Menyemai Benih Toleransi dan Kepemimpinan dari Pesantren di Bandung
Pesantren lebih dari sekadar tempat belajar formal. Di Bandung, Jawa Barat, keberadaannya menjadi tempat menebar benih kesetaraan tanpa sekat.
Semangat pesantren yang menjadi wadah belajar tanpa sekat bahasa, bangsa, bahkan agama, menyala di Kota Bandung. Kehangatannya dirasakan Dina, remaja perempuan Jerman yang tengah belajar di Madrasah Aliyah Swasta atau MAS Mu’allimin Manba’ul Huda, Selasa (26/1/2022).
Sekolah setara SMA ini masuk dalam naungan Pesantren Persatuan Islam (PPI) 110 yang berlokasi di Kecamatan Buahbatu, Kota Bandung, Jawa Barat. Meskipun bukan seorang Muslim, Dina tidak merasa kikuk menggunakan jilbab yang menutupi sebagian kepala dan tubuhnya.
Bahasa Sunda yang disampaikan oleh guru di depan kelas begitu asing di telinganya. Namun, dia tetap mengamati gerak mulut guru di depan kelas. ”Saya sama sekali tidak mengerti dia (guru) membicarakan apa,” ujarnya sambil tertawa saat ditemui di tengah pembelajaran.
Sesekali Dina mengerutkan kening, mendengarkan untaian kata gurunya. Beberapa saat kemudian dia bertanya kepada gadis berkacamata di sebelahnya. Mereka lalu berdiskusi dan diiringi anggukan dari Dina. ”Teman-teman di sini sangat baik. Mereka mau mendengarkan, meski saya tahu mereka tidak begitu mengerti. Berbeda dengan anak-anak di Jerman, semuanya berdebat, berargumen,” ujarnya.
Kondisi ini dirasa cocok dengan tujuan Dina bersekolah di Manba’ul Huda. Layaknya remaja, dia ingin mencari teman sebaya setelah enam bulan tinggal di Indonesia bersama ibunya, Julia, dan juga adiknya, Daria.
Daria juga belajar hal serupa. Meskipun berbeda ruang kelas, Daria tampak santai bercengkerama dan tertawa bersama teman-temannya. Dia juga mau mendengarkan dengan baik saat beberapa siswa mencoba berbincang dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.
Meskipun tidak menjadi siswa formal dan hanya belajar tiga hari dalam seminggu, Dina dan Daria tetap berpenampilan selayaknya santri. Mereka belajar dengan jilbab yang melekat di kepala dan menutupi sebagian tubuhnya.
Baca juga : Semangat Toleransi yang Terawat di Kampung Dian Permai
Tanpa paksaan
Dina mengaku menggunakan pakaian muslim itu tanpa paksaan meskipun dia tidak beragama Islam. ”Tidak ada masalah. Saya sudah terbiasa menggunakannya. Awal menggunakannya (jilbab) hampir satu jam, tetapi sekarang beberapa menit sudah bisa,” ujarnya tersenyum.
Julia takjub dengan perubahan kedua anaknya. Dina dan Daria ingin menggunakan jilbab tanpa paksaan. Mereka memahami, itu adalah bagian dari seragam dan menjadi aturan di sana.
”Di Jerman, mereka memang tidak menggunakan seragam. Tapi, itu malah membuat anak-anak saling menilai dari penampilan. Itu tidak baik. Beda dengan di sini. Anak-anak terlihat sama, dan tidak terlihat perbedaan materi di saat sekolah. Itu menyenangkan,” ujarnya.
Bahkan, Julia senang melihat kedua anaknya ingin berbaur dan belajar bersama santri lain. Berbeda dengan di Jerman, kedua anaknya cukup sulit untuk diajak bersekolah, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Sebagai orangtua tunggal dengan dua anak, cukup sulit baginya untuk hidup di Jerman di saat seperti ini.
Julia bersyukur telah bertemu dengan Rosihan Fahmi (45), Kepala Sekolah MAS Mu'allimin Manba’ul Huda. Salah satu rekannya menyatakan, dua anaknya bisa belajar bersama Fahmi untuk mengisi waktu di Indonesia. ”Kedua anak saya masih mengikuti sekolah daring di Jerman. Tetapi, saya juga ingin anak-anak bersekolah di Indonesia. Saya sangat senang anak-anak mau belajar di sini,” ujarnya diiringi anggukan Fahmi.
Sebagai Kepala Sekolah MAS Manba’ul Huda, Fahmi ingin mendobrak pemahaman bahwa pesantren hanya memberi ilmu formal. Madrasah ini menjadi wadah untuk belajar apa saja, mulai dari kepemimpinan hingga bergaul tanpa ada sekat bahasa, bangsa, bahkan agama.
Karena itu, saat mendapatkan kabar Julia ingin anak-anaknya belajar dan bergaul di sekolah lokal, Fahmi pun menyambut dengan tangan terbuka. Meski tidak untuk kebutuhan pendidikan formal, Dina dan Daria bisa belajar bagaimana anak-anak di sini bergaul dan berbagi tanpa harus memandang suku bangsa, bahkan agama.
”Salah satu teman saya adalah rekan kerja Julia di Bandung. Saat mendengar anak-anak Julia butuh tempat belajar, saya lalu dihubungi. Sekolah ini terbuka untuk siapa saja, makanya saya langsung ajak mereka,” paparnya.
Di sela-sela waktu, Fahmi juga mengajari Dina dan Daria bahasa Indonesia dan Arab. Hal ini dilakukan agar mereka lebih cepat menyesuaikan diri. ”Jadi, di sela belajar, saya suka memanggil mereka dan belajar bersama untuk pendalaman sekaligus akselerasi adaptasi,” ujarnya.
Setelah melihat anak-anaknya bersekolah di pesantren ini, Julia pun tertarik mengenal Islam lebih dekat. Dia lalu kerap berdiskusi dengan Fahmi. Fahmi pun memberikan sejumlah referensi bacaan tentang Islam kepada Julia.
Padahal, Fahmi tidak sekalipun mengajak Julia untuk mempelajari Islam. Julia mengaku tertarik setelah merasakan bagaimana Fahmi menerima mereka dengan tangan terbuka dan anak-anaknya diperlakukan dengan baik oleh teman-temannya yang Muslim.
”Bagi saya, Islam itu menarik. Dengan Fahmi, saya jadi ingin lebih memahami Islam, dan semua ini tidak saya dapatkan selama berada di Jerman,” ujar Julia.
Menurut Fahmi, menerima tanpa memandang sekat perbedaan membuat orang-orang tertarik dengan Islam dan Indonesia. Dia selalu berharap pesantren bisa menjadi wadah yang melambangkan Islam yang cinta damai kepada semua manusia.
Rosihan Fahmi (kiri), Kepala Madrasah Aliyah Swasta Mu’allimin Manba’ul Huda, Kota Bandung, merangkul Haikal (17), salah satu siswanya, saat apel bersama ratusan siswa di dekat gedung sekolahnya, di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022).
Belajar memimpin
Tidak hanya memupuk nilai-nilai kesetaraan, Fahmi juga mendidik siswanya menjadi pemimpin teladan dengan cara yang unik. Setiap tahun, satu anak akan dipilih menjadi kepala sekolah bersama beberapa siswa yang bakal menjadi wakil kepala sekolah dalam sehari.
”Ini akan menjadi pengalaman bagi mereka. Jika anak-anak paham bagaimana sulitnya memimpin, dia akan menjadi orang yang bijak dalam bermasyarakat,” katanya.
Pelajaran berharga ini dirasakan Haikal Septy Fadillah (17), siswa kelas XI Manba’ul Huda. Pada Selasa (26/1/2022) itu, dia dipilih menjadi kepala sekolah dalam sehari. Di hadapan ratusan siswa, Fahmi mengumumkan hal itu sambil merangkul Haikal.
”Sekarang kamu rasakan jadi pemimpin sekolah dalam sehari itu seperti apa. Kamu bisa mengatur guru dan teman-temanmu yang lain. Lihat gimana susahnya jadi kepala sekolah,” ucap Fahmi disambut tawa dan tepuk tangan meriah dari ratusan siswa lain yang ikut dalam apel pagi itu.
Tidak hanya Haikal yang terpilih menjadi pemimpin sekolah. Empat siswa lain, Zidan Mujahid Rohendi (17), Gavin Nurrafiq (17), Sifa Mardiah (17), dan Thufail Arib Faza Rizal (17), menjadi wakil kepala sekolahnya.
”Saya tidak menyangka jadi kepala sekolah dalam sehari. Ternyata sulit juga mengatur sekolah,” ujarnya. Kesulitan ini dirasakan Haikal karena dirinya harus memantau kegiatan di kelas sampai ikut sosialisasi penggunaan masker kepada para siswa.
Selain mengatur urusan manajerial sekolah, salah satu kebiasaan Fahmi yang harus Haikal rasakan adalah mengumpulkan sejumlah siswa untuk diajak berdiskusi bersama. Biasanya Fahmi melakukan itu untuk mendengar langsung aspirasi dari para siswa.
Setelah semua tugas pengawasan selesai, Fahmi pun meminta Haikal untuk memanggil siswa lain dan mendengarkan aspirasi mereka. Selama lebih kurang setengah jam, mereka berdiskusi tentang bagaimana kondisi sekolah yang mereka rasakan.
”Sebagai pemimpin harus mau mendengarkan, dan cara ini rutin saya lakukan. Jadi, saat menjadi kepala sekolah dalam sehari, saya juga ingin Haikal menjadi orang yang bisa jadi pemimpin yang mau mendengar aspirasi rekan-rekannya,” kata Fahmi.
Suasana di RW 004 Kelurahan Jamika, Kota Bandung, Jawa Barat, yang diresmikan sebagai kampung toleransi, Minggu (20/8/2017). Wlayah itu ditetapkan sebagai kampung toleransi karena di sana terdapat 12 rumah ibadah dari beragam keyakinan yang dapat berdiri dengan rukun dan damai.
Benih toleransi
Pendidikan hidup seperti ini jarang ditemui dalam pelajaran formal yang hanya melatih pikiran secara logis dan matematis. Fahmi menyadari, kepedulian tanpa mengenal sekat hingga kepemimpinan harus dirasakan dan diamalkan, tidak hanya teori semata.
Menurut dia, pemimpin yang bijaksana dan toleran sangat dibutuhkan Kota Bandung, bahkan Indonesia, yang beraneka ragam. Contohnya, saat ini masyarakat Tionghoa di Kota Bandung tengah mempersiapkan tahun baru Imlek pada 1 Februari 2022.
Selain itu, di Bandung kini ada lima kampung toleransi. Letaknya ada di RW 008 Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir; Jalan Ruhana, RW 008 Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong; dan Jalan Luna, Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler. Selain itu, ada juga di Jalan Sasak Gantung, Kelurahan Balon Gede, Kecamatan Regol; dan Kompleks Dian Permai, RW 011 Kelurahan Babakan, Kecamatan Babakan Ciparay.
Jika para siswa bisa mengamalkan itu dengan baik, dari Kota Bandung akan lahir para pemimpin masa depan yang bijaksana dan toleran. Semua itu dibutuhkan untuk menjaga kebinekaan dan perdamaian yang menjadi impian para pendiri bangsa.
Baca juga : Sebuah RW di Bandung dengan 12 Rumah Ibadah Ditetapkan sebagai Kampung Toleransi