Marselina Walu adalah satu-satunya ahli yang menguji mutu kopi atau Q Grader di NTT. Kemampuan itu dia dapat atas dukungan NGO yang menfasilitasinya belajar khusus jenis-jenis kopi, dan mutu kopi di Bandung, Jawa Barat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Lahir dan besar di desa terpencil, di antara rerimbunan pohon kopi Arabica organik, di Bajawa, Ngada, menjadikan Marselina Walu (46) begitu mencintai tanaman itu. Sebagai petani kopi, pemilik unit pengelolaan hasil “Berdikari”, serta ketua kelompok tani perempuan, memunculkan Marselina menjadi Q Grader kopi pertama di Nusa Tenggara Timur. Dedikasinya di bidang kopi melahirkan kepercayaan pengusaha internasional terhadap kemampuan dia menguji kualitas kopi.
Marselina saat dihubungi di Bajawa, Jumat (9/7/2021), mengatakan, ingin mengubah pola pikir kaum perempuan Desa Radabata Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) agar bisa mandiri di atas kekuatan dan kemampuan sendiri. Marselina memiliki kebun kopi warisan orangtua di Desa Radabata seluas 50 are kemudian diperluas Marselina menjadi 100 are tahun 2001. Untuk mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup maka tanaman lain seperti umbi-umbian harus disingkirkan, diganti dengan kopi Arabica organik. Setelah kopi tumbuh tanaman jenis lain dibudidayakan sebagai tanaman celah.
Kopi warisan yang berusia di atas 30 tahun saat itu pun diremajakan dengan cara memangkas, dan menggantikan tanaman yang sudah jarang berbuah dengan tanaman baru. Tahun 2015, kopi itu memperlihatkan hasil maksimal. Satu pohon kopi bisa menghasilkan 3-4 kg kulit tandu.
”Tahun 2019 saya ikut lomba kebun kopi berproduksi tertinggi tingkat nasional, dan saya keluar sebagai juara I. Satu hektar kopi menghasilkan 6 ton kopi gelondongan, masuk kategori produksi kopi organik tertinggi nasional. Saya pun ke Jakarta bertemu Menteri Pertanian dan Presiden Joko Widodo Saat itu,” single parent ini, bangga.
Itu hasil kerja keras. Pukul 06.00 Wita sudah berada di kebun kopi, memantau kondisi kopi, menyemprot semut dan serangga lain, dan membersihkan rerumputan. Dahan dan ranting kering dipotong, dan yang menjulang lebih dari 4 meter dipangkas. ”Saya paling khawatir kalau buah kopi yang masih muda dihinggapi serangga akhirnya menghasilkan biji kopi yang tidak berkualitas,” kata Marselina.
Kelompok tani ”Berdikari”, beranggotakan 25 orang, di antaranya tiga laki-laki. Kehadiran laki-laki dalam kelompok ini untuk urusan yang sulit dikerjakan perempuan seperti panjat kelapa, pinang, dan mengangkat beban lebih dari 50 kg.
Kopi Ngada sudah masuk dalam ”Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Flores Arabica Bajawa, Ngada,” pada 2013. Lulusan SMA ini khawatir, kopi yang memiliki kualitas internasional, diabaikan dan punah. ”Perilaku sejumlah petani kopi di Ngada saat ini sangat instan. Orang tanam porang ikut tanam porang, tanam jahe ikut jahe, tanam sayur yang katanya tiga kali panen dalam setahun ikut tanam sayur. Lahan kopi pun dibabat dan diganti dengan tanaman itu. Ini sangat disayangkan,” kata Marselina.
Pemilik unit pengelolaan hasil (UPH) ”Berdikari” ini mengatakan, jumlah UPH di Ngada sebanyak delapan unit, semuanya dipimpin laki-laki kecuali UPH Berdikari. Setiap UPH melakukan pembelian kopi gelondongan berkualitas dari petani kopi kemudian mengolah dengan standar internasional untuk tujuan ekspor.
Jumlah pembelian kopi gelondongan tergantung kemampuan modal UPH tersebut. Bagi UPH Berdikari yang dipimpin Marselina, setiap musim panen, ia membeli sekitar 10–20 ton kopi gelondongan dengan harga Rp 6.000 per kg. ”UPH lain dan pengusaha dari luar beli dengan harga Rp 5.000 per kg, tetapi saya ingin membantu petani kopi. Biar kami saling berbagi,” kata Marselina.
Selain sebagai petani kopi, perempuan satu anak ini juga sebagai pemetik. Kemampuan memetik kopi cukup professional. Ia tahu biji kopi mana yang layak dipanen dan berkwalitas ekspor, dan mana yang hanya bisa dikonsumsi lokal. Pemilahan biji kopi seperti ini tidak semua orang mampu melakukan.
Dengan cara ini saat proses penyortiran pun tidak butuh waktu lama sehingga kopi segera diolah menjadi kopi beras atau kopi kulit tandu. Tenggat penjemuran kopi tergantung suhu udara setempat, yakni 6-12 hari, tetapi dengan alat box dryer hanya 16-18 jam.
Marselina mengaku, dirinya adalah satu-satunya ahli yang menguji mutu kopi di NTT atau Q Grader. Kemampuan yang dimiliki Marselina atas dukungan NGO yang menfasilitasi dia untuk belajar khusus jenis-jenis kopi, dan mutu kopi di Bandung, Jawa Barat, selama enam bulan. ”Meski belajar di Indonesia, tetapi sertifikat Q Grader saya dapat dari Amerika Serikat. Tim penguji untuk mendapatkan sertifikat itu dari pengusaha kopi AS, Indonesia, dan Jepang,” tutur Marselina.
Setiap ada lomba kopi di NTT dan tingkat nasional, Marselina selalu dilibatkan sebagai penguji. Saat pandemi Covid-19 ini, kegiatan itu tidak berjalan.
Ekspor ke banyak negara
Kopi hasil produksi semua UPH di Ngada termasuk UPH Berdikari sebelum dikirim ke sejumlah negara seperti Guangzhou China, Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Jerman harus diuji Marselina terlebih dulu. Setiap biji kopi yang diekspor atau dikirim ke sejumlah kafe di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Marselina memastikan berkualitas terbaik.
”Selama ini mutu kopi yang saya rekomendasikan belum ada yang klaim, atau dinilai gagal. Kalau ke Guangzhou kami bisa kirim langsung dengan harga Rp 150.000 per kg, setelah ada pengusaha dari sana datang memantau tanaman kopi dan proses panen sampai pengepakan pada 2016. Akan tetapi, ke negara lain, harus melalui PT Sucafina Indonesia Coffee Bandung. Perusahaan ini membeli dari kami dengan harga Rp 52.000 per kg kulit tandu, lalu diproses dan diekspor,” kata Marselina.
Ia menyesalkan inkonsistensi perda soal kopi arabika organik Ngada. Perda tahun 2017 itu menyebutkan, kopi arabika Ngada tidak boleh diantarpulaukan dalam bentuk gelondongan. Namun, fakta saat ini, kopi gelondongan dibawa ke Pulau Jawa, Toraja, Makassar, Sumatera, bahkan Australia. Di sana kopi Ngada itu beralih label menjadi produk asli wilayah itu.
Dalam tenggat 2018-2021 perhatian pemerintah terhadap kopi arabika Ngada berkurang. Petani dibiarkan berjuang sendiri. Pendampingan terhadap petani kopi redup, pemberian bibit, penyemprotan hama kopi, peremajaan kopi dan tanaman pendamping, serta bantuan peralatan kepada pengelola UPH atau koperasi kopi pun hilang.
”Pemda janji bantu biaya peremajaan kopi, tetapi batal. Kemudian janji ternak sapi untuk dipiara di sela-sela kopi, juga batal, dan terakhir ternak kambing, juga batal sampai hari ini,” tutur Marselina.
Pandemi Covid-19 datang, ekonomi petani kopi terpuruk. Apalagi kebun kopi diterpa Badai Seroja saat dalam proses berbuah sehingga rusak. ”Tahun ini, kami di Ngada sebut ro’o artinya istirahat berbuah,” kata Marselina yang melakukan kaderisasi terhadap perempuan remaja lulusan SMA tentang kopi. Meski bekerja di desa terpencil, Marselina tetap mengajak anggota kelompok tani untuk maju.