Konflik Harimau di Sumbar Dominan Terjadi di Luar Kawasan Hutan
Konflik di luar kawasan hutan itu dipicu berbagai faktor, mulai dari daerah jelajah yang luas hingga kebiasaan harimau mengikuti pergerakan mangsa.
PADANG, KOMPAS — Sebagian besar konflik ataupun potensi konflik harimau sumatera di Sumatera Barat terjadi di luar kawasan hutan. Hal itu dipicu berbagai faktor, mulai dari daerah jelajah yang luas hingga mengikuti pergerakan mangsa. Pembentukan nagari (desa) ramah harimau diyakini bisa menekan konflik.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Ardi Andono, Senin (14/2/2022), m,engatakan, selama 2021 terjadi 44 konflik/potensi konflik satwa di Sumbar. Sebanyak 16 konflik/potensi konflik itu, di antaranya, adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
”Dari jumlah kasus itu, 90 persen konflik harimau sumatera terjadi di luar kawasan hutan,” kata Ardi dalam webinar ”Masa Depan Harimau Sumatera”, yang digelar secara hibrida atau daring dan luring di Universitas Andalas, Padang.
Ardi menjelaskan, konflik harimau terjadi di luar kawasan hutan dipicu berbagai faktor. Pertama, daerah jelajah (home ring) harimau sangat luas dan tidak bisa diprediksi batasnya. Sistem daerah jelajah harimau adalah koridor, bukan hutan yang dibatasi.
Selanjutnya, lokasi pakan harimau tidak terbatas dan tidak terkotak-kotak. Harimau bakal mengikuti pergerakan pakannya. Harimau cenderung lebih menyukai hutan sekunder yang lebih terbuka karena di lokasi itu banyak mamalia pemakan rumput/tumbuhan.
”Kadang babi hutan itu bergeraknya ke kawasan APL (area penggunaan lain), arah ke perkampungan, dan sebagainya. Harimau mengikuti satwa pakannya. Itu membuat harimau lebih sering keluar dari hutan,” ujar Ardi.
Baca juga: Pekerja Penebangan Kayu di Pelalawan Tewas Diserang Harimau
Di samping itu, merebaknya virus demam babi afrika (ASF) juga memicu kematian massal babi, seperti kejadian di Agam tahun lalu. Akhirnya, harimau yang kekurangan pakan keluar dari hutan untuk memangsa ternak warga. Seekor harimau betina, Puti Maua, dievakuasi oleh BKSDA Sumbar di Kampung Maua Hilia, Kecamatan Palembayan, Agam, 11 Januari lalu, karena memangsa ternak warga.
Faktor lainnya adalah harimau betina, terutama yang sedang mengasuh anak, cenderung bergerak ke luar hutan untuk melindungi anaknya dari serangan pejantan lainnya. Kata Ardi, dari 16 konflik/potensi konflik harimau selama 2021, semuanya harimau betina dan 9 di antaranya sedang mengasuh anaknya.
Kearifan lokal
Ardi melanjutkan, untuk menangani dan memitigasi konflik, BKSDA dan Pemprov Sumbar serta dibantu mitra lainnya mulai membentuk nagari ramah harimau empat bulan lalu. Masyarakat Minangkabau dikenal sangat menghormati keberadaan harimau. Masyarakat menganggap harimau adalah penjaga kampung.
Upaya berbasis kearifan lokal ini juga untuk mengatasi keterbatasan jumlah personel BKSDA Sumbar. ”Kami cuma punya 112 pegawai yang mesti mengelola 247.000 hektar di 15 kabupaten. Kasus banyak terjadi di luar kawasan hutan. Petugas kami terlalu jauh untuk mendekat ke area konflik. Kami butuh perpanjangan tangan,” kata Ardi.
Baca juga: Tiga Harimau Sumatera Lahir dari Rehabilitasi Sepasang Harimau Korban Konflik
Menurut Ardi, sejauh ini ada tiga nagari (desa) percontohan, yaitu Sungai Aur (Pasaman Barat), Baringin (Agam), dan Sontang Cubadak (Pasaman), sebagai nagari ramah harimau. Di nagari ini juga ada tim patroli komunal bernama patroli anak nagari (pagari).
”Nagari ramah harimau dan pagari ini sebetulnya hanya mengaktifkan kembali pengetahuan tradisional yang ada di tengah masyarakat dan menjadi lebih terorganisasi sehingga Minangkabau sebagai land of tiger bisa terwujud,” katanya.
Ade Putra, pendamping nagari ramah harimau di Nagari Baringin, Kecamatan Palembayan, Agam, mengatakan, nagari ini sudah membentuk tim pagari awal November 2021. Tim didampingi BKSDA dan Yayasan Sintas Indonesia. Anggotanya adalah warga setempat yang dipilih dan ditunjuk oleh wali nagari.
Tim pagari dilatih untuk melakukan upaya mitigasi, patroli, monitoring, penyuluhan, dan sosialisasi ke masyarakat di nagari sendiri, serta melakukan penanganan. Mereka juga dibekali perlengkapan memadai, seperti kamera perangkap, GPS, alat ukur jejak satwa, dan seragam. Sejak terbentuk, tim pagari ini sudah ikut serta menangani dua konflik harimau dan dua konflik beruang madu di nagari yang dikelilingi hutan itu.
”Tim ini bersifat sukarelawan. Memang diharapkan penanganan konflik satwa berawal dari kemandirian dan keinginan warga setempat. Bagaimana warga bisa menanganinya ketika hanya satwa melintas dan muncul beberapa kali,” kata Ade, yang juga Kepala Resor Konservasi Wilayah Agam BKSDA Sumbar.
Pemprov Sumbar sangat mendukung upaya konservasi harimau sumatera.
Pendekatan penanganan dan mitigasi konflik harimau berbasis kearifan lokal didukung oleh Pemprov Sumbar. Langkah terbaru, pemprov menerbitkan Surat Edaran Gubernur Sumbar Nomor 522.5/3545/Dishut-2021 tentang Pelestarian Harimau Sumatera di Provinsi Sumbar.
Surat edaran itu memuat tentang dukungan pelestarian harimau sumatera dan habitatnya di Sumbar serta dukungan pencegahan konflik harimau dan manusia. Selain itu, tercakup pula dukungan mitigasi penanganan dan pascakonflik harimau dan manusia, dukungan penegakan hukum, dan dukungan bupati/wali kota dalam pelestarian harimau sumatera.
Mahyeldi, saat membuka seminar, mengatakan, Pemprov Sumbar sangat mendukung upaya konservasi harimau sumatera. Penerbitan surat edaran tersebut dan pembentukan Nagari Ramah Harimau bersama BKSDA Sumbar merupakan implementasi keseriusan Pemprov Sumbar dalam upaya pelestarian.
Menurut Mahyeldi, keberadaan harimau erat kaitannya dengan keselamatan masyarakat ataupun nilai-nilai adat Minangkabau yang menempatkan harimau sebagai inyiak balang panjago rimbo nagari atau harimau penjaga hutan nagari.
”Pemprov Sumbar menyadari betul bahwa dalam pelestarian harimau sumatera diperlukan kolaborasi dan sinergitas sejumlah pihak, termasuk dengan masyarakat adat dengan kearifan lokal. Saat ini telah dibentuk tiga nagari ramah harimau,” ujar Mahyeldi.
Baca juga: Harimau di Pasaman Barat Hadang Ekskavator Saat Pembersihan Lahan Sawit
Melalui berbagai upaya dan terbentuknya jejaring konservasi harimau sumatera, Mahyeldi berharap satwa terancam punah itu memiliki masa depan yang lebih baik. Harimau sumatera adalah satu-satunya jenis harimau yang ada di Indonesia saat ini.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan, saat ini populasi harimau sumatera di alam sebanyak 604 ekor. Sementara itu, di lembaga konservasi, jumlahnya sekitar 370 ekor dengan 258 ekor di antaranya di luar negeri.
”Masa depan harimau sumatera adalah masa depan hutan kita. Modal sosial dan modal intelektual yang sangat besar di Sumbar sangat penting dalam menjaga kelestariannya,” kata Wiratno dalam sambutannya.
Rektor Universitas Andalas (Unand), Yuliandri, menyatakan, dukungannya atas upaya pelestarian harimau sumatera. Unand siap bekerja sama karena kawasan kampus ini juga menjadi salah satu lokasi yang sering dilalui harimau sumatera.
”Seminar ini sangat penting karena daerah kampus ini juga menjadi habitat harimau. Dalam rangka meningkatkan penelitian, apalagi untuk keberlanjutan lingkungan kampus, kami siap bekerja sama. Hal ini juga sejalan dengan program Andalas Edu Eco Park, bagaimana lahan yang ada hari ini juga bisa menopang konservasi, seperti pertanian dan lainnya,” katanya.
Baca juga: Kekurangan Pakan akibat ASF, Harimau yang Berkeliaran di Agam Dievakuasi