memberikan jaminan kepada wisatawan terhadap pelaksanaan kebersihan, kesehatan, keselamatan, serta kelestarian lingkungan.
Partha menuturkan, saat ini sudah ada 1.343 hotel dan penginapan di Bali yang sudah terserifikasi CHSE. Ke depan, jumlahnya akan ditambah. Selain itu, perbaikan dan pembersihan fasilitas hotel dan penginapan yang tidak terawat selama pandemi juga akan dilakukan untuk menunjang kenyamanan pengunjung.