Pesta dan Doa Rakyat di Serambi Istana Mangkunegaran
Penobatan Mangkunegara X dirayakan di dalam dan luar istana. Warga ingin menyambut adipati baru dan berharap Pura Mangkunegaran lebih berkontribusi dalam kehidupan sosial dan budaya warga di Surakarta.
Penobatan Mangkunegara X tak hanya jadi pesta domestik kerabat ningrat Surakarta. Di luar pagar istana, rakyat menyambut penuh suka seraya menitipkan harapan agar penerus kadipaten semakin merakyat.
Sudali (48) meletakkan sapu lidi panjangnya, lalu menyeruak di tengah kerumunan warga yang antre nasi bancakan di ujung Jalan Diponegoro, seberang gerbang Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Sabtu (12/3/2022). Sejenak kemudian, nasi pincuk lauk gudangan atau urap teri, tahu bacem, dan telur rebus sudah di tangan. Mengambil tempat duduk di bawah pohon asam, ia menyantap lahap sarapan mewahnya.
”Monggo Mas, makan bareng, mumpung nasinya masih hangat,” sapa penyapu jalan yang sudah 20 tahun lebih membersihkan jalanan Kota Surakarta, Jawa Tengah, itu.
Pagi itu, Sudali menyantap nasi gudangan atau urap bersama sejumlah sejawat penyapu jalanan dan puluhan warga yang secara spontan berkumpul di seberang Pura Mangkunegaran. Para warga berpesta nasi tumpeng dan jajanan tradisional yang disajikan secara swadaya oleh sekelompok warga. Di saat sama, di dalam pagar Pura Mangkunegaran, berlangsung penobatan Gusti Pangeran Haryo Bhre Cakrahutama sebagai Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunegara X.
Tak jauh dari tempat Subali bersantap, Slamet (65) memarkir sepeda ontelnya, lalu bergegas mengambil nasi bancakan. Warga Cemani, Sukoharjo, itu mengaku kebetulan melintas di dekat Pura Mangkunegaran dan melihat ada kerumunan yang menarik dirinya.
”Kebetulan lewat sini. Kok, ada ramai-ramai. Ternyata tumpengan. Kebetulan saya belum sarapan,” tuturnya semringah sambil mengunyah singkong rebus sebagai kudapan pembuka.
Menu pesta rakyat pagi itu sederhana. Nasi gudangan lengkap dengan lauk tempe tahu bacem, ikan asin, telur rebus, ayam suwir, dan kerupuk. Tak ketinggalan kudapan singkong rebus, pisang rebus, aneka gorengan, dan teh nasgitel alias panas, legi (manis), dan kentel (kental).
Semua warga yang melintas boleh menyantap. Bukan saja warga Solo, banyak juga wisatawan yang sedang jalan-jalan pagi akhirnya kebagian berkat bersantap bersama. Salah satunya Atik, pelancong asal DKI Jakarta. Bersama suaminya, Atik kebetulan sedang berwisata di sekitar Pasar Triwindu dekat gerbang Mangkunegaran.
Melihat ada pesta merakyat yang jarang dijumpainya di Jakarta, dia pun mendekat. Sebagai penyantap berdomisili terjauh, dia bahkan didapuk sebagai penerima nasi tumpeng pertama. Baginya, pengalaman tersebut sungguh berkesan.
”Ini tadi jalan-jalan saja. Lalu, lihat ada orang-orang pakai pakaian prajurit Jawa. Karena penasaran, saya mendekat. Ternyata malah dapat kehormatan dapat nasi tumpeng pertama. Terima kasih warga Solo. Terima kasih,” ucap Atik.
Kami juga ingin menyambut seluruh tamu Mangkunegaran dan menunjukkan Surakarta kota yang ramah dan berbudaya. ( Suhartanto)
Pesta kecil di serambi Pura Mangkunegaran memang cukup mengundang perhatian warga. Selain makan minum gratis, ada juga sejumlah pemuda berpakaian prajurit Jawa lengkap dengan tombak dan tameng replika yang berjajar di kiri dan kanan jalan menuju gerbang Mangkunegaran. Mereka seolah menyambut tamu-tamu kerajaan yang datang untuk menyaksikan penobatan sang adipati.
Ikut ”mangayubagya”
Mayor Suhartanto, penggagas pesta rakyat tersebut, mengungkapkan, acara makan bersama itu adalah cara warga Surakarta ikut menyambut atau mangayubagya penobatan adipati baru Mangkunegara. Dengan caranya sendiri, rakyat ingin ikut bersuka dan bersyukur sambil memanjatkan doa untuk kebaikan Mangkunegaran dan Surakarta. Adapun nasi tumpeng tersebut adalah saweran dari Paguyuban Jasa Boga Indonesia dan sejumlah warga lain di Surakarta.
”Kami juga ingin menyambut seluruh tamu Mangkunegaran dan menunjukkan Surakarta kota yang ramah dan berbudaya,” kata Suhartanto.
Adapun para prajurit berkostum Jawa adalah bagian dari Prajurit Muda Pariwisata Surakarta. Yenyen Wahyono, koordinator lapangan komunitas tersebut, mengaku, para pemuda tersebut selalu dilibatkan dalam ajang-ajang pariwisata di ”Kota Bengawan”.
Sebelum jumenengan atau penobatan takhta adipati, Selasa (8/3/2022), sejumlah warga juga melakukan aksi bersih-bersih kota dengan menyapu dan mengepel Jalan Diponegoro. Suhartanto, yang juga menjadi salah satu inisiator reresik kutho (bersih-bersih kota) itu, mengatakan, selain disapu, jalan menuju Pura Mangkunegaran bahkan juga dipel.
”Mungkin jarang sekali kegiatan bersih-bersih yang sampai mengepel jalan raya. Tapi, hanya ini yang kami bisa untuk menunjukkan rasa cinta kami pada Kota Solo,” terang Suhartanto.
Adapun lokasi yang dibersihkan adalah sekeliling Pura Mangkunegaran, kawasan Pasar Triwindu, dan Pasar Ngarsopuro. Ketiganya berada di Kelurahan Keprabon.
Lurah Keprabon Rina Andriyani menuturkan, kerja bakti pada Selasa (8/3/2022) itu diikuti warga Kelurahan Keprabon, komunitas, ASN Kantor Kelurahan Keprabon, petugas sampah, dan juga Linmas.
”Apa yang kami lakukan kemarin wujud kebanggaan kami sebagai warga Kelurahan Keprabon, di mana kawasan Mangkunegaran adalah bagian dari kelurahan ini,” katanya.
Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Triwindu, Dody Sudarsono, mengatakan, para pedagang di Pasar Triwindu ikut menyambut penobatan Mangkunegara X dengan bersih-bersih. Terlebih, pasar tersebut berada dalam wilayah Mangkunegaran. Menurut Dody, dalam sejarahnya, Pasar Triwindu awalnya dari Pura Mangkunegaran.
Baca juga: GPH Bhre Cakrahutomo Dinobatkan Jadi Mangkunegara X
Harapan
Meski demikian, di balik dukungan warga Surakarta atas jumenengan Mangkunegara X, terselip beragam harapan. Terlebih, selama ini, warga masih merasa posisi keraton, baik Kasunanan maupun Mangkunegaran, relatif berjarak dengan rakyat.
”Belum banyak terasa pengaruhnya. Memang beda kalau dengan Keraton Yogyakarta yang kekuasaannya masih besar. Tapi, setidaknya semoga di bidang pelastarian budaya, pihak Keraton Surakarta, Kasunanan, dan Mangkunegaran lebih punya andil,” tutur Mukidi (66), warga Bekonang, Sukoharjo.
Terlebih, dalam sejarahnya, pihak praja (kerajaan) di Surakarta punya pengalaman berjarak, bahkan ditentang warganya. Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2016) mencatat, di era pasca-kemerdekaan, muncul kelompok antiswapraja di Surakarta dan sekitarnya yang menolak kekuasaan monarki berdasarkan keturunan. Kecemburuan rakyat semakin besar mengingat penguasaan aset Mangkunegaran yang terbilang besar.
Dalam penelitian Rahmad Basuki, mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo pada 2010, berjudul ”Peranan Komisi Dana Milik Mangkunegaran dalam Proses Nasionalisasi Aset-Aset Mangkunegaran Tahun 1946-1952”, sejumlah aset yang pernah dikuasai Mangkunegaran hingga sebelum kemerdekaan RI, yakni Pabrik Gula Tasikmadu dan Colomadu, perkebunan kopi Kerjo-Gadungan, pabrik beras Moyoretno di Matesih, serta perusahaan kapuk, kelapa, dan kopi di Polokarto.
Selain itu, ada pula perusahaan kapuk di Wonogiri, aset-aset properti di Semarang yang berupa rumah-rumah, sawah, dan kampung di Pandrikan, rumah-rumah di Solo daerah Villa Park Banjarsari, hingga hutan jati.
Berbeda dengan penguasa DIY Hamengku Buwono IX yang aktif dalam pergerakan nasional, Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) mencatat, dua penguasa monarki di Surakarta tidak berhasil memanfaatkan kesempatan untuk memainkan peranan positif dalam revolusi.
Tunjung W Sutirto, sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengatakan, penobatan seorang adipati muda memunculkan ekspektasi publik akan gaya kepemimpinan yang segar. Ia berpendapat, salah satu inovasi yang bisa dilakukan ialah mengubah tata kelola kadipaten tersebut menjadi lebih inklusif.
”Tetapi, dalam mengelola budaya, itu berbeda dengan mengelola institusi ekonomi. Di situ, ada persoalan suasana kebatinan. Ada soal rasa yang harus ditangkap oleh Mangkunegara X. Itu yang nantinya membawa Pura Mangkunegaran bisa lebih meresonansi pembangunan kebudayaannya,” kata Tunjung.
Untuk itu, menurut Tunjung, aset budaya yang dimiliki Pura Mangkunegaran perlu lebih didekatkan ke masyarakat. Caranya adalah membuka peluang bagi publik mempelajari tarian ataupun gending dari kadipaten tersebut. Khususnya bagi generasi muda yang nantinya akan meneruskan warisan kebudayaan tersebut kepada generasi berikut.
Penobatan Mangkunegara X diharapkan benar-benar menjadi pesta seluruh rakyat. Di antara ingar-bingar perayaan, terselip harapan, Pura Mangkunegaran tak sebatas simbol budaya, tetapi juga punya peran aktif dalam pembangunan budaya dan peradaban di Surakarta.
Lihat juga: Penobatan Mangkunegara X