Pekerja Penebangan Kayu di Pelalawan Tewas Diserang Harimau
Serangan harimau sumatera di Riau selalu memakan korban jiwa, setidaknya sejak 2019. Terakhir, seorang pekerja penebangan kayu tewas diserang harimau di Pelalawan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Seorang pekerja penebangan kayu hutan tanaman industri di Kabupaten Pelalawan, Riau, tewas diserang harimau sumatera. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau menurunkan tim untuk penanganan lebih lanjut konflik satwa dan manusia ini. Serangan harimau di Riau selalu memakan korban setiap tahun.
Pelaksana Tugas Kepala BBKSDA Riau Fifin Arfiana Jogasara, Minggu (6/2/2022), mengatakan, serangan harimau itu terjadi di areal kerja PT Simpang Kanan (Grup Sinar Mas), Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, pada Sabtu (5/2/2022) siang. Korbannya adalah Tugiyat (41), operator chainsaw.
Fifin menjelaskan, korban diketahui hilang oleh rekannya saat jam istirahat makan siang. Sebelumnya, mereka sedang panen kayu. Sang rekan memanggil korban untuk makan siang, tetapi tidak ada jawaban. Enam meter dari lokasi, rekan yang berupaya mencari menemukan celana korban dan ceceran darah.
Rekan korban berteriak mencari bantuan. Pekerja lainnya berkumpul di sekitar lokasi sekitar pukul 12.40 dan melakukan pencarian dengan dua ekskavator. ”Pada pukul 17.35, korban baru ditemukan dengan kondisi sudah meninggal,” kata Fifin, ketika dihubungi dari Padang, Sumatera Barat, Minggu.
Fifin menjelaskan, perusahaan membawa jasad korban ke pusat kesehatan untuk otopsi, dan selanjutnya diserahkan kepada pihak keluarga. Atas kejadian ini, BBKSDA Riau pada Minggu menurunkan tim ke Pelalawan bersama pihak perusahaan untuk penanganan konflik lebih lanjut.
”Tim sedang ke lapangan, perjalanan relatif lama. (Senin, 7/2/2022) besok tim akan rapat menentukan tindakan apa yang akan dilakukan,” ujar Fifin.
Setiap tahun
Kejadian serangan harimau yang memakan korban jiwa di Riau berulang kali terjadi. Dari catatan Kompas, setiap tahun ada manusia yang tewas akibat diserang Panthera tigris sumatrae di Riau, setidaknya sejak 2019.
Pada 29 Agustus 2021, Malta Akfarel (16) tewas akibat diserang harimau sumatera di sekitar kamp bekas karyawan PT Uniseraya, perusahaan perkebunan kelapa sawit, di sekitar pantai Desa Teluk Lanus, Kecamatan Sungai Apit, Siak (Kompas.id, 30/8/2022).
Adapun Kompas (1/2/2020) melaporkan, Darmawan (42), seorang pencari kayu di hutan bekas lahan PT Bhara Induk di Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir, tewas diterkam harimau pada 30 Januari 2020.
Sebelumnya, konflik antara harimau sumatera dan manusia terjadi di Kecamatan Pelangiran pada Mei 2019. Saat itu, Muhammad Amri (32), buruh PT RIA, tewas karena terluka parah akibat diterkam harimau (Kompas, 25/5/2019).
Fifin mengatakan, untuk kasus di Pelalawan, Sabtu kemarin, ia belum tahu penyebabnya. Namun, ia memperkirakan konflik harimau di Riau terjadi karena kawasan hutan yang sudah terbuka, sedangkan harimau punya daerah jelajah yang luas.
”Kalau kawasan hutan terbuka, otomatis jumlah satwa mangsa berkurang. Bisa dimungkinkan karena satwa mangsa berkurang sehingga dia harus keluar dari kawasan hutan,” ujar Fifin.
Menurut Fifin, wilayah Riau dulu berhutan dan menjadi habitat harimau. Sekarang, dengan perubahaan fungsi masing-masing, harimau tetap berada dan berkeliaran di kawasan itu.
”Pekerja harap berhati-hati. Ancaman (serangan harimau) itu selalu ada karena areal kerja mereka memang wilayah hutan, di rumah satwa liar. Harus hati-hati dan harus bisa memperkirakan kapan harimau itu keluar,” kata Fifin.
Konflik harimau di Riau diduga terjadi karena kawasan hutan yang sudah terbuka, sedangkan harimau punya daerah jelajah yang luas. (Fifin Arfiana Jogasara)
Evaluasi
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, konflik harimau dan manusia di Riau marak akibat deforestasi untuk kepentingan bisnis kelapa sawit dan tanaman industri, seperti akasia dan eukaliptus. Adapun puncak deforestasi di Riau terjadi selama periode 2000-2009.
”Deforestasi tidak hanya menghilangkan sumber penghidupan masyarakat dan memicu bencana ekologis, tetapi juga memicu konflik lebih luas. Tidak hanya konflik korporasi dan masyarakat, tetapi melahirkan konflik satwa dengan manusia, baik dengan pekerja perusahaan maupun masyarakat setempat,” kata Boy.
Akibat deforestasi, kata Boy, habitat harimau ataupun habitat satwa mangsanya hilang. Kekurangan pakan, area jelajah yang mengecil akibat hutan alami berkurang atau daerah lintasan beralih fungsi, membuat harimau terganggu dan keluar dari persembunyiannya. Akhirnya, konflik harimau dan manusia tidak terhindarkan.
Menurut Boy, perusahaan mesti mengevaluasi komitmen mereka memenuhi wilayah konservasi satwa dan memitigasi konflik antara manusia dan satwa. ”Evaluasi kebijakan konservasi mereka agar tidak menimbulkan konflik baru lagi, baik dengan masyarakat ataupun satwa,” ujarnya.
Walhi Riau juga mendorong evaluasi perizinan usaha perkebunan memasuki fase yang lebih luas. Tidak hanya terkait konflik dengan masyarakat lokal, evaluasi semestinya juga mulai masuk ke aspek konflik dengan satwa. Mesti ada upaya untuk memulihkan hutan alami habitat satwa.
Konflik harimau dengan masyarakat, harus jadi bahan evaluasi perizinan, termasuk bagaimana pemulihan lingkungan hidup serta memperhatikan keberadaan satwa. Pasalnya, harimau adalah hewan endemik yang populasinya kritis.