Polisi Tetapkan Tujuh Tersangka Korupsi Beasiswa Aceh
Meskipun polisi telah menetapkan tujuh tersangka kasus korupsi beasiswa Aceh, publik menilai auktor utama kasus ini belum tersentuh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kepolisian Daerah Aceh akhirnya menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi beasiswa Aceh. Publik mendesak penyidikan tidak berhenti pada tujuh orang itu.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy, Rabu (2/3/2022), mengatakan, tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka terdiri atas empat aparatur sipil negara pada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh dan tiga orang swasta.
”Berdasarkan hasil penyidikan mereka sudah memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai tersangka,” kata Winardy.
Para tersangka adalah SYR, mantan Kepala BPSDM Aceh selaku pengguna anggaran, FZ dan RSL sebagai kuasa pengguna anggaran pada BPSDM Aceh, dan FY sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan pada BPSDM Aceh. Adapun SM, RDJ, dan RK yang merupakan pihak swasta berperan sebagai koordinator lapangan perekrutan calon penerima beasiswa.
Winardy menuturkan, dana beasiswa berasal dari usulan atau aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Para anggota DPRA yang mengusulkan beasiswa itu telah diperiksa, tetapi statusnya sebagai saksi.
Sejauh ini belum ada fakta hukum yang mengarahkan keterlibatan anggota DPRA sebagai pelaku korupsi dalam kasus tersebut. Namun, penyidikan terus diperdalam.
”Sampai saat ini (anggota DPRA) masih berstatus sebagai saksi, kecuali apabila dalam proses penyidikan selanjutnya ditemukan fakta hukum lain,” kata Winardy.
Beasiswa tersebut merupakan program dana aspirasi DPRA. Dana aspirasi adalah anggaran yang diberikan kepada setiap anggota dewan untuk mengusulkan program saat penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).
Karena tidak boleh mengelola anggaran, para anggota dewan menitipkan program dana aspirasi kepada dinas atau badan. Meski tidak ada regulasi yang mengatur dana aspirasi, di Aceh dana aspirasi untuk dewan dianggap hal biasa. Belakangan istilah dana aspirasi diganti dengan dana pokok pikir (pokir).
Dana aspirasi atau pokir menjadi bahan negoisasi antara eksekutif dan legislatif saat membahas rancangan Qanun/Perda APBA.
Pada anggaran tahun 2017, beasiswa termasuk salah satu program yang diusulkan oleh anggota DPRA melalui skema dana aspirasi. Program tersebut dititipkan kepada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh. Sementara nama-nama calon penerima beasiswa diusulkan oleh anggota DPRA.
Para tersangka hanya pelaku di level kebijakan administrasi, bukan auktor utama pemilik dana aspirasi.
Saat itu beasiswa diusulkan oleh 24 anggota dewan untuk 852 penerima. Namun yang diduga bermasalah adalah dana yang diusulkan oleh sembilan anggota dewan bagi sekitar 400 penerima. Beasiswa tidak diterima secara utuh oleh mahasiswa, tetapi dipotong oleh koordinator lapangan. Dari pagu anggaran Rp 21,7 miliar, kerugian negara mencapai Rp 10 miliar.
Belum sesuai harapan
Penetapan tujuh tersangka menjadi awal babak baru proses hukum kasus korupsi beasiswa tersebut. Namun publik di Aceh menyatakan orang-orang yang ditetapkan sebagai tersangka tidak sesuai harapan.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menuturkan, para tersangka hanya pelaku di level kebijakan administrasi, bukan auktor utama pemilik dana aspirasi. Menurut Alfian, pegawai negeri pada BPSDM Aceh hanya menjalankan tugas administrasi, sedangkan pengusul nama-nama penerima beasiswa adalah anggota dewan sebagai pemilik dana aspirasi.
Adapun koordinator lapangan merupakan orang yang ditunjuk oleh anggota dewan pemilik dana aspirasi. Alfian mengatakan semua perbuatan koordinator lapangan memotong beasiswa perintah dari anggota dewan.
”Polda Aceh perlu mengembangkan penyidikan siapa yang memerintahkan koordinator memotong beasiswa,” kata Alfian.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi Aceh Askalani menuturkan keterlibatan anggota dewan dalam kasus itu sangat kuat sebab mereka yang mengusulkan program, mengusul nama penerima, dan menunjuk koordinator lapangan. Askalani menilai ada upaya melindungi auktor intelektualis dalam penanganan perkara kasus korupsi tersebut.
”Seharusnya perkara ini dilihat utuh. Jika model penegakan hukum seperti ini, sampai kapan pun publik tidak akan percaya dengan proses penegakan hukum,” ujar Askalani.