Di Balik Kopi Arabika Organik Ngada yang Berkibar
Marselina Walu (46), perempuan petani dari Ngada, meraih gelar Q-Grader sebelum menang dalam berbagai ajang kompetisi kopi arabika organik.
Marselina Walu (46) adalah perempuan petani kopi Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagai orangtua tunggal, ia berjuang dari keterpurukan ekonomi hingga menang lelang kopi internasional pada 27 Januari 2022 lalu senilai Rp 577.000 per kilogram. Kopi arabika organik Ngada pun masuk dalam jajaran kopi berkualitas dunia.
Setiap hari, suhu di Desa Radabata, Kecamatan Bajawa, Ngada, tempat tinggal Marselina, berkisar 15-27 derajat celsius. Desa di ketinggian 1.350 mdpl itu berada di bawah kaki Gunung Inerie (2.776 mdpl), dengan jumlah penduduk 445 jiwa. Sebanyak 98 persen warga bermata pencarian petani, di antaranya petani kopi, termasuk Marselina.
Ia memiliki lahan kopi seluas 1 hektar (ha), hasil pembagian warisan dari ayahnya. Awalnya, lahan itu ditanami jagung, ubi, kacang, pisang, dan pohon berbuah lain. Namun, hasil panen dari sejumlah tanaman itu tidak mencukupi kebutuhan selama setahun.
Seiring waktu, desa kopi itu mendapat perhatian pemerintah daerah dan LSM untuk pengembangan kopi organik arabika. Tahun 2007, Marselina memilih mengganti lahan itu dengan tanaman kopi, yang mulai berbuah tahun 2013. ”Saat itu pula saya membentuk kelompok tani yang sebagian besar beranggotakan perempuan, yang disebut Poma Taka,” kata Marselina saat dihubungi di Bajawa, Ngada, Minggu (13/2/2022).
Baca juga : Marselina Walu, Perempuan Pejuang Kopi dari Ngada
Kelompok tani ini kemudian berubah nama menjadi kelompok usaha bersama simpan pinjam (KUBSP) yang diberi nama Berdikari. Marselina menjadi ketuanya. Mereka lalu mendirikan unit pengelolaan hasil (UPH) Berdikari, yang juga diketuai Marselina.
Tahun 2014, UPH itu berubah menjadi Koperasi Primer Kagho Masa. Dari sini, mereka mulai mengikuti lelang kopi nasional di Jakarta. Saat itu, kopi Bajawa laku dijual dengan harga Rp 60.000 per kilogram (kg). Mereka pun melebarkan usaha ke desa tetangga melalui proyek sekolah lapang. Koperasi ini pun mulai memproduksi kopi sesuai standar specialty coffee.
Secara perlahan tapi pasti, kualitas kopi ini makin dikenal di Jawa, Bali, dan Sumatera. Mereka mulai menjual produknya ke PT Indokom, ke kafe-kafe di kota-kota besar. Kopi dari Koperasi Primer Kagho Masa ini juga mengikuti lelang kopi tingkat dunia dalam ajang Specialty Coffee Association of American Expo tahun 2017 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat.
Ibu satu anak itu terus belajar dengan mengikuti pelatihan soal kopi dan melakukan kunjungan ke sejumlah tempat produksi kopi ternama. Atas bantuan salah satu LSM, Marselina kemudian belajar tentang kualitas kopi di Australia, sampai mendapat sertifikat sebagai Q-Grader, suatu pengakuan akan kemampuan menguji kualitas kopi. Ia adalah perempuan pertama dan orang NTT pertama yang memiliki kualifikasi itu.
Baca juga : Kopi Arabika Organik di Ngada Terancam Alih Fungsi Lahan
Ia pun mengikuti seleksi kompetisi kopi nasional dan internasional di sejumlah tempat. Tahun 2021, ia terlibat dalam kompetisi kopi di Bandung, Jawa Barat. Lalu, dilanjutkan dengan lelang kopi pada 27 Januari 2022 dengan hasil lelang mencapai Rp 577.000 per kg kopi full wash.
Kopi tersebut dibeli pengusaha Jepang, salah satu dari 121 pengusaha kopi yang ikut lelang secara daring. Jumlah kopi yang terjual sebanyak 217 kg dari total 250 kg kopi yang dibawa Marselina.
Kompetisi ini diselenggarakan Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI), perkumpulan para pelaku industri kopi. Peserta awalnya 158 petani kopi arabika dari seluruh Indonesia. Petani yang lolos di tingkat nasional sebanyak 79 orang, pada penjurian internasional ronde pertama lolos 36 orang, sedangkan pada ronde kedua 34 orang.
Kopi yang dinyatakan berhak mengikuti lelang nasional ada enam, sedangkan lelang internasional diikuti 26 petani dengan 26 kopi. Kopi Wajamala milik Marselina dari Ngada termasuk salah satu dari 26 kopi itu. ”Dalam kompetisi ini, saya disponsori NGO Rikolto Indonesia yang berkantor di Denpasar, Bali,” kata Marselina.
Baca juga : Ngada Target Ekspor Kopi 65 Ton Per Tahun
Pemenang lelang peringkat pertama adalah petani kopi dari Aceh dengan hasil lelang Rp 2,5 juta per kg. Marselina menempati urutan ke-25 atau kedua dari bawah, tetapi nama kopi arabika Ngada sudah dibukukan dalam peringkat kopi berkualitas dunia dengan posisi nomor enam dunia.
Sementara pada festival kopi Cup of Excellence(COE) 2021 di Bandung yang diikuti 32 petani kopi dari 26 provinsi dan 30 pelaku usaha, kopi arabika organik Marselina juga turut memenangi lelang, COE merupakan kegiatan tahunan yang melibatkan kopi-kopi berkualitas dunia.
Tujuan COE adalah mencari kopi bermutu tinggi, khususnya industri kopi specialty, membentuk kopi berkualitas dan berkelanjutan, mengoptimalkan permintaan ekspor kopi Indonesia, serta meningkatkan keterampilan dan semangat juang petani kopi. Petani kopi didorong untuk melakukan budiaya kopi dengan kualitas dan cita rasa terbaik dunia yang berkelanjutan.
Rangkaian kegiatan festival itu sendiri terdiri atas internasional coffee top, lelang kopi, kompetisi kopi, dan beberapa kegiatan lain. Seleksi kopi sejak Juni hingga Desember 2021, sedangkan pengumuman lelang pada 27 Januari 2022.
Baca juga : Sumba Barat Daya Genjot Produksi Kopi
Proses pengujian sangat ketat, melibatkan enam juri baik dari dalam maupun luar negeri dengan sertifikat internasional. Penilaian tidak hanya menyangkut kopi, tetapi juga proses dari hulu untuk mendapatkan kopi berkualitas. Pengujian itu juga menyangkut zat kimia yang terkandung di dalam biji kopi. Kopi milik Marselina memiliki zat kimia 0,1 persen.
Pemenang COE tingkat nasional adalah petani dari Jawa Barat (1), Aceh (2), Bali (1), Sulawesi Selatan (1), dan Sumatera Selatan (1). Adapun pemenang COE internasional adalah petani dari Jabar (9), Aceh (6), Bali (1), Jawa Timur (3), NTT (1), dan Sulawesi Selatan (4).
Berganti sayuran
Di tengah pengakuan dunia yang membaik, keberadaan kopi organik arabika Ngada yang sedang populer itu mulai terancam. Petani kopi menebang pohon kopi dan menggantinya dengan tanaman hortikultura, seperti tanaman sayur-sayuran, yang dinilai dapat dipanen berulang kali dalam satu tahun pada tahun 2018-2019. ”Kondisi ini kemudian diperparah kebijakan untuk budidaya jahe merah dan porang tahun 2020 sampai sekarang,” kata Marselina.
Petani sekaligus pengusaha kopi organik arabika Ngada, Feliks Soba, mengatakan, harga kopi saat ini Rp 75.000 per kg, hasil produksi tahun 2021. Di Ngada ada 3 pelaku usaha kopi, 5 koperasi yang membeli dan menjual kopi, serta 30 pengusaha dari luar, yakni dari Ende, Manggarai, Kupang, dan luar NTT. ”Harga Rp 75.000 per kg ini berlaku sejak 2018 sampai sekarang. Saya masih simpan 4,5 ton kopi full wash di gudang,” katanya.
Baca juga : Kopi Flores Berpotensi Dikembangkan
Ketua kelompok tani Nola Wangu dari Desa Wawo Wae, Kecamatan Bajawa, ini mengatakan, produksi kopi tahun 2021 hanya 150–200 kg per ha, tetapi tahun 2022 ini diprediksi kembali normal seperti tahun 2020, yakni 400-600 kg per ha. Tanaman kopi milik petani hampir 100 persen berbuah. ”Buah kopi kali ini memperlihatkan hasil yang memuaskan,” kata Feliks.
Kepala Dinas Perkebunan Ngada Paskalis Wale Bai mengatakan, dalam tiga tahun terakhir terjadi penyusutan lahan kopi seluas 411 ha dari total lahan 5.780 ha. Alih fungsi lahan kopi seluas 411 ha itu, antara lain, karena penurunan produksi kopi dan beredarnya informasi tidak benar dari luar.
”Misalnya, harga tanaman porang sampai Rp 500.000 per kg hingga keuntungan ratusan juta rupiah per tahun dari hasil panen sayur dan jahe yang berulang kali dalam setahun. Ini beda dengan kopi organik arabika yang hanya satu kali panen dalam setahun, menghasilkan uang Rp 10 juta-Rp 50 juta,” kata Wale Bai.
Tahun 2021, dengan dukungan dana APBN, pemerintah memperluas 200 ha lahan kopi di lahan milik petani. Penanaman dilanjutkan tahun ini. Kebijakan ini untuk mempertahankan kopi arabika organik Ngada Flores yang sudah lebih dulu tren di tingkat nasional dan internasional.
Baca juga : Pemkab Ngada Berpotensi Kembangkan Kakao