Trauma dan perbedaan pendapat membuat kehidupan masyarakat Desa Wadas, Purworejo, belum pulih. Perlu ada perhatian karena kepentingan warga semestinya diprioritaskan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Gotong royong yang turun-temurun menjadi tradisi warga desa seakan lenyap di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Kerja bakti yang biasanya jadi hajat bersama atau dalam istilah Jawa, sambatan, pun sunyi. Warga sedang tidak baik-baik saja sejak pro kontra penambangan batu andesit merobek keguyuban mereka.
Pengecatan Masjid Al Hidayah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Sabtu (12/2/2022), tampak sepi. Tak terlihat obrolan dan canda tawa warga yang biasanya meramaikan suasana sambatan semacam ini. Kerja bakti yang diinisiasi Kodim 0708/Purworejo itu dimaksudkan untuk kembali membangun relasi dan mengembalikan interaksi warga seperti semula, sebelum konflik akibat pro kontra pertambangan batu andesit terjadi.
Padahal, tak jauh dari masjid, cukup banyak terlihat warga. Semua tampak asyik dengan aktivitas masing-masing. Tidak satu pun melakukan kegiatan serius. Banyak orang justru santai duduk-duduk, merokok, dan mengobrol dengan rekan-rekannya.
Sejumlah ibu rumah tangga juga terlihat duduk di depan warung penyedia kebutuhan pokok, berbincang dengan ibu lainnya, sembari sesekali mengawasi anak-anaknya bermain. Tidak ada yang terlalu sibuk, tetapi hampir semuanya juga terlihat menjauhkan diri, tidak mau terlibat dengan kegiatan gotong royong di masjid.
Seperti diberitakan, masyarakat di Desa Wadas saat ini terbelah, menjadi kelompok pro dan kontra terhadap rencana penambangan batu andesit. Adapun penambangan ini dimaksudkan sebagai penyuplai material untuk pembangunan Bendungan Bener. Ketegangan di desa mencapai puncaknya ketika polisi kemudian mengamankan 67 warga kontra penambangan saat mereka sedang melakukan mujahadah di Masjid Nurul Huda, Selasa (8/2/2022).
Ngadik (40) adalah salah satu warga yang tidak mengacuhkan kerja bakti. Tidak mau menerangkan secara jelas tentang alasan tidak bergabung, dia justru mempersoalkan keberadaan puluhan personel TNI dan polisi di masjid. ”Ada apa lagi? Mau ngapain lagi mereka?” ujarnya dengan tatapan cemas sekaligus curiga.
Masih takut
Pertanyaan serupa diungkapkan warga lainnya, Khamiyati (39). Setelah lega karena seluruh polisi sudah berpamitan pada Jumat (11/2/2022), dia mengaku kembali khawatir karena melihat puluhan personel kepolisian dan TNI kembali masuk ke dalam desa.
Ia mengaku perasaannya belum bisa tenang. Ia belum bisa berdamai dengan kehadiran aparat. Kericuhan pada Selasa (8/2/2022) di Masjid Nurul Huda masih menyisakan trauma yang belum bisa dilupakan.
Khamiyati yang merupakan warga yang menolak rencana penambangan mengaku, kericuhan kemarin membuat dirinya semakin mencurigai kelompok warga pro tambang. ”Pengerahan aparat tersebut mungkin terjadi karena kelompok pro suka melapor ke sana kemari,” ujarnya curiga.
Sementara itu, Mujiyanto (47), salah satu warga pro penambangan yang terlibat dalam kerja bakti, menilai, minimnya keterlibatan warga dalam kerja bakti terjadi karena Masjid Al Hidayah berdiri di tengah permukiman warga kontra. Dia pun tidak memedulikan kondisi tersebut karena warga kontra biasanya memang tidak mau mengikuti kegiatan di mana warga pro penambangan terlihat terlibat di dalamnya. ”Mereka (warga kontra) memang tidak mau berinteraksi dengan kami (warga pro),” ujarnya.
Secara pribadi, Mujiyanto mengaku keputusannya mendukung rencana pemerintah dengan setuju menjual lahan adalah keputusan yang tepat. Hal itu dilatarbelakangi alasan karena baginya tidak ada celah alasan untuk menentang program pemerintah.
”Kalau saya menentang, saya khawatir hal itu nantinya berdampak pada berbagai macam hal lain, misalnya dipersulit saat mengurus administrasi atau semacamnya,” ujarnya.
Komandan Koramil 13/Bener Kapten Inf Dhaliman menuturkan, informasi tentang kegiatan kerja bakti tersebut baru disampaikan kepada warga, Jumat (11/2/2022). Adapun Sabtu pagi, jumlah warga yang terlibat kurang dari 10 orang. ”Karena dilaksanakan pagi, mungkin masih banyak orang yang berhalangan karena harus bertani di ladang,” ujarnya.
Di Desa Wadas, kerja bakti pembersihan dan pengecatan direncanakan dilakukan di sejumlah masjid, mushala, dan tempat pendidikan Al Quran (TPQ). Semula, kegiatan ini direncanakan akan melibatkan 50 personel TNI. 30 gabungan warga dan pegawai dari Kantor Kecamatan Bener, serta 20 polisi.
Di sudut Desa Wadas yang lain, warga di sekitar Masjid Nurul Huda juga menolak rencana TNI untuk membersihkan masjid tersebut pada Sabtu lalu. ”Kami menghargai dan tetap menghormati rencana dari TNI. Namun, kami minta rencana tersebut ditunda karena sekarang bukanlah saat yang tepat,” ujar Ngabdul Mukti (29), warga di sekitar Masjid Nurul Huda.
Ngabdul mengatakan, saat ini masih banyak warga dibelit trauma. Banyak orang belum berani menerima keberadaan aparat di sekitarnya. Puluhan warga pun masih mengungsi dan belum berani pulang ke rumah karena khawatir kericuhan dan kekerasan yang dilakukan aparat pada Selasa (8/2/2022) akan kembali berulang. Sebagian warga yang sempat ditangkap polisi juga belum bisa merasa tenang karena telepon seluler mereka, tanpa alasan yang jelas, masih disita polisi.
Julian Dwi Prasetya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengatakan, selama ini perbedaan pendapat, pro dan kontra terhadap penambangan, tidak pernah berkembang menjadi masalah besar. Namun, huru-hara dan trauma akhirnya muncul karena adanya intervensi aparat yang kemudian justru mengacaukan situasi di desa.
Komandan Kodim 0708/Purworejo Letkol Infanteri Lukman Hakim mengatakan, situasi yang terjadi saat ini memang tidak mudah dihadapi. Namun, pihaknya siap membantu melakukan upaya pemulihan trauma (trauma healing) serta akan berupaya membantu memulihkan relasi antarwarga dengan cara melakukan kegiatan kerja bakti dengan melibatkan banyak warga.
”Pemulihan trauma dan relasi antarwarga adalah hal utama yang harus ditangani pemerintah,” ujar Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara.
Rekonsiliasi di antara warga menjadi kunci utama memecahkan masalah di Wadas. Jangan sampai masalah ini dianggap sederhana hingga meninggalkan luka dan api permusuhan yang justru merongrong keselarasan hidup warga desa.