Nestapa Warga Indo, Jejak Kelam Kolonialisme di Kota Magelang
Di masa penjajahan, warga indo di Magelang kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif. Selain dari warga pribumi, perlakuan tidak enak juga diterima dari penjajah Belanda.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
Kehidupan warga indo, atau peranakan orang Belanda dengan pribumi, di Kota Magelang, Jawa Tengah, pada masa lalu tak seindah paras mereka yang berbadan tegap dengan hidung mancung. Tidak hanya dicibir oleh warga suku Jawa, mereka pun kerap mendapat perlakuan tak mengenakkan dari keturunan Belanda murni. Hal itu setidaknya menambah kelam jejak kolonialisme dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Hal itu diungkapkan Tedy Harnawan saat menyampaikan risalah buku hasil karyanya yang berjudul Dalam Bayang-bayang Modernitas,Rabu (2/2/2022), di Kota Magelang. Buku ini berisi kisah kehidupan warga indo di Kota Magelang pada akhir masa kolonial.
”Dalam lingkup pergaulan dengan sesama orang Jawa, warga indo sering dimusuhi karena dianggap sebagai bagian dari antek kolonioal Belanda. Di sisi lain, keluarga Belanda juga menganggap warga indo ini berderajat rendah karena menjadi keturunan yang merusak kultur orang Belanda asli,” ujar Tedy.
Pada 2012, Tedy pernah meneliti secara khusus kehidupan warga indo di masa penjajahan Belanda sebagai bagian penulisan skripsi saat menempuh pendidikan S-1 jurusan ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada 2021, setelah melalui pendalaman, penambahan materi, serta sejumlah revisi, tulisan dalam skripsinya ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku.
Selain mengumpulkan bahan dari arsip, sumber, serta dokumen tertulis, keterangan tentang perlakuan diskriminatif terhadap warga indo di Magelang didapatkan Tedy dari dua warga indo yang pernah dan masih menjalani kehidupan di Kota Magelang. Salah satu bentuk perlakuan diskriminatif tersebut adalah adanya larangan bagi warga indo untuk ikut memanfaatkan fasilitas-fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan bagi orang Belanda.
”Narasumber saya menyebutkan bahwa dirinya dilarang untuk masuk ke kolam renang dan ke societeit,” ujarnya. Societeit adalah semacam diskotek, tempat dansa, dan tempat pesta bagi warga kolonial Belanda.
Ragam perlakuan diskriminatif lain diterima warga indo, termasuk kehilangan hak untuk mendapatkan sertifikat tanah. ”Dari sumber tertulis sejumlah buku dan majalah Belanda yang saya dapatkan, terdapat pula narasi yang menyebutkan bahwa demikian banyaknya perlakuan tidak adil tersebut, akhirnya memicu reaksi dari sejumlah warga indo untuk menulis surat kepada Gubernur Jenderal Belanda. Dalam surat tersebut, mereka meminta hak-hak yang setara, sama seperti orang Belanda lainnya,” ujarnya.
Salah satu bentuk perlakuan diskriminatif tersebut adalah adanya larangan bagi warga indo untuk ikut memanfaatkan fasilitas-fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan bagi orang Belanda.
Cap negatif
Eduard Sumardi (90), salah seorang warga indo yang hingga sekarang masih tinggal di Jalan Pahlawan, Kota Magelang, mengatakan, stigma buruk dari warga Belanda nyata dirasakannya. Tidak sekadar melekat pada ibunya, Annie van Hatteun, Eduard, dan dua saudaranya, stigma yang sama disematkan hingga ke kakek neneknya, yang merupakan keturunan Belanda murni.
”Dengan melepas salah satu anaknya menikah dengan warga pribumi, kakek nenek saya pun dianggap sebagai warga yang mengotori kultur Belanda murni. Mereka dikucilkan dan dijauhi oleh orang Belanda lainnya,” ujarnya.
Karena kondisi tersebut, Eduard dan dua saudaranya tidak bisa menjalin relasi erat dengan kakek neneknya. Sehari-hari, mereka lebih terbiasa diasuh orangtuanya serta kakek nenek dari pihak sang ayah yang merupakan warga asli Jawa.
Ayah Eduard adalah Martinus Sumardiman, sedangkan ibunya bernama Elizabeth Annie van Hatteun. Berdasarkan cerita dari orangtuanya, Martinus dan Elizabeth semula sering bertemu karena keduanya memiliki langganan dua tempat pangkas rambut yang berbeda, tetapi jaraknya berdekatan. Dari relasi yang dijalin inilah, keduanya memutuskan menikah.
Bagus Priyana dari Komunitas Kota Toea Magelang mengatakan, sejumlah warga indo yang ditemuinya dan sempat menghabiskan masa kecil di Magelang menuturkan bahwa perlakuan kurang enak juga diterima dalam pergaulannya sehari-hari dengan warga pribumi.
”Dalam pergaulan dengan anak-anak pribumi seumuran, warga indo juga mendapatkan cap negatif. Warga indo cenderung dimusuhi, diejek, karena dianggap menjadi bagian dari penjajah Belanda yang membuat hidup bangsa Indonesia sengsara,” ujarnya. Berupaya saling balas, ejekan-ejekan itu biasanya berujung pada perkelahian antara warga pribumi dan warga indo.
Kisah keturunan indo di Kota Magelang menambah rentetan dampak buruk penjajahan di Indonesia. Selain merenggut kemerdekaan warga, kolonialisme juga membuat sekat-sekat kemanusiaan.