Media Berpotensi sebagai Sumber Pengetahuan Publik akan Perlindungan Hukum
Hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas menunjukkan pengetahuan publik akan kewajiban negara menyediakan bantuan hukum belum merata. Untuk memenuhi pengetahuan itu, media dinilai memiliki peran penting.
Media dinilai menjadi salah satu sarana penting agar publik bisa memperoleh pengetahuan bahwa negara memiliki kewajiban menyediakan bantuan hukum bagi setiap negara yang membutuhkan. Meskipun publik telah mengerti bahwa hak memperoleh keadilan dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang.
Demikian antara lain hasil Survei Pandangan Masyarakat terhadap Hak Memperoleh Keadilan di Indonesia yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bekerja sama dengan Litbang Kompas. Hasil survei yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia dengan waktu pelaksanaan lapangan dari pekan keempat September hingga pekan kedua Oktober 2021 tersebut diluncurkan pada webinar dan diskusi publik, Rabu (8/12/2021).
Hasil survei dipaparkan oleh Pelaksana Tugas Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono. Adapun bertindak sebagai penanggap adalah anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti; Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Dwiarso Budi Santiarto; dan Asisten Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan dan Pemajuan HAM Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Rudy Syamsir.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar atau 64,2 persen responden mengetahui bahwa hak memperoleh keadilan dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. ”Namun, yang belum tahu juga cukup banyak, ada 35,8 persen. Jadi ini adalah pekerjaan kita (agar) bagaimana masyarakat tahu pada hak-haknya, terutama hak memperoleh keadilan,” kata Mimin Dwi Hartono.
Baca juga : Sumarsih, 23 Tahun Memperjuangkan Keadilan
Survei juga menyimpulkan bahwa semakin muda, semakin tinggi pendidikan, dan semakin tinggi kelas sosial ekonomi, mereka semakin sadar dan tahu bahwa hak memperoleh keadilan tersebut dijamin UU. Ada berbagai sumber informasi hak memperoleh keadilan; yakni lembaga pendidikan (36,3 persen), media cetak dan media online atau media sosial (32,4 persen), dan media elektronika (29,2 persen).
Sumber informasi berikutnya adalah keluarga (24,3 persen), pemerintah (15,8 persen), dan Komnas HAM (7,7 persen). ”Jadi di sini bisa disimpulkan bahwa media memainkan peran yang sangat besar dan menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat. Tentu itu menjadi hal yang menarik,” kata Mimin.
Jadi di sini bisa disimpulkan bahwa media memainkan peran yang sangat besar dan menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat.
Sebanyak 62,8 persen responden pun mengetahui wewenang Komnas HAM untuk menerima pengaduan pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan. Dan, ada 37,3 persen responden yang tidak mengetahui hal tersebut. Pemahaman terhadap kewenangan Komnas HAM tersebut dipengaruhi latar demografi, terutama tingkat pendidikan.
”Di mana semakin tinggi tingkat pendidikan, ternyata mereka tahu bahwa Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk menerima aduan terkait hak memperoleh keadilan. Demikian pula mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi semakin tahu bahwa Komnas HAM mempunyai kewenangan tersebut,” ujarnya.
Baca juga : 21 Tahun, Realisasi UU Pengadilan HAM Masih Jauh Panggang dari Api
Hal ini berkebalikan dengan mereka yang berpendidikan dasar dan menengah serta masuk kategori masyarakat menengah bawah atau bawah. Gambaran seperti ini dinilai menjadi tugas Komnas HAM untuk terus menyosialisasikannya sehingga setiap segmen masyarakat mengetahui fungsi dan tugas Komnas HAM dalam menerima pengaduan hak memperoleh keadilan.
Selanjutnya, sebagian besar atau 63,8 persen responden mengetahui kewajiban negara dalam menyediakan bantuan hukum bagi setiap warga negara yang membutuhkan. Namun, responden yang belum mengetahui hal itu pun cukup banyak, yakni 36,2 persen. ”Jadi, ini pekerjaan kita semua untuk menginformasikan bahwa setiap warga negara punya hak untuk diberikan bantuan hukum, terutama mereka yang masuk dalam kategori rentan dan minoritas,” kata Mimin.
Baca juga : Penting, Peran Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bagi Korban
Sementara itu, tingkat pendidikan dan kelas sosial ekonomi warga sangat memengaruhi pengetahuan publik bahwa negara wajib menyediakan bantuan hukum. Sebaliknya, berdasarkan survei, mereka yang berpendidikan rendah dan tingkat sosial ekonomi rendah semakin tidak mengetahuinya. Alhasil, sosialisasi dan pemahaman masyarakat di level tersebut mesti ditingkatkan agar mereka tahu negara mempunyai kewajiban menyediakan bantuan hukum.
Publik pun berharap penanganan tindak pidana ringan diselesaikan secara pendekatan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif
Publik pun berharap penanganan tindak pidana ringan diselesaikan secara pendekatan keadilan restoratif. Tak kurang dari 85,2 persen responden menyatakan hal tersebut. Dan hanya 9,7 persen menyatakan tidak setuju serta 5,1 persen tidak tahu.
”Saya kira ini menjadi catatan penting untuk kita tindak lanjuti bahwa 85 persen setuju dengan pendekatan keadilan restoratif untuk tindak pidana ringan, di mana kita tahu di kepolisian, kejaksaan, dan juga MA sudah mempunyai peraturan,” kata Mimin.
Mayoritas responden (di atas 80 persen) yang memilih pendekatan keadilan restoratif dalam menangani kasus tindak pidana ringan ini terjadi di semua kategori, baik generasi (Z, Y, Z, dan baby boomers); tingkat pendidikan (dasar, menengah, tinggi); maupun sosial ekonomi (bawah, menengah bawah, menengah atas, dan atas). Hal ini pun terjadi pada kategori wilayah (bagian barat Indonesia, bagian tengah Indonesia, bagian timur Indonesia) dan rural/urban (perdesaan dan perkotaan).
Baca juga : DPR Dorong Penyelesaian Non-Yudisial
Selanjutnya, 73,1 persen responden menyatakan akan menempuh jalur penyelesaian non-yudisial (damai, adat, dan mediasi) jika berhadapan dengan proses hukum. Adapun 26,9 persen menyatakan akan menempuh jalur penyelesaian yudisial (polisi, jaksa, pengadilan). Survei menunjukkan bahwa pilihan menempuh jalur non-yudisial apabila berhadapan dengan proses hukum ini terutama terlihat pada tingkat pendidikan rendah dan kelas sosial bawah.
Dilihat berdasarkan kategori wilayah, semua daerah mayoritas memilih jalur non-yudisial, terutama di bagian barat Indonesia dan bagian tengah Indonesia serta wilayah perdesaan. Fakta menarik yang juga ditemukan dalam survei adalah mayoritas responden (57,8 persen) yang pernah mengadukan pelanggaran tetap memilih jalur non-yudisial. Demikian pula 73,9 persen dari responden yang tidak pernah mengadukan pelanggaran juga memilih jalur non-yudisial.
Biaya tidak resmi dan diskriminasi
Survei pun menemukan 64,1 persen responden tidak pernah mengalami atau mendengar dari anggota keluarga, kerabat, tetangga dekat terkait adanya biaya tidak resmi untuk mempercepat atau mempermudah proses hukum. Namun, jumlah yang pernah mengalami atau mendengar adanya biaya tidak resmi juga cukup besar, yakni 35,9 persen.
Fakta menarik lain adalah mereka yang pernah mengalami atau mendengar adanya biaya tidak resmi dalam proses hukum itu terbanyak dari tingkat pendidikan tinggi dan kelas atas. ”Dari sisi wilayah, maka yang paling banyak mengalami atau mendengar biaya tidak resmi adalah di wilayah Indonesia barat, yakni 37,4 persen. Di wilayah perkotaan juga paling banyak (masyarakat) yang pernah mengalami atau mendengar biaya tidak resmi dalam proses hukum, yakni 41,1 persen,” kata Mimin.
Mayoritas, yakni 72,2 persen, responden survei tidak pernah mengalami, mendengar, menyaksikan perbedaan perlakuan atau diskriminasi saat berhadapan dengan aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Namun, responden yang mengatakan pernah juga cukup besar, yakni 27,8 persen. Mereka yang pernah mengalami atau mendengar adanya perlakuan diskriminatif itu terbanyak dari tingkat pendidikan tinggi, kelas atas, dan dari wilayah perkotaan.
Perbedaan perlakuan saat berhadapan dengan aparat tersebut lebih banyak dialami oleh mereka yang pernah mengadu atau mendampingi anggota keluarga/kerabat/tetangga yang mengadukan pelanggaran hak memperoleh keadilan. Bentuk diskriminasi yang dialami responden adalah proses dipersulit (63,8 persen), proses penanganan kasus yang lambat (52,4 persen), proses terkatung-katung atau pingpong (32,9 persen), dan biaya penanganan kasus yang mahal (31,7 persen).
Baca juga : RKUHP yang Rawan Langgengkan Diskriminasi Kalangan Disabilitas
Alasan terbanyak diperlakukan berbeda atau didiskriminasi adalah karena status sosial ekonomi, yakni 76,5 persen. Alasan lain adalah karena tingkat pendidikan atau pengetahuan (30,5 persen), suku atau etnis tertentu (18,5 persen), difabel (12 persen), umur (11,7 persen), pemeluk agama tertentu (11,2 persen), jender (9,5 persen), transgender atau orientasi seksual (3,6 persen), ada backing (0,4 persen), dan lainnya (0,4 persen).
Perbedaan perlakuan saat berhadapan dengan aparat tersebut lebih banyak dialami oleh mereka yang pernah mengadu atau mendampingi anggota keluarga/kerabat/tetangga yang mengadukan pelanggaran hak memperoleh keadilan.
Sebagian besar atau 58,3 persen responden belum pernah berurusan dengan pengadilan. Ada 6,3 persen responden yang pernah mendapatkan putusan hukum yang tidak adil. Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar responden yang berpendidikan tinggi dan kelas menengah atas dan atas mengaku pernah mendapat putusan hukum yang tidak adil.
Mimin menuturkan, 60,1 persen responden tahu bahwa mereka berhak menyampaikan laporan atau pengaduan jika mendapatkan perlakuan tidak adil dalam proses hukum. Dan, 39,9 persen responden tidak mengetahui hal tersebut. Generasi baby boomers, mereka yang berpendidikan rendah, dan kelas bawah cenderung kurang mendapatkan sosialisasi hak untuk menyampaikan pengaduan. Mayoritas yang tidak mendapatkan sosialisasi hak untuk menyampaikan pengaduan itu adalah mereka yang berada di perdesaan.
Preferensi lembaga
Survei pun mendapatkan hasil bahwa lembaga bantuan hukum dan pemuka agama serta tokoh adat menjadi tempat pengaduan utama responden saat mendapat perlakuan tidak adil dalam proses hukum. Perinciannya, preferensi lembaga bantuan hukum (31,8 persen), pemuka agama atau tokoh adat (20,5 persen), Komnas HAM (15,7 persen), Komisi Yudisial (5,3 persen), dan media (4,9 persen).
Selanjutnya adalah Kementerian Hukum dan HAM (4,7 persen), kepolisian (2,3 persen), ketua RT (1,5 persen), keluarga (1,1 persen), lainnya (2,8 persen), tidak melapor, diam saja, atau pasrah (8,9 persen), dan tidak tahu (0,7 persen). ”Mengapa masyarakat kita seperti ini? Walaupun mengalami perlakuan tidak adil ternyata mereka (yang) tidak melapor tidak melakukan apa pun, pasrah (itu sebanyak) 8,9 persen. Apakah ini berarti mereka apatis atau apa, ini perlu kita ketahui lebih lanjut,” kata Mimin.
Preferensi lembaga untuk pengaduan pertama kali ini juga bervariasi. Responden di bagian barat Indonesia merujuk ke lembaga bantuan hukum dan baru ke pemuka agama/tokoh adat, dan Komnas HAM. Pemuka agama/tokoh adat dan Komnas HAM menjadi rujukan responden di bagian tengah Indonesia saat mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Sementara itu di bagian timur Indonesia, lembaga bantuan hukum dan Komnas HAM menjadi rujukan responden untuk pengaduan pertama kali.
Baca juga : Tegakkan Hukum dalam Penanganan Kasus HAM Berat Masa Lalu
Bagi responden di wilayah perdesaan, pemuka agama/tokoh adat berperan signifikan saat mendapatkan perlakuan tidak adil. Responden dengan tingkat pendidikan dasar lebih memilih pemuka adat/tokoh adat untuk menyampaikan pengaduan dan masih banyak yang tidak melapor atau diam. Adapun responden kelas menengah atas dan atas cenderung lebih mengandalkan LBH dan Komnas HAM saat mendapat perlakuan tidak adil.
Berkaitan dengan putusan hakim, survei mendapatkan hasil bahwa sebagian besar responden menilai putusan hukum oleh hakim tidak adil, secara khusus pada kasus-kasus korupsi dan ujaran kebencian. Mayoritas atau 78,5 persen responden tidak setuju dengan persidangan secara online dengan alasan utama tidak langsung melihat terdakwa, tidak efektif, dan kurang memuaskan.
Sebagian besar atau 57,7 persen responden merasakan kemudahan dalam mendapatkan layanan hukum, namun sepertiganya merasakan tidak mudah secara khusus di wilayah barat Indonesia. Responden dari kelas bawah, menengah bawah, perdesaan lebih merasakan adanya kesulitan dalam mendapatkan layanan hukum.
Selanjutnya, mayoritas atau 88,6 persen responden mengapresiasi kinerja Komnas HAM dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak memperoleh keadilan. Sebanyak 81,6 persen responden pernah mendengar tentang Komnas HAM.
Secara umum, 73,5 persen responden pun menyatakan puas dengan kinerja Komnas HAM. Kepuasan terhadap kinerja Komnas HAM pun meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni dari 60 persen di tahun 2020 menjadi 73 persen di tahun 2021.
Rekomendasi
Lembaga penegak hukum pun direkomendasikan agar terus memperbaiki kinerjanya supaya mampu memenuhi dan melindungi hak memperoleh keadilan. ”Hal ini terutama karena mayoritas responden memilih jalur non-yudisial ketika berhadapan dengan proses hukum,” kata Mimin.
Rekomendasi berikutnya adalah lembaga penegak hukum agar membuat regulasi, standardisasi, dan pemahaman yang sama atas pendekatan keadilan restoratif agar memenuhi dan melindungi hak memperoleh keadilan secara benar dan hakiki. Hal ini untuk memenuhi ekspektasi masyarakat yang memilih pendekatan keadilan restoratif dalam tindak pidana ringan.
Baca juga : Masyarakat Pilih Pendekatan Keadilan Restoratif untuk Tangani Kasus Tindak Pidana Ringan
Selanjutnya, lembaga penegak hukum dan negara agar bekerja sama dengan lembaga bantuan hukum, tokoh masyarakat/pemuka adat, dan Komnas HAM dalam melakukan perbaikan menyeluruh atas regulasi, kebijakan, dan program terkait dengan hak memperoleh keadilan. ”Hal ini terutama untuk memperbaiki akses atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di wilayah perdesaan,” ujar Mimin.
Mimin menuturkan, lembaga penegak hukum pun agar mengacu pada standar norma dan pengaturan tentang hak memperoleh keadilan—yang saat ini sedang disusun oleh Komnas HAM—sebagai panduan dan penafsiran atas hak memperoleh keadilan. Hal ini agar sesuai dengan prinsip HAM dan standardisasi pemenuhan serta perlindungan hak memperoleh keadilan.
Penanganan masih buruk
Menanggapi hasil survei itu, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menuturkan Kompolnas setiap tahun rata-rata menerima pengaduan masyarakat sebanyak 3.000-4.000 kasus. Sebanyak 90 persen di antaranya mengadukan kinerja reserse. Sebanyak 80 persen di antaranya mengeluhkan pelayanan buruk, misalnya proses penyelidikan dan penyidikan lama.
Baca juga: Polda Metro Jaya Evaluasi dan Lebur Tim Patroli Malam
“Misalnya, enggak segera ditetapkan tersangka atau ditetapkan tersangka tapi karena tersangka (masuk) DPO (daftar pencarian orang) sehingga kasus terkatung-katung. Ada juga terkait administrasi, misalnya belum dikirim SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan) dan sebagainya. Itu kalau di Kompolnas masuk sebagai pelayanan buruk, kalau dalam penelitian (survei) ini masuk dalam diskriminasi,” kata Poengky.
Menanggapi hasil survei itu, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menuturkan Kompolnas setiap tahun rata-rata menerima pengaduan masyarakat sebanyak 3.000-4.000 kasus.
Di Kompolnas pun ada aduan terkait diskriminasi. Tahun 2021 ini Kompolnas menerima 43 aduan terkait diskriminasi. “Misalnya, si A mengadu pada polisi. A dan B bermusuhan. Si B juga mengadu. Jadi, A dan B sama-sama mengadu ke polisi. Tetapi, meski si A mengadu terlebih dahulu, proses si B yang dijalankan lebih cepat sehingga di situ ada diskriminasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian,” kata Poengky.
Secara total, sepanjang Januari hingga November 2021 Kompolnas menerima 3.701 aduan. Perinciannya, antara lain terkait reserse 1.511 aduan, samapta 210 aduan, propam 68 aduan, dan lalu lintas 16 aduan. Pelayanan buruk sebanyak 1.055 aduan, penyalahgunaan wewenang 128 aduan, diskriminasi 43 aduan, diskresi keliru 20 aduan, dan korupsi 6 aduan.
“Sampai saat ini masih ada pengaduan ke Kompolnas sehingga jumlah tersebut di atas dapat bertambah. Kemudian, tidak semua yang diadukan benar, sehingga kami harus melakukan klarifikasi atau gelar perkara dengan kasatwil dan kasatker,” kata Poengky.