Getir Pemilik Lahan di Balik Gempita Jalan Tol Manado-Bitung
Masyarakat yang merasa jadi "korban" ketidakpantasan harga mencoba menuntut haknya melalui musyawarah dengan pemerintah hingga ke tingkat pusat, tetapi tak pernah berhasil. Namun, setidaknya satu keluarga belum menyerah.
Agus Awondatu (60) tak ikut merasakan gegap gempita ketika melihat Jalan Tol Manado-Bitung. Warga Kota Bitung, Sulawesi Utara, itu bukannya menolak pembangunan. Hanya saja, ia merasa diperlakukan tidak adil ketika negara mengambil alih lahan perkebunan keluarganya demi proyek strategis nasional itu.
Uang Rp 2,5 miliar yang diberikan pemerintah sebagai gantinya belum pernah ia sentuh sejak 6 tahun lalu. Masih dititipkan di Pengadilan Negeri (PN) Bitung tanpa ada bunga yang mengendap. Memang nominal itu tidak sedikit, tetapi bagi Agus, tak pantas untuk tanah yang secara turun-temurun menghidupi keluarganya.
“Tanah kami ini kebun produktif. Ada kelapa, pisang, ubi, nanas, kunyit, serai, bahkan pohon-pohon kayu seperti cempaka. Ada juga orang yang mengurus kebun. Dia bangun gubuk dan tinggal sana, bahkan istrinya meninggal di sana,” kata Agus ketika ditemui di rumahnya pada suatu petang di akhir Januari 2022.
Sejak 2015, wacana pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung sepanjang 39,8 kilometer semakin santer. Jalan itu akan membentang di tiga daerah dari barat ke timur, yaitu Manado, Minahasa Utara, dan Bitung. Proyek strategis nasional (PSN) bernilai Rp 5,12 triliun itu diharapkan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi di wilayah industri Sulut.
Sosialisasi pun dimulai. Sekitar 60 pemilik lahan di Kelurahan Kakenturan 2, Bitung Tengah, diundang lurah untuk diberi tahu bahwa mereka akan menjadi “korban” jalan tol. Kebun keluarga Agus yang luasnya 43.190,85 meter persegi terletak di kelurahan itu, dan sebagian besar akan dibeli negara untuk jalan tol, tepatnya 30.500 meter persegi.
Agus tak keberatan jika tanahnya yang kini terletak dekat ujung jalan tol diminta pemerintah. “Pada prinsipnya kami setuju tanah kami dipakai untuk jalan tol. Tetapi, Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo), kan, bilang, warga harus dapat ganti untung, bukan ganti rugi,” ujarnya.
Baca juga: Belum Tuntas Setelah Lima Tahun Dinanti, Jalan Tol Manado-Bitung Sepi
Undangan kedua datang bagi pemilik tanah di Kakenturan 2 pada 2016, kali ini dari pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menurut Agus, tajuknya saat itu adalah musyawarah pembebasan lahan di Kantor Wali Kota Bitung.
Namun, ia kaget ketika warga langsung disodorkan harga tanpa boleh menawar. PPK telah menetapkan, tanah warga dihargai Rp 50.000 per meter persegi ditambah Rp 12.000 per meter persegi lahan yang ditumbuhi tanaman. Jika tidak setuju, warga bisa menggugat ke pengadilan.
Merasa tertipu, sebagian besar hadirin marah, lalu walk-out, beranjak meninggalkan pertemuan tanpa menandatangani kesepakatan apa pun. Alasannya jelas. Harga itu jauh dari harapan masyarakat. Namun, PPK memang tak membuka kesempatan negosiasi. Uang yang mesti dibayarkan kepada warga pun dititipkan ke PN Bitung.
Mona Awondatu (45), adik Agus, juga kecewa. Namun, lebih dari itu, ia merasa tertipu karena warga tidak diberi tahu ada waktu 14 hari kerja untuk mengajukan keberatan ke PN Bitung, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 38 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Kami ini kasiang cuma masyarakat biasa yang saat itu belum paham hukum. Karena kami tidak diberi tahu ada jangka 14 hari, kami tidak ada pergerakan ke pengadilan. Ada yang bilang, kami ini dijebak,” ujar Mona.
Kenapa tidak disamakan saja jadi Rp 400.000 per meter persegi semua?
Hingga beberapa tahun setelah penolakan itu, keluarga Agus dan Mona tak pernah menerima uang ganti rugi dari PPK. Namun, antara 2016-2018, PPK jalan tol mencari mereka lagi dan menyatakan akan membeli tambahan 1.126 meter persegi dari kebun mereka. Kali ini harganya menarik, Rp 400.000 per meter persegi plus tanaman Rp 60.000 per meter persegi.
Keluarga Agus tertarik meski tak mengiyakan. Namun, mereka heran mengapa sebidang tanah yang kesahihannya terbukti dalam satu surat ukur yang sama bisa dibeli dengan dua harga berbeda. “Kenapa tidak disamakan saja jadi Rp 400.000 per meter persegi semua?” kata Agus yang hingga kini masih tak terima.
Musyawarah
Sejak penetapan harga pada 2016, para “korban” jalan tol di Bitung yang tak menerima harga tawaran PPK membentuk semacam paguyuban atau jaringan komunikasi. Jumlahnya kira-kira 300 orang, namanya Paguyuban Korban Jalan Tol. Salah satu tokohnya adalah Eddy Sondakh (58), seorang pensiunan perusahaan minyak di Kalimantan Timur.
Menurut Eddy, “musyawarah” harga lahan dilaksanakan PPK dari kelurahan ke kelurahan. Wilayah Kakenturan 2, tempat tanah Agus berada, adalah salah satu yang pertama didatangi. “Mereka ini yang kasihan, karena harga lahannya hanya di kisaran Rp 20.000-Rp 80.000 per meter persegi, dasar yang ditetapkan pemerintah,” ujar Eddy, Rabu (23/2/2022).
Harga itu menurut dia tidak adil. Warga Bitung sulit mendapatkan harga yang mereka anggap pantas meski sudah ada tim penghitung (appraisal) independen. Pada saat yang sama, mereka dengar di Minahasa Utara, tak sedikit warga yang mendapat harga ratusan ribu rupiah per meter persegi.
Baca juga: Tarif Terlalu Mahal, Pengusaha Tak Minat Pakai Jalan Tol Manado-Bitung
Eddy juga menilai, panitia pembebasan lahan tak terbuka dalam proses. Sosialisasi ia sebut tak gencar. Peta bidang tanah tak didirikan di area pembangunan. Sebagian masyarakat juga ia sebut tak dilibatkan dalam pengukuran lahan. Bahkan, musyawarah yang seharusnya berisi perundingan harga tidak terlaksana dengan baik.
Eddy sendiri memiliki lahan sekitar 11.000 meter persegi di wilayah Sagerat, dekat Gerbang Tol Simpang Susun Danowudu yang menghubungkan jalan tol dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung. Nilai per meter perseginya ia sebut seharusnya minimal Rp 1 juta. Namun, ia ditawari harga Rp 25.000, kemudian Rp 70.000 per meter persegi.
“Saya masih keberatan karena tanah saya itu terletak di dekat jalan nasional. Saya kawal ketat tahapan penilaiannya, akhirnya jadi Rp 500.000 per meter persegi. Itu pun saya belum terima. Tetapi, yang paling kasihan adalah teman-teman yang tanahnya diukur lebih awal dan dapat harga Rp 20.000-Rp 80.000 per meter persegi,” kata dia.
Eddy pun menjadi salah satu pengusul agar warga menempuh jalur musyawarah demi menuntut harga yang lebih baik. Cara ini, menurut dia, dimungkinkan berdasarkan Instruksi Presiden No 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. “Presiden bilang, kalau ada masalah, semua harus menahan diri, diselesaikan dengan musyawarah,” kata dia.
Maka bergeraklah paguyuban itu dengan metode nonlitigasi demi perubahan. Selama 2016-2018 mereka meminta audiensi bersama DPRD Bitung dan Wali Kota Bitung, kemudian Pemprov Sulut. Namun, upaya lobi berbuah nihil. Untungnya, mereka mendapatkan bantuan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulut, Marhany Pua.
UU itu harus diubah, karena memang tidak ada ruang bagi masyarakat untuk membela diri atau bermusyawarah dalam proses pengukuran hingga penentuan harga.
Serangkaian audiensi pun digelar, dari Kantor Staf Kepresidenan kemudian Lembaga Ketahanan Nasional, tetapi tak jua ada hasil. Terakhir, Eddy, Agus, dan perwakilan warga lainnya menyambangi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Namun, lagi-lagi warga menemui jalan buntu. Saat itulah Eddy sadar, pemerintah hanya berpatokan pada UU Nomor 2/2012 dalam pembebasan lahan. Sedangkan masyarakat Bitung dan Sulut, yang baru pertama kali menyaksikan pembangunan jalan tol seumur hidup mereka, belum memahami betul isinya.
“Saya sadar, perjuangan kami selama dua tahun itu percuma. Kami tidak pakai 14 hari yang disediakan dalam UU Nomor 2/2012. Tetapi, UU itu harus diubah, karena memang tidak ada ruang bagi masyarakat untuk membela diri atau bermusyawarah dalam proses pengukuran hingga penentuan harga. Hanya ada 14 hari itu untuk menggugat di pengadilan,” ujar Eddy.
Eddy pun menyerah dan berhenti berupaya menggugat, dan paguyuban bubar. Selain karena merasa salah langkah hukum, seorang saudaranya telah melangkahinya, membuat kesepakatan dengan PPK untuk melepas lahan dengan harga Rp 500.000 per meter persegi. Padahal, Eddy adalah ahli warisnya. Ia memutuskan tidak melapor ke kepolisian.
“PPK ini banyak 'permainan' juga. Tapi, ya sudahlah. Demi nama baik presiden, karena kami cinta presiden juga, kami terima saja. Berikutnya, saya harap UU Nomor 2/2012 itu direvisi. Pembebasan lahan harus lebih transparan,” kata dia.
Baca juga: Esensi Pertanahan Kian Menjauh dari Undang-Undang Pokok Agraria
Hal ini, lanjut Eddy, begitu penting. Bagi orang Minahasa, tanah budel atau warisan tak ternilai harganya sehingga harus dijaga selama-lamanya. Mereka hanya diperbolehkan menjual ketika sedang sakit, akan menikah, atau menyekolahkan dan menikahkan anak. Penjualan pun harus ke kerabat sendiri.
Sama halnya dengan Agus. Kebun miliknya itu adalah milik kakeknya yang kemudian diwariskan kepada ayahnya, lalu kepada dirinya sebagai cucu tertua. Ia pun menjalankan perintah sang kakek untuk merawat tanah itu hingga saat ini. Itulah salah satu alasan Agus belum menyerah hingga kini.
Lewat pengadilan
Dihubungi terpisah, PPK Jalan Tol Manado-Bitung Polce Mawei mengatakan, Paguyuban Korban Jalan Tol sudah bubar ketika ia mulai menangani pembebasan lahan di Bitung per 2020. Menurut dia, sangat disayangkan warga tidak memanfaatkan haknya sesuai UU Nomor 2/2012 di pengadilan.
“Tim pengadaan sendiri juga sudah melaksanakan setiap tahapan sesuai UU. Warga bisa melawan, tetapi ada tenggat waktunya. Suka tidak suka, peluang hukum itu harus dimanfaatkan. Malah, akan lebih bagus kalau warga mengajukan class action ke pengadilan untuk meminta pengukuran ulang. Bersama-sama satu kampung, misalnya,” kata dia.
Menurut dia, jalur nonlitigasi yang dipilih Paguyuban Korban Jalan Tol sulit berhasil. Sebab, presiden sendiri tak punya hak veto terhadap hasil pengukuran yang dilakukan oleh tim appraisal independen. Pelibatan tim itu tak lain agar hasil pengukuran dan penetapan harga memberikan rasa keadilan untuk warga.
Hasil perhitungan kemudian bisa berubah tergantung lokasi lahan.
“Kami sendiri selalu berusaha mengedukasi warga tentang hak-hak mereka. Di Minahasa Utara, kami pernah kalah di pengadilan tiga kali. Yang menang harganya dinaikkan, dan kami tidak punya alasan untuk tidak membayar,” ujar Polce.
Polce pun menyatakan panitia pengadaan lahan tak pernah bermaksud merugikan warga. Harga dasar pemerintah di Bitung maupun Minahasa Utara sama, yaitu di kisaran Rp 25.000-Rp 30.000 per meter persegi. Namun, hasil perhitungan kemudian bisa berubah tergantung lokasi lahan.
Semakin dekat ke jalan nasional, harga tanahnya semakin tinggi. Semakin terisolasi, harganya pun semakin rendah. “Di wilayah Sagerat dekat KEK Bitung, misalnya, yang dekat dengan jalan raya, bisa Rp 1,3 juta per meter persegi. Kalau yang jauh, biasanya Rp 200.000-Rp 300.000,” lanjutnya.
Terlepas dari itu, Polce bersyukur, Jalan Tol Manado-Bitung kini sudah diresmikan Presiden Jokowi, tepatnya Jumat (25/2). Presiden menyempatkan diri singgah di Bitung dari Palu, Sulawesi Tengah, sebelum bertolak ke Yogyakarta. Akhirnya, jalan tol itu siap dipakai seutuhnya dengan peresmian segmen terakhir sepanjang 13,5 kilometer dari Danowudu hingga Terminal Peti Kemas Bitung.
“Dengan demikian, seluruh jalan tol sepanjang 39,8 kilometer sudah tuntas dan siap dimanfaatkan untuk seluruh aktivitas masyarakat Sulut. Saya harap dari pembangunan jalan tol ini, muncul titik-titik pertumbuhan ekonomi baru,” ujar Presiden.
Baca juga: Berkah dan Tantangan Jalan Bebas Hambatan di Indonesia
Di tengah gempita peresmian jalan tol, Agus dan Mona masih menyimpan getir. Mereka ingin mencoba lagi menggugat harga, kali ini ke Kantor Staf Kepresidenan. Ini menjadi cara terakhir yang akan mereka tempuh demi harga yang mereka rasa pantas.
“Sudah bermohon ke semua tempat yang kami harap bisa membantu, tetapi hasilnya nihil, kami harus berharap ke mana lagi? Kalau Tuhan ada alamat di langit, ya, kami mau kirim permohonan ke sana. Jadi, kami akan tetap berusaha sebisa mungkin,” ujar Mona.