Ganasnya Angin Barat Selat Lembeh Merenggut Dua Cucu Hasmida
Ombak Selat Lembeh merenggut nyawa seorang bocah berusia tiga tahun dan bayi berumur tujuh bulan. Musibah mungkin dapat dicegah jika masyarakat pesisir di Bitung memiliki akses yang baik akan informasi cuaca maritim.
Telepon genggam Hasmida berdering pada Selasa (8/3/2022) malam sekitar pukul 18.30 Wita. Seseorang dari pesisir Madidir di timur Kota Bitung, Sulawesi Utara, menyampaikan sebuah kabar duka yang seketika itu juga meruntuhkan dunianya. Ombak telah merenggut nyawa dua cucu laki-lakinya yang masih kecil.
Sekitar dua jam sebelumnya, pukul 16.00 Wita, Hasmida mengantarkan suaminya, Irsan Monoarfa (49), dan anaknya yang ketiga, Atika Puspita (21), ke pelabuhan rakyat di Pantai Singaraja, Kecamatan Madidir. Kedua anak Atika, Muhammad Tampilang (3) dan Ilham Tampilang yang masih berusia tujuh bulan, juga diajak.
Mereka berempat hendak menuju rumah keluarga Atika di Kelurahan Kareko yang terletak di sisi utara Pulau Lembeh. Untuk itu, mereka harus menyeberangi Selat Lembeh selebar rata-rata 1,2 kilometer yang memisahkan Pulau Lembeh dari Kota Bitung di daratan Sulawesi. Namun, jarak dari Madidir di selatan Bitung sampai ke Lembeh Utara cukup jauh.
”Keadaan bagus-bagus saja waktu berangkat. Kami semua ikut mengantar. Saya, kakak laki-laki Atika yang paling tua, kakak perempuannya, dan ada lagi adiknya dua orang,” kata Hasmida yang terdengar sedih ketika dihubungi lewat telepon dari Manado, Senin (14/3/2022).
Hasmida tak menyimpan kekhawatiran apa pun. Ia yakin jarak itu hanyalah tugas sederhana bagi Irsan yang telah puluhan tahun mengarungi birunya lautan. Suaminya adalah seorang nelayan yang andal menangkap tuna dengan rakit ataupun perahu motor kecil yang secara lokal dikenal dengan sebutan pakura.
Motor dinyalakan dan pakura Irsan perlahan meninggalkan tambatan. Hasmida dan anak-anaknya melambaikan tangan sebagai isyarat perpisahan sekaligus harapan akan keselamatan, lalu pulang ke rumah mereka di Kecamatan Girian.
Namun, sore itu angin bertiup begitu kencang, menimbulkan kecamuk di permukaan air. Pakura Irsan pun seolah mendaki dan menuruni lembah gelombang yang mulai galak. Lambung perahu memukul-mukul permukaan laut, menimbulkan cipratan air yang diiringi suara keras.
Belum terlalu jauh mereka dari dermaga, tetapi tiba-tiba sebuah gulungan ombak besar menghantam keras pakura yang mereka tumpangi. Seketika perahu kecil yang dicat merah itu terbalik dan seolah menelan empat manusia di dalamnya. Sekuat tenaga Atika berusaha mendekap kedua anaknya. Namun, kuatnya ombak memisahkan sang ibu dari si bungsu.
Sesaat kemudian, warga sekitar yang melihat mereka segera datang menyelamatkan. Irsan, Atika, dan Muhammad Tampilang berhasil dibawa kembali ke pantai. Namun, Muhammad Tampilang tak terselamatkan karena tak mampu bertahan di permukaan untuk bernapas setelah perahu mereka terbalik.
Atika begitu kalut karena Ilham, anaknya yang masih berusia 7 bulan itu, hilang entah ke mana. Warga telah mencarinya di sekitar titik pakura Irsan terbalik, tetapi tak menemukannya.
Baca juga: Perairan Buton Jadi Lokasi Kecelakaan Pelayaran Terbanyak di Sultra
Mendengar kabar itu, Hasmida begitu panik. Ia tancap gas ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Bitung. ”Mereka (syahbandar) yang kemudian lapor ke SAR (Kantor Pencarian dan Penyelamatan/SAR Manado),” katanya.
Tim SAR Manado segera menurunkan tim beranggotakan 12 orang, dibantu empat personel Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan empat nelayan setempat. Namun, upaya mereka tak membuahkan hasil hingga pukul 22.30 Wita sehingga harus dilanjutkan keesokan harinya pada pukul 07.00 Wita.
”Harapan kami di pelaksanaan operasi pencarian hari kedua ini, mudah-mudahan Tuhan memberikan petunjuk agar korban yang sedang kami cari, seorang bayi yang berusia tujuh bulan, bisa segera ditemukan,” kata Jandry Paendong, Kepala Seksi Operasi Kantor SAR Manado.
Kendati begitu, hasilnya masih nihil, begitu pula pencarian hingga hari keempat. Keluarga Hasmida, terutama Atika sang ibu, hanya bisa pasrah menahan perihnya kehilangan dua buah hati yang sedang lucu-lucunya.
Saya tidak tahu mau cerita bagaimana.
Titik terang baru muncul pada Sabtu (12/3/2022). Beberapa nelayan menemukan jenazah seorang bocah yang tampak berusia kira-kira satu tahun mengambang di perairan Desa Lihunu di sisi timur Pulau Bangka, Kecamatan Likupang Timur, Minahasa Utara.
Mereka segera membawanya kembali ke pesisir Kampung Ambong di pesisir utara Likupang, lalu dibawa ke Puskesmas Likupang Timur oleh personel Kantor SAR Manado. Atika yang dihadirkan untuk proses identifikasi pun tak butuh waktu lama untuk mengenali Ilham. Anak bungsunya itu pun ia bawa pulang, dishalati, kemudian dimakamkan.
Informasi
Musibah itu menghancurkan hati Hasmida. Ia mengaku tak tega melihat keadaan Atika yang harus kehilangan dua anaknya sekaligus justru ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. ”Saya tidak tahu mau cerita bagaimana. Anak perempuan saya ini kasiang…. Saya penuh dilema,” katanya.
Dalam keadaan ini, ia pun tak tahu harus menuding siapa. Irsan, suaminya, pun sudah melakukan yang terbaik, apalagi dengan pengalaman puluhan tahun melaut menggunakan perahu kecil untuk menangkap ikan besar. Selama itu pula, cuaca pun tak pernah jadi masalah.
Baca juga: Cuaca Buruk Picu Sejumlah Kecelakaan Laut di Kepri
Namun, Stasiun Meteorologi Maritim BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) di Bitung telah meramalkan gelombang tinggi di perairan utara dan selatan Sulut. Tinggi gelombang pun mencapai 1,5 meter hingga 3 meter pada Selasa (8/3/2022), hari ketika kecelakaan yang menimpa Irsan, Atika, Muhammad, dan Ilham terjadi. Prediksi itu ternyata akurat.
”Memang hari itu sedang angin barat. Angin kencang menciptakan gelombang besar juga, apalagi sore menjelang malam. Pada jam-jam tersebut, anginnya memang lumayan (kuat),” kata Ricky Daniel Aror, Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Maritim Bitung. Bahaya makin besar karena arah berlayar pakura Irsan dari Madidir menuju Kareko tegak lurus dengan arah datangnya angin.
Memang, lanjut Ricky, ketangkasan nelayan yang telah ditempa bertahun-tahun lewat pengalaman akan berandil besar terhadap keselamatan, begitu juga kearifan lokal yang dimiliki masyarakat mengenai perairan sekitar. Namun, informasi prediksi cuaca akan meningkatkan keamanan para nelayan.
Setiap hari, BMKG menyebarkan prediksi cuaca dan peringatan dini gelombang tinggi ke berbagai instansi pemerintahan, dari pemerintah daerah hingga KSOP. Berbagai platform daring dijadikan media diseminasi, seperti Facebook, Instagram, grup Whatsapp, hingga situs web. Ramalan cuaca juga ditampilkan di monitor yang terpasang di pelabuhan dan kantor-kantor pemerintahan.
Kami sudah kirim peringatan soal gelombang tinggi di perairan Likupang dan Bitung akibat angin barat.
Kendati begitu, arus informasi ditengarai kerap putus dengan kalangan nelayan tradisional. Beberapa pelabuhan rakyat di Bitung, seperti di Madidir dan Pelabuhan Ruko Pateten, tidak selalu diawasi oleh KSOP. Para nelayan ataupun nakhoda taksi perahu yang menghubungkan Bitung dengan Pulau Lembeh tetap berlayar jika mereka yakin dapat mengatasi gelombang.
Di samping itu, kata Ricky, beberapa nelayan dan nakhoda taksi perahu mengaku tidak memiliki ponsel pintar untuk mengakses berbagai platform daring guna mendapatkan informasi ramalan cuaca. Karena itu, BMKG coba mengumpulkan nomor telepon mereka yang ingin mendapatkan ramalan cuaca dan peringatan dini gelombang tinggi.
”Sejauh ini kira-kira ada puluhan nomor yang selalu kami kirimi SMS, termasuk tanggal 7 Maret lalu, sehari sebelum kejadian di Lembeh. Kami sudah kirim peringatan soal gelombang tinggi di perairan Likupang dan Bitung akibat angin barat,” ujar Ricky.
Terlepas dari itu, kecelakaan di laut masih terjadi. Ricky pun mengakui, BMKG tak bisa bekerja sendiri. Kerja sama perlu terus diusahakan dengan berbagai instansi, salah satunya KSOP yang begitu dekat dengan masyarakat bahari.
Kepala KSOP Bitung Stanislaus Wembly Wetik telah dihubungi, tetapi belum dapat memberikan tanggapan karena kesibukan di kantor.