Diduga Korupsi Dana Covid-19, Dua ASN Minahasa Utara Diringkus Polisi
Penyimpangan anggaran dana penanganan Covid-19 menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 61 miliar
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Dua aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara ditahan sebagai tersangka korupsi dana penanganan Covid-19 tahun anggaran 2020. Pemerintah pun didesak untuk lebih transparan dalam pengelolaan dana penanggulangan pandemi.
Sesuai keterangan pers tertulis Polda Sulut yang diterima pada Minggu (6/2/2022), dua ASN tersebut adalah YNM alias Yohana, mantan kepala Dinas Ketahanan Pangan Minahasa Utara serta MMO alias Marten, bekas kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah Minahasa Utara. Terdapat satu tersangka lagi, yaitu SE alias Sutrisno, direktur CV Dewi.
Penyimpangan anggaran oleh ketiga tersangka menyebabkan kerugian negara Rp 61 miliar. ”Penetapan tersangka ini berdasarkan hasil audit perwakilan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Sulut tanggal 23 Desember 2021,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast.
Kasus ini telah diselidiki sejak pengujung 2020 ketika Minahasa Utara dipimpin oleh Bupati Vonnie Anneke Panambunan. Pada Maret 2021, Polda Sulut meminta Pemkab Minahasa Utara, yang saat itu belum genap dua minggu dipimpin bupati baru, Joune Ganda, untuk mengembalikan dana tersebut.
Sebagian besar, yaitu Rp 57 miliar, diduga diselewengkan melalui Dinas Ketahanan Pangan Minahasa Utara yang saat itu bertugas menyalurkan jaring pengaman sosial bagi warga berupa bahan makanan. Sisanya merupakan anggaran Sekretariat Daerah, Dinas Kesehatan, serta rumah sakit Pemkab Minahasa Utara.
Kendati begitu, kepolisian baru menerima laporan terhadap ketiga tersangka pada 24 Mei 2021. Penyidikan pun berlangsung hingga tersangka ditetapkan pada Januari 2022. ”Saat ini YNM dan MMO sudah ditahan di Rutan (Rumah Tahanan) Polda Sulut, sedangkan SE masih berada di luar kota dan akan memenuhi panggilan,” tambah Jules.
Ketiga tersangka diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Penyelewengan anggaran oleh dua ASN tersebut juga menyebabkan Minahasa Utara menjadi satu-satunya daerah di Sulut yang mendapat opini Tidak Wajar dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) keuangan pemda tahun anggaran 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sulut. Laporan itu diumumkan pada Mei 2021.
Bupati Minahasa Utara, Joune Ganda, pun mengakuinya sebagai kegagalan manajemen keuangan daerah. Namun, ia menganggapnya sebagai momentum untuk evaluasi kinerja secara menyeluruh. “Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Yang pasti, pengelolaan anggaran 2021 harus lebih baik,” ujarnya saat itu.
Pada saat yang sama, Vonnie Anneke Panambunan sedang menjalani proses hukum terkait dugaan korupsi proyek pemecah ombak Desa Likupang II dengan total kerugian negara Rp 6,74 miliar. Nama Vonnie sempat dihubung-hubungkan pula dengan korupsi dana penanggulangan Covid-19 yang menjerat dua ASN di bawah kepemimpinannya. Pada akhir 2020, ia maju sebagai calon gubernur Sulut dalam pilkada.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, mengatakan, ada empat faktor yang mendorong ASN kerap terlibat korupsi. Pertama, tekanan atasan, yaitu kepala daerah, akibat prinsip loyalitas yang disalahartikan. Kedua, rasa takut akan kehilangan jabatan sehingga menghalalkan segala cara, termasuk menuruti keinginan atasan untuk korupsi.
Ketiga, motif memperkaya diri dengan mendapatkan komisi dari atasan. Adapun faktor keempat adalah pola pengawasan yang tidak berjalan dengan baik. ”Inspektorat itu bagian dari pemerintah dan dipimpin oleh kepala daerah, jadi tidak mungkin dia mengawasi dengan baik. Di sisi lain, pengawasan DPR juga lemah,” kata Ferry.
Empat faktor ini, lanjut Ferry, dapat dicegah dengan memperkuat kontrol bukan hanya terhadap institusi pemerintahan, melainkan juga orang-orang yang menjalankannya. Sekalipun belum ada UU yang secara fokus mengatur hal tersebut, DPR dapat menjalankan fungsi pengawasan ini untuk menjaga transparansi.
Namun, itu sulit diwujudkan jika pemerintah dan DPR dikuasai parpol yang sama. Karena itu, Ferry menegaskan parpol harus memainkan peran dalam proses pengaderan. Partisipasi dalam Pilkada 2024 harus dipersiapkan matang dengan memilih kader yang memiliki rekam jejak baik, bukan hanya memiliki uang untuk membayar mahar dan membiayai kampanye.
Kalau mau ekstrem, parpol yang kadernya terlibat korupsi pascapemilu tidak boleh ikut serta dalam pemilu selanjutnya.
Di sisi lain, UU Pilkada perlu dibenahi. Pemerintah harus tegas melarang seorang mantan terpidana korupsi, seperti Vonnie, untuk mencalonkan diri lagi. ”Kalau mau ekstrem, parpol yang kadernya terlibat korupsi pascapemilu tidak boleh ikut serta dalam pemilu selanjutnya. Soalnya, bukan rahasia lagi, parpol justru kerap jadi alasan kadernya korupsi,” kata Ferry.
Penangkapan terhadap YNM, MMO, dan SE terjadi hampir bersamaan dengan penahanan bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengurusan dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, pada 2021.
Kasus itu juga menjerat Bupati nonaktif Kolaka Timur Andi Merya Nur yang pada September 2021 baru tiga bulan menjabat. Terkait hal itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK telah berkali-kali mengingatkan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana pinjaman PEN.
Dana pinjaman rawan menjadi bancakan karena alokasi anggaran dan informasi pinjaman tidak terbuka bagi publik. ”Kalau semua serba tidak transparan, akhirnya akan membuka ruang bagi para pihak untuk negosiasi,” ujar Alex (Kompas, 2 Februari 2022).
Sementara itu, Polda Sulut juga menetapkan dua tersangka tindak pidana korupsi Program Hibah Air Minum Kota Bitung bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah tahun anggaran 2017 dan 2018, yaitu RL dan MNL. Sesuai hasil audit oleh BPKP Sulut akhir 2021, keduanya menimbulkan kerugian keuangan negara Rp 14 miliar.