Perdagangan Ilegal Masih Marak, Pengamanan Satwa Dilindungi Perlu Diperkuat
Perdagangan satwa dilindungi masih berpotensi terjadi. Selain masih adanya permintaan di pasaran, kurangnya petugas di lapangan menjadi celah bagi para pemburu melaksanakan aksinya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Perdagangan satwa dilindungi masih berpotensi terjadi. Selain masih adanya permintaan di pasar, kurangnya petugas di lapangan menjadi celah bagi para pemburu untuk melaksanakan aksinya. Pengamanan hutan perlu diperkuat dengan melibatkan peran masyarakat sekitar.
”Selama masih ada permintaan, pasti suplai akan terus datang. Begitu juga dengan offset (awetan satwa),” kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia saat mengikuti pemusnahan 18 offset satwa dilindungi di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (18/3/2022).
Offset satwa itu merupakan hasil sitaan dan serahan dari warga yang dikumpulkan oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan dan Polda Sumsel sepanjang 2016-2021. Offset satwa yang dimusnahkan terdiri dari 4 harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), 4 beruang madu (Helarctos malayanus), dan 7 kepala rusa sambar (Rusa unicolor).
Selain itu, ada pula 1 kepala kambing hutan sumatera (Capricornis sumatraensis), 1 macan tutul (Panthera pardus melas), dan 1 macan dahan (Neofelis nebulosa). Offset yang dimusnahkan sebagian besar telah rusak dan tidak bisa lagi dimanfaatkan.
Menurut Indra, kejahatan satwa liar kini sudah bersifat trans-nasional. Permintaan tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga sudah merambah ke luar negeri. Kondisi ini didukung dengan tersedianya pasar daring. Fenomena inilah yang membuat perburuan masih mungkin terjadi.
Melihat celah tersebut, lanjut Indra, pihaknya terus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum internasional. ”Tujuannya tidak lain untuk menutup pasar guna meminimalisasi perburuan satwa dilindungi,” ujarnya.
Sumatera sendiri memiliki banyak hutan tropis dataran rendah yang menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang harus dilindungi. ”Semua flora dan fauna yang ada di hutan tersebut adalah aset negara yang harus dilestarikan,” kata Indra.
Ke depan, kerja sama penindakan terhadap kejahatan satwa akan diperkuat sehingga dapat mengungkap bandar dari operasi kejahatan itu, bukan sekadar menangkap pekerjanya. ”Kita akan ungkap sampai ke akar kejahatannya agar perburuan dan perdagangan satwa bisa dihentikan,” ujarnya.
Kepala BKSDA Sumsel Ujang Wisnu Barata mengungkap, mereka yang membeli organ satwa dilindungi biasanya kolektor atau memang memiliki hobi memelihara satwa. ”Berapa pun harga (offset) tersebut, kalau mereka sudah suka, pasti akan tetap dibeli,” katanya.
Potensi pasar ini dimanfaatkan oleh para sindikat dengan menawarkan harga tertentu kepada warga setempat untuk organ satwa yang dimiliki warga. Sebenarnya, warga tidak bermaksud memburu, tetapi karena satwa itu dianggap hama, satwa itu dilukai atau bahkan dibunuh.
Menurut Ujang, untuk menghentikan praktik ini, perlu tindakan yang berkesinambungan dari hulu hingga hilir. Untuk di hulu bisa dilakukan dengan memperketat pengawasan dan keamanan hutan dengan rutin menggelar patroli.
Di sisi hilir, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk tidak membeli atau memelihara satwa yang dilindungi. ”Sebab, jika praktik ini dibiarkan, kepunahan satwa dilindungi tinggal menunggu waktu,” ucap Ujang.
Di tengah upaya untuk menghentikan perburuan dan perdagangan satwa dilindungi di lapangan, petugas menghadapi masalah keterbatasan personel. Kepala Satuan Polisi Hutan BKSDA Sumsel M Andreansyah mengakui, rasio antara jumlah polisi hutan dan luas kawasan hutan di Sumsel masih sangat timpang. Satu polisi hutan harus mengawasi sekitar 50.000 hektar lahan kawasan hutan.
Padahal, idealnya, satu polisi hutan mengawasi 1.000 hektar kawasan hutan. Untuk itu, ujar Andreansyah, pihaknya menggandeng masyarakat setempat untuk turut membantu mengamankan hutan, terutama dari risiko perburuan satwa dilindungi. ”Dengan cara ini, aksi perburuan diharapkan bisa diminimalisasi,” katanya.
Operasi sapu jerat rutin dilakukan untuk melindungi satwa yang melintas di perbatasan kawasan hutan.
Patroli rutin pun digelar. Jika pelaku kejahatan sudah berkali-kali melakukan aksinya dan dianggap membahayakan karena membawa senjata, akan dilakukan patroli gabungan.
Affan Absori, Kepala Seksi Wilayah II Taman Nasional Berbak Sembilang, mengatakan, potensi perburuan masih ada di wilayahnya, terutama di perbatasan. Hal ini terlihat dari adanya perangkap yang dipasang pelaku untuk menjerat satwa di dalam kawasan hutan. ”Karena itu, operasi sapu jerat rutin dilakukan untuk melindungi satwa yang melintas di perbatasan kawasan hutan,” ujarnya.
Dia menambahkan, selama ini satwa yang kerap diburu adalah spesies burung yang ada di dalam atau di perbatasan kawasan hutan. ”Kalau untuk kasus perburuan harimau, jarang terjadi,” kata Affan.
Di sisi lain, inventarisasi juga dilakukan untuk memantau keberadaan satwa liar dengan memasang jebakan kamera (camera trap). Tahun lalu, ada dua anak harimau melintas sehingga di kawasan ini setidaknya hidup sembilan harimau.
Selain harimau, ada juga buaya muara dan gajah yang hidup di kawasan ini. ”Keberadaan mereka adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk warga yang ada di sekitar kawasan hutan,” kata Affan.