Belasan Tahun Penanganan Banjir Kota Medan Jalan di Tempat
Penanganan banjir di Kota Medan jalan di tempat belasan tahun. Titik banjir yang pada 2011 masih 117 titik meningkat menjadi 1.500 titik pada 2021. Penyebab banjir diinventarisasi, tetapi tidak ada langkah nyata.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Penanganan banjir di Kota Medan dinilai jalan di tempat selama belasan tahun terakhir. Akibatnya, titik banjir yang pada tahun 2011 masih tercatat 117 titik meningkat menjadi lebih dari 1.500 titik pada 2021. Penyebab banjir ialah pendangkalan drainase dan sungai akibat sedimen, kanal yang tidak berfungsi, serta daerah resapan air yang kian sempit.
”Semua pihak sudah tahu penyebab utama banjir di Kota Medan yang semakin sering dan meluas. Namun, ini hanya pengetahuan saja dan tidak ada tindak lanjut berarti yang sudah dilakukan,” kata pengamat lingkungan dari Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU), Jaya Arjuna, dalam diskusi secara daring bertajuk ”Pendekatan Budaya Menelisik Banjir Kota Medan”, Rabu (23/3/2022).
Dalam diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Sumut itu, Jaya menyebutkan, penyebab banjir di Kota Medan umumnya adalah kapasitas drainase yang tidak sanggup lagi menahan limpasan air hujan. Sekitar 80 persen drainase di Medan kini dipenuhi lapisan sedimen.
”Seluruh penampang sistem drainase mulai dari tersier, sekunder, hingga primer harus dikeruk kalau mau mengatasi banjir,” kata Jaya.
Selain itu, kanal yang menghubungkan Sungai Deli dan Sungai Percut pun harus diperbaiki dan dirancang ulang. Sejak dibangun pada 2006, kanal itu tidak berfungsi karena diduga ada kesalahan rancangan. Padahal, proyek itu menelan biaya sebesar Rp 1,2 triliun.
”Meskipun air sudah penuh di Sungai Deli, air tidak pernah masuk ke kanal. Dari dulu saya meminta ini direvitalisasi, tetapi sampai sekarang tidak pernah dilaksanakan,” ujar Jaya.
Selain itu, ia juga meminta pemulihan Kuala Deli yang merupakan muara dan pertemuan Sungai Deli dan Sungai Pegatalan di Belawan. Jika daerah hilir itu tumpat, tidak ada gunanya perbaikan drainase di hulu Kota Medan. Menurut Jaya, hingga kini belum pernah ada pengerukan Kuala Deli.
Sepuluh tahun lalu, ketika kerusakan dan pendangkalan Kuala Deli tidak separah sekarang, hanya daerah Kampung Bagan Deli dan Kampung Kurnia yang mengalami banjir. Saat ini, hampir semua daerah Belawan tergenang banjir dari luapan sungai karena pendangkalan Kuala Deli.
Padahal, Kuala Deli sebelumnya adalah muara sungai yang sangat indah dan bersih. Keindahannya tergambar dari lagu Melayu berjudul ”Kuala Deli”. Lagu itu menggambarkan Kuala Deli selalu dirindu karena air yang biru dan tempat mandi bersama. Kondisi itu, kata Jaya, berbanding terbalik dengan keadaan saat ini karena sudah menjadi sungai yang sangat kotor.
Jaya mengingatkan, Kota Medan dibangun pemerintahan Hindia Belanda dengan sistem drainase yang cukup baik. Medan dibangun menyerupai kota-kota di Eropa sehingga disebut ”Parijs van Sumatera”. Belanda, misalnya, membangun kanal sepanjang 200 kilometer agar tidak mengalami banjir dalam jangka panjang.
Kanal-kanal itu adalah Bedera, Selayang, dan Sikambing. Namun, saat ini, kanal itu disebut sebagai sungai dan diurus Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat.
Kondisi kanal-kanal itu pun kini hampir tidak berfungsi karena sedimen dan banyaknya bangunan yang mengokupasi bantaran kanal. Dua tahun lalu, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi memimpin normalisasi Sungai Bedera bersama sejumlah pihak, tetapi hingga kini program itu tidak berjalan karena terkendala perlawanan masyarakat yang sudah menduduki bantarannya.
Jaya mengatakan, secara teknis, pembangunan sistem drainase Kota Medan tidak sulit karena berada di ketinggian 2,5 meter sampai 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan berbeda dengan Jakarta, Surabaya, atau kota lain yang sangat rendah sehingga perlu rekayasa khusus.
Ketua Pengurus Daerah AAI Sumut Zulkifli Lubis mengatakan, banjir menjadi topik yang selalu dibicarakan saat banjir melanda Kota Medan. Namun, banjir selalu berulang dari tahun ke tahun, bahkan dengan intensitas yang lebih besar. Ia pun mendorong pendekatan kebudayaan dilakukan untuk mengatasi banjir.
Wali Kota Medan Bobby A Nasution menuturkan, banjir merupakan masalah yang sangat kompleks sehingga perlu kolaborasi semua pihak untuk mengatasinya. ”Masukan dari diskusi ini pun sangat penting untuk mengatasi banjir ke depan,” ucapnya.
Bobby mengatakan, penanganan banjir menjadi prioritas utama Pemerintah Kota Medan. Langkah utama yang mereka lakukan saat ini adalah perbaikan total dan pengerukan saluran drainase. ”Kami juga terus menyosialisasikan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah ke sungai,” ucapnya.
Bobby mengatakan, penanganan banjir di Kota Medan juga harus bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, BWS Sumatera II, dan Pemerintah Provinsi Sumut. Ia mencontohkan normalisasi Sungai Bedera yang tidak bisa dilakukan Pemkot Medan karena Pemkab Deli Serdang tidak melakukan program yang sama di hilir.
Sementara itu, dalam Rapat Koordinasi Gubernur Wilayah Sumatera di Batam, Kepulauan Riau, Rabu, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengusulkan 10 proyek prioritas kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Manoarfa, yang juga memimpin rapat.
Usulan proyek pertama adalah normalisasi dan penanganan Sungai Belawan, Sungai Bedera, Sungai Deli, Sungai Selayang, Sungai Sei Putih, dan Sungai Sulang Saling. Hal tersebut dalam rangka pengendalian banjir di Kota Medan dan sekitarnya. Adapun estimasi kebutuhan biaya normalisasi mencapai Rp 2,5 triliun. (WSI)