Menata Lasem, ”Tiongkok Kecil” yang Terus Berubah
Kawasan Lasem di Kabupaten Rembang tengah ditata sebagai bagian dari upaya menjadikannya berstatus kota pusaka. Di antara pro dan kontra proyek, ikhtiar merawat Lasem harus terus diwujudkan pemerintah bersama warga.
Lasem, kawasan kuno berjuluk ”Tiongkok Kecil” di ujung timur pantura Jawa Tengah, tersohor dengan wisata sejarah dari jejak akulturasi budaya berumur ratusan tahun. Di tengah ikhtiar mempercantik menuju status kota pusaka, tersirat kekhawatiran hilangnya identitas sejarah.
Melintasi kawasan pecinan di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sungguh memanjakan netra yang mencintai perjalanan sebuah kota. Bangunan-bangunan berarsitektur Tionghoa, Jawa, dan Belanda kokoh berdiri. Pintu-pintu khas Tionghoa beraneka warna tersebar di berbagai penjuru, membentuk karakter kota.
Lasem menyuguhkan harmonisasi warga anta-retnis. Selain kehadiran sejumlah kelenteng, di Desa Karangturi, misalnya, berdiri pondok pesantren yang bangunannya masih mempertahankan arsitektur dan ornamen khas China berpadu langgam Jawa kuno.
Kondisi Lasem mulai berubah ketika para pemilik bangunan kuno mulai menjual barang-barangnya karena alasan ekonomi.
Meski demikian, sebagai destinasi wisata, infrastruktur pendukung Lasem belum ideal. Salah satu contohnya, masih sangat sedikit papan informasi ataupun penujuk arah ke destinasi-destinasi andalan Lasem. Padahal, hal-hal semacam itu diperlukan demi memudahkan wisatawan mencapai lokasi unggulan di sebuah wilayah.
Selain itu, Lasem juga belum memiliki kantong parkir khusus yang bisa digunakan wisatawan. Hal itu membuat sejumlah wisatawan terpaksa memarkir kendaraannya sembarangan.
Beberapa waktu belakangan, wacana pembuatan kantong parkir muncul. Rencana itu hadir seiring proyek revitalisasi Kawasan Pusaka Lasem yang dilakukan dengan tujuan memperindah Lasem. Selain kantong parkir, juga akan dibuat jalur pedestrian lebar yang memudahkan pengunjung menikmati Lasem.
Pengerjaan fisik proyek revitalisasi itu sudah dimulai sejak tahun lalu. Jumat (4/2/2022), sejumlah bahan bangunan berserak di pinggir-pinggir jalan, membuat jalanan semrawut. Debu dari tumpukan material yang tersapu angin juga membuat kenyamanan orang yang melintas terganggu.
Namun, sejumlah warga Lasem mengaku tidak sepenuhnya setuju dengan proyek revitalisasi yang dianggap mengancam keberadaan benda-benda cagar budaya yang saat ini dalam proses penetapan kawasan cagar budaya nasional. Ancaman terhadap benda cagar budaya itu pertama kali muncul saat pekerja proyek membongkar saluran air kuno yang termasuk bagian cagar budaya.
”Saya setuju-setuju saja dengan pembangunan asalkan dilakukan sesuai aturan. Kalau memang tidak tahu mana-mana saja bagian yang menjadi cagar budaya, seharusnya konsultasi dulu. Sayang banget kalau revitalisasi yang tujuannya baik malah merusak cagar budayanya Lasem,” ujar Bella (20), warga Kecamatan Lasem.
Baca juga : Menuju Kota Pusaka, SDM di Lasem Perlu Disiapkan
Sudah berubah
Santio (81), warga Lasem lainnya, berharap revitalisasi dilakukan cermat dan penuh perhitungan agar tidak merusak cagar budaya tersisa. Kondisi Lasem saat ini jauh berbeda dengan Lasem 30 tahun lalu. Mayoritas bangunannya sudah tidak orisinal.
”Bangunan-bangunan itu, terutama yang berada di pinggir jalan raya itu, pagarnya sudah tidak ada yang utuh, sudah kena kepras (potong) semua. Sekitar tahun 1970-an, bangunan-bangunan di Lasem itu sebagian besar masih asli khas Belanda, China, dan Jawa," ujar Santio.
Lihat juga : Jalan Panjang Pelestarian Budaya di Lasem
Menurut Santio, kecantikan Lasem pada masa lampau sempat membuat seorang turis asal Jerman jatuh hati. Turis yang sudah berkeliling ke ratusan negara itu awalnya hanya melintas saja. Saat sudah sampai di Surabaya, turis itu kembali ke Lasem karena penasaran. Ia bahkan sampai menginap tiga hari tiga malam karena keindahan Lasem.
”Saya waktu itu menemani turis itu berkeliling Lasem. Turis itu berulang kali berkata bahwa ia sangat kagum dengan lanskap Lasem. Setiap sisi Lasem dipotret olehnya. Sayangnya, saya hilang kontak dengan orang itu tanpa pernah mendapatkan foto-foto yang dia jepret kala itu,” imbuhnya.
Santio menambahkan, kondisi Lasem mulai berubah ketika para pemilik bangunan kuno mulai menjual barang-barangnya karena alasan ekonomi. Oleh karena prihatin, Santio berupaya menyelamatkan benda-benda kuno milik keluarganya dan menyimpannya di Museum Nyah Lasem. Museum itu ia bangun agar generasi penerus di masa mendatang bisa melihat jejak-jejak masa lalu Lasem.
Selain dinilai mengancam cagar budaya, revitalisasi kawasan juga dikeluhkan mengganggu aktivitas ekonomi warga. Pitoyo, salah satu pedagang di kawasan Lasem, mengaku sepi pembeli sejak proyek pelebaran trotoar yang menjadi bagian dari revitalisasi dimulai. Proyek itu membuat baik pembeli maupun karyawan toko tidak bisa parkir di depan pintu.
Baca juga : Merespons Penataan Pecinan Lasem
Kabar yang diterima Pitoyo, larangan parkir di sepanjang jalan akan diterapkan seterusnya. Di satu sisi, kantong parkir yang diwacanakan dari jauh-jauh hari tak kunjung jadi. Hal itu disebut membuat pendapatannya anjlok hingga lebih dari 50 persen.
”Kondisi seperti ini tidak hanya saya saja yang mengalami, tetapi juga pelaku usaha lainnya. Di sekitar sini ada 36 toko yang jumlah karyawannya mencapai 800 orang. Kalau kondisinya seperti ini terus, bisa-bisa usaha kami mati,” ucapnya.
Jaga identitas
Hakam Kurniawan, peneliti Urban Heritage Conservation dari Yayasan Lasem Heritage, mengatakan, pembangun Kawasan Pusaka Lasem perlu memperhatikan standar teknis, sosial, komunitas, ekologis, serta peninggalan budaya. Hal itu penting untuk menjaga makna serta identitas khas di dalam kawasan tersebut.
”Sosialisasi perencanaan kepada publik dan masyarakat terdampak harus terus dilakukan, termasuk jika ada perubahan rencana. Pengerjaan fisik proyek harus dilakukan sesuai rekomendasi para ahli ilmu konservasi. Lasem sedang dalam proses penetapan kawasan cagar budaya nasional. Sepatutnya, pembangunan di dalamnya dapat mendukung usaha pelestarian, bukan menghilangkan signifikansi kawasan ini,” paparnya.
Kementerian PUPR sepakat dengan tim ahli cagar budaya untuk bekerja dengan hati-hati demi menjaga keaslian saluran air kuno. Sebagian saluran air kuno nanti akan dipasangi kotak kaca agar masyarakat bisa tetap melihat struktur asli saluran air tersebut.
Dihubungi terpisah, Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana Permukiman Wilayah II Jateng dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Anggoro Putro mengatakan, pihaknya telah melibatkan tim ahli cagar budaya (TACB) dalam penataan Kawasan Pusaka Lasem. Selain TACB Kabupaten Rembang, Kementerian PUPR juga melibatkan TACB nasional.
Anggoro meyakini, rusaknya saluran air kuno yang dikhawatirkan masyarakat tidak akan terjadi. Pihaknya sudah bersepakat dengan TABC untuk bekerja dengan hati-hati demi menjaga keaslian saluran air kuno. Sebagian saluran air kuno nanti akan dipasangi kotak kaca agar masyarakat bisa tetap melihat struktur asli saluran air tersebut.
”Kawasan cagar budaya itu tidak serta-merta tidak bisa ditata. Tetap bisa ditata supaya tidak kumuh. Tapi jangan khawatir, cagar budayanya juga kami jaga. Tujuan penataan ini semata-mata ingin mengembalikan kejayaan Lasem,” ucap Anggoro.
Ia menambahkan, total area penataan Kawasan Pusaka Lasem adalah 13.606,35 meter persegi. Area itu meliputi Alun-alun Lasem, Masjid Jami’ Lasem, Pasar Lasem dan kawasan pecinan di Karangturi, serta Kauman. Penataan kawasan itu ditargetkan rampung Agustus 2022 dan menurut rencana diresmikan Presiden Joko Widodo.
Penataan Kawasan Pusaka Lasem diharapkan bisa membuat Lasem semakin dikenal. Kepala Bappeda Kabupaten Rembang Dwi Wahyuni Hariyati menyebut, ke depan, Lasem akan dikembangkan dengan lima konsep. Konsep itu meliputi, Lasem kota Jawa pesisir, Lasem dan budaya Islam, Lasem dan budaya Tionghoa, Lasem dan jejak peninggalan kolonial, serta Lasem kota kreatif dan akulturasi budaya.
Tonton juga : Avontur Warisan Lasem
”Oleh karena keterbatasan fiskal, Pemerintah Kabupaten Rembang belum bisa melakukan penataan, baik itu rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, maupun restorasi sendiri. Pada 2012, kami mengikuti program pelestarian dan penataan kota pusaka dari Kementerian PUPR. Setelah satu dekade, akhirnya pembangunannya bisa dimulai,” kata Wahyuni.
Peradaban tua Lasem memang perlu terus dilestarikan agar semakin banyak orang kesengsem dengan keindahan dan kisah silang budaya. Namun, selain memperhatikan kaidah kecagarbudayaan, penataan Kawasan Pusaka Lasem mesti melibatkan warga setempat agar mereka semakin paham dan nantinya mengawal pembangunan.