Jual Stok Lama, Harga Minyak Goreng di Pasar Tradisional Palembang Masih Tinggi
Harga minyak goreng di pasar tradisional di Palembang, Sumatera Selatan, masih tinggi. Pedagang mengaku masih menjual stok lama karena kesulitan mendapat minyak bersubsidi yang syaratnya ketat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penerapan kebijakan minyak goreng satu harga di pasar tradisional yang semestinya dimulai pada Rabu (26/1/2022) belum diterapkan sejumlah pedagang di Palembang, Sumatera Selatan. Alasannya, masih banyak stok lama yang belum terjual dan sulitnya memperoleh minyak goreng dengan harga subsidi.
Hal ini disampaikan antara lain oleh Wisman Jaini (47), pedagang bahan kebutuhan pokok di Pasar Sekanak, Palembang, Rabu. Dia masih menjual minyak goreng dengan harga Rp 16.000-Rp 19.000 per liter dan belum bisa menjual dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni Rp 14.000. Alasannya karena banyak stok lama yang belum terjual.
Dalam sekali pesan, dia mendapat sekitar 120 liter minyak. Stok itu biasanya habis dalam waktu 2 minggu. Hanya saja, lanjut Wisman, sejak harga minyak melonjak naik, dia kesulitan menjual minyak sehingga sampai saat ini masih tersisa sekitar 50 liter.
”Kalau menjual stok lama itu dengan harga Rp 14.000, saya tentu akan rugi karena dari harga agen saja bisa mencapai Rp 17.000 per liter,” katanya. Di sisi lain, ungkap Wisman, sulit untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga subsidi lantaran persyaratannya yang sangat ketat.
Dirinya harus menyiapkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebagai salah satu syarat mendapatkan minyak bersubsidi. ”Seharusnya, jika ini adalah program pemerintah, syaratnya jangan terlalu ribet,” kata Wisman yang sudah berjualan di pasar itu sejak 40 tahun lalu.
Mengantisipasi hal itu, Wisman berencana menyimpan minyak dengan stok lama dan baru akan menjualnya jika harganya sudah sesuai. Ia memperkirakan pada Juli, ketika program ini sudah selesai, stok minyaknya akan dijual lagi.
Situasi yang sama dihadapi oleh Nuri (49), pedagang bahan kebutuhan pokok di Pasar Lemabang, Palembang. Di tokonya yang berukuran sekitar 3 meter x 3 meter itu, dia masih menjual minyak goreng dengan harga lama, yakni Rp 18.000-Rp 21.000 per liter. Nuri beranggapan, tidaklah mudah untuk menjual minyak satu harga kalau harga di tingkat agen masih belum turun.
Tidaklah mudah untuk menjual minyak satu harga kalau harga di tingkat agen masih belum turun.
Nuri mengaku kesulitan menjual minyak karena ada selisih harga antara toko retail modern dan pasar tradisional. ”Memang mereka (toko retail modern) menjual dengan harga Rp 14.000 per liter, tetapi stoknya sulit didapat,” kata Nuri.
Menanggapi situasi ini, Kepala Dinas Perdagangan Kota Palembang Raimon Lauri memaklumi kondisi tersebut lantaran kebanyakan dari pedagang masih menjual stok lama. ”Kita harus bersikap arif karena mungkin saja pedagang harus menghabiskan dulu stok lamanya,” ujarnya.
Meski begitu, upaya sosialisasi terus dilakukan agar pedagang juga menerapkan skema satu harga sehingga tidak terjadi ketimpangan harga. Raimon berpendapat, lebih mudah memantau harga di pasar retail modern karena mereka sudah memiliki sistem penetapan harga yang mumpuni. ”Berbeda dengan pasar tradisional yang masih menggunakan mekanisme lama, pasti ada dinamika pasar di masa transisi ini,” kata Raimon.
Mekanisme pasar juga akan terjadi. Kalau pedagang tradisional tidak menyesuaikan harga, tentu warga akan beralih ke retail modern. Dagangan mereka pun akan sulit terjual.
Sementara Kepala Dinas Perdagangan Sumatera Selatan Ahmad Rizali berkomitmen terus memantau distribusi minyak goreng bersubsidi lebih ketat lagi, terutama di tingkat distributor. ”Jika harga minyak goreng di tingkat distributor turun, tentu pedagang akan menurunkan harga juga,” ucapnya.
Ahmad pun memprediksi, penyesuaian harga di tingkat pedagang pasar tradisional baru bisa diterapkan pada dua minggu ke depan setelah program dicanangkan, yakni pada Rabu (19/1). Itu berarti penyesuaian harga di pasar tradisional diprediksi akan terjadi pada 2 Februari 2022.
Ahmad berharap program satu harga bisa diterapkan segera karena Sumsel sudah mendapat kuota minyak yang cukup besar, yakni 60 juta liter. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Sumsel sampai 6 bulan. ”Harapannya, skema ini akan terus berlanjut sehingga warga tidak terbebani,” ucap Ahmad.