Tiga Persoalan yang Menghambat ”Travel Bubble” di Batam dan Bintan
Sejak Indonesia dan Singapura menyepakati skema travel bubble pada 24 Januari lalu, belum satu pun turis asing yang datang ke Kepulauan Riau. Ada tiga hal yang menyebabkan turis asing belum mau datang ke Kepri.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pemerintah dan pengusaha di Kepulauan Riau mengevaluasi sejumlah kendala yang menghambat penerapan travel bubble atau gelembung perjalanan wisata. Sejak disepakati Indonesia dan Singapura pada 24 Januari 2022, belum ada satu turis pun yang datang ke Kepri menggunakan skema gelembung itu.
Skema gelembung perjalanan wisata bertujuan memisahkan wisatawan mancanegara dengan masyarakat umum. Interaksi wisatawan mancanegara akan dibastasi hanya kepada orang dalam satu gelembung yang sama.
Dalam hal ini, Indonesia dan Singapura menyepakati dua gelembung sebagai uji coba. Pertama adalah gelembung wisata di kawasan resor Lagoi, Bintan. Adapun gelembung yang kedua adalah kawasan resor Nongsa, Batam.
Kepala Dinas Pariwisata Bintan Wan Rudy Iskandar, Kamis (10/2/2022), mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan turis dari Singapura belum berminat datang ke Kepri dengan memanfaatkan skema gelembung perjalanan wisata. ”Tiga hal itu disimpulkan berdasarkan tanggapan dari agen perjalanan wisata di Singapura terhadap sosialisasi travel bubble yang dilakukan pengusaha pariwisata Kepri,” katanya.
Kendala pertama, turis Singapura yang baru pulang dari liburan Kepri tetap diwajibkan karantina selama tujuh hari. Akibatnya, turis jadi enggan datang ke Lagoi atau Nongsa karena rata-rata mereka hanya menginap selama tiga hari, tetapi diharuskan karantina selama tujuh hari saat pulang.
Adapun masalah yang kedua adalah untuk saat ini skema gelembung perjalanan wisata hanya berlaku bagi warga negara Singapura. Padahal, sebelum pandemi, turis yang datang ke Kepri tak sedikit yang berstatus sebagai ekspatriat. Mereka adalah warga negara asing yang tinggal untuk bekerja di Singapura.
Yang terakhir, biaya tes PCR yang harus dikeluarkan turis untuk melakukan tes PCR di Singapura masih tinggi, yakni Rp 1,25 juta untuk satu kali tes. Jika mereka berlibur ke Kepri, setidaknya mereka harus menyiapkan biaya tes PCR hingga empat kali.
Menurut Wan Rudy, tiga hal itu telah disampaikan perwakilan pengusaha dan pemerintah di Kepri kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menjadi bahan evaluasi penerapan gelembung perjalanan wisata di Lagoi dan Nongsa. Harapannya, perwakilan pemerintah Indonesia dan Singapura dapat kembali bertemu untuk membahas sejumlah peraturan yang saat ini belum selaras.
”Setiap hari, ada ratusan agen perjalanan wisata di Singapura yang bertanya soal travel bubble. Sebenarnya mereka antusias untuk membawa turis ke Kepri, tetapi mereka tidak ingin ada karantina lagi di Singapura setelah pulang dari Kepri,” kata Wan Rudy.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPRD Kepri, Rudi Chua, menilai, sebenarnya program jalur perjalanan bagi orang yang sudah divaksinasi (vaccinated travel lane/VTL) lebih tepat untuk menarik kedatangan turis asing daripada skema gelembung perjalanan wisata. Melalui VTL, turis asing bisa lebih leluasa bergerak di luar kawasan gelembung dan diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih nyata.
Sebenarnya mereka antusias untuk membawa turis ke Kepri, tetapi mereka tidak ingin ada karantina lagi di Singapura setelah pulang dari Kepri.
Dalam pertemuan pemimpin negara atau Leaders' Retreat di Bintan pada 25 Januari lalu, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyatakan, Singapura dan Indonesia akan melanjutkan diskusi agar skema gelembung perjalanan wisata bisa berlaku dua arah. Selain itu, ia juga berharap agar ke depan ada lebih banyak destinasi wisata di Indonesia yang dapat dibuka bagi turis Singapura.