Atasi Kelangkaan, 26 Juta Liter Minyak Goreng Disalurkan ke Pedagang Pasar dan Retail di Sumsel
Mengatasi kelangkaan minyak goreng di Sumsel, pemerintah menyalurkan 26 juta liter minyak goreng ke pasar tradisional dan pasar retail. Pendistribusian ini merupakan realisasi dari kebijakan ”domestic market obligation”.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Mengatasi kelangkaan minyak goreng di Sumatera Selatan, pemerintah menggelontorkan 26 juta liter minyak goreng ke pasar tradisional dan pasar retail. Pendistribusian ini merupakan realisasi dari kebijakan domestic market obligation. Adapun produk lama yang masih ada di pedagang akan ditarik kembali dan selisih harga akan diganti.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Perdagangan Sumsel Ahmad Rizali, Kamis (17/2/2022). Pendistribusian ini mulai dilakukan setelah kebijakan domestic market obligation (DMO) diterapkan. Dalam aturan tersebut disebutkan, 20 persen minyak sawit mentah digunakan untuk kebutuhan dalam negeri dan 80 persen untuk diekspor.Dari aturan tersebut, Sumsel mendapatkan jatah 26 juta liter yang diperoleh dari tiga produsen dan 20 distributor minyak goreng. ”Minyak tersebut akan diedarkan ke pedagang di pasar tradisional dan retail,” ungkapnya. Adapun stok minyak goreng dengan harga lama yang masih beredar di pasaran akan ditarik (rafaksi) dan selisih harganya pun diganti.
Ahmad merinci alasan mengapa minyak goreng langka di pasaran. Alasan pertama adalah belum adanya penggantian terhadap barang dengan harga lama dan minyak yang digunakan untuk kebijakan DMO belum diproduksi. ”Dengan diterbitkannya aturan ini, kami berharap tidak terjadi lagi kelangkaan,” katanya.
Nantinya, minyak goreng yang didistribusikan tersebut harus sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium, Rp 13.500 per liter untuk minyak kemasan biasa, dan Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah.
Sebelumnya, Desi, pedagang di Pasar Lemabang, Palembang, mengatakan tidak bisa menjual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah karena masih menjual stok lama. ”Kalau kami tetap jual tentu akan rugi,” katanya.
Belum lagi untuk bisa menjual minyak bersubsidi, kata Desi, pedagang diminta mengeluarkan nomor pokok wajib pajak. ”Mau jualan minyak saja repot sekali,” kata Desi.
Gubernur Sumsel Herman Deru menemukan sejumlah kasus tentang minyak goreng ini, seperti ada barang, ada harga, tetapi memang minyak tersebut tidak dijual alias ditahan. ”Bahkan di suatu daerah harga minyak goreng mencapai Rp 25.000 per liter,” katanya.
Melihat kondisi ini, pemerintah provinsi tidak bisa berbuat banyak karena pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk menindak para pelanggar. ”Masa, kami tutup tokonya. Ya, tetap saja tidak berpengaruh banyak,” ujarnya. Karena itu, dalam menyelesaikan masalah ini perlu ada sinergitas antarlembaga sehingga kelangkaan ini tidak kembali meluas.
Masalah di hulu dan hilir
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukai Karyadi saat di Palembang mengungkapkan, kelangkaan dan gejolak harga minyak goreng ini disebabkan oleh permasalahan yang kompleks dari hulu ke hilir. ”Ini bukan persoalan satu daerah, tetapi sudah menjadi masalah nasional,” katanya.
Dari hulu ada perusahaan yang memiliki perkebunan kelapa sawit yang luas sehingga mereka memiliki posisi tawar kepada konsumen. Belum lagi pelaku usaha minyak goreng cukup terbatas sehingga peluang untuk memainkan harga lebih gampang. Karena itu, ungkap Ukai, KPPU membutuhkan sinergi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, setidaknya dalam merancang kebijakan yang mengedepankan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Komisioner KPPU Chandra Setiawan mengatakan, saat ini pihaknya sudah masuk dalam proses penyelidikan dengan memanggil para pihak terkait, termasuk sejumlah pelaku industri minyak goreng, untuk memastikan apakah ada praktik kartel dalam permasalahan minyak goreng ini.
Potensi kartel itu bisa saja terjadi karena dalam industri minyak goreng, hanya sedikit industri besar yang berkecimpung di dalamnya. Fenomena ini bisa memicu terjadinya praktik oligopoli, yakni sebuah situasi satu sektor industri hanya dikuasai oleh sedikit pemain besar sehingga mereka bisa saja melakukan koordinasi untuk menetapkan harga, menahan produksi, atau menetapkan wilayah pemasaran. Namun, dalam penyelidikan ini, KPPU hanya ingin menyelidiki apakah gejolak pasar ini terjadi karena ada pelanggaran prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat atau tidak. Adapun jika terbukti terjadi pelanggaran pidana, salah satunya penimbunan, persoalan ini akan masuk ke ranah kepolisian.