Terdakwa Kasus Kematian Lima Gajah di Aceh Jaya Divonis 10 hingga 40 Bulan Penjara
Sebanyak 11 terdakwa kasus kematian lima ekor gajah di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, divonis bervariasi antara 10 bulan dan 3 tahun 4 bulan penjara.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Terdakwa kasus kematian lima ekor gajah seusai divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Kamis (27/1/2022). Sebanyak 11 terdakwa divonis bersalah dengan besaran hukuman 10 bulan hingga 3 tahun 4 bulan penjara.
CALANG, KOMPAS — Sebanyak 11 terdakwa kasus kematian lima ekor gajah di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, divonis 10 bulan hingga 3 tahun 4 bulan atau 40 bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Calang yang diketuai Antyo Harri Susetyo dalam sidang putusan yang digelar Kamis (27/1/2022) menyatakan mereka bersalah.
Satu dari sebelas terdakwa yang divonis adalah SD (49) dengan hukuman 3 tahun 4 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. SD menerima vonis paling tinggi karena dianggap sebagai pelaku utama kematian lima gajah itu. Vonis itu lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan penjara.
Terdakwa selanjutnya adalah MA (38). Ia divonis 2 tahun 4 bulan penjara karena berperan mengambil caling atau gading gajah untuk diperdagangkan. Vonis itu juga lebih rendah daripada tuntutan terhadap MA, yakni 3 tahun 4 bulan penjara.
Sementara terdakwa IF (46) dan MN (68) divonis 1 tahun 10 bulan penjara, lebih rendah dari tuntutan, yakni 2 tahun 6 bulan. Mereka dianggap bersalah karena menjadi penghubung untuk mencari penampung caling gajah.
Adapun AM (69), LH (43), MR (32), ZB (25), HD (39), HI (46), dan SP (62), yang dituntut 2 tahun 6 bulan penjara, divonis masing-masing 10 bulan penjara. Mereka berperan turut membantu memindahkan bangkai gajah.
Bangkai lima gajah itu ditemukan pada Januari 2020 di Desa Tuwi Priya, Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya. Gajah-gajah itu mati karena terkena setrum kabel listrik tegangan tinggi yang dipasang di perkebunan warga. Polisi baru dapat menangkap pelaku pada September 2021.
Jaksa penuntut umum Kejari Aceh Jaya, Bukhari, mengatakan, pihaknya belum memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak terkait putusan hakim yang semuanya lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa itu. ”Kami masih pikir-pikir, masih ada waktu tujuh hari,” kata Bukhari.
Setiap terdakwa, menurut Bukhari, memiliki peran yang berbeda-beda dalam kasus kematian lima gajah tersebut. Dalam hal itu, SD sebagai pemilik ampere listrik dan yang memasang kabel listrik dituntut paling tinggi.
Warga di sana bahkan tidak tahu bahwa gajah adalah satwa lindung. Menurut pengakuan warga, tidak pernah ada sosialisasi dari pemerintah. (Hamdani)
Kuasa hukum para terdakwa, Hamdani, menyebutkan putusan hakim tidak adil bagi terdakwa. Terdakwa tidak memiliki niat untuk membunuh gajah, tetapi SD hanya ingin melindungi kebunnya dari binatang liar. Apalagi kebun yang dipasangi kabel listrik merupakan perkebunan warga, bukan di dalam kawasan hutan.
”Seharusnya negara, dalam hal ini BKSDA Aceh, menjaga satwa lindung agar tidak memasuki perkebunan warga,” kata Hamdani.
Hamdani menambahkan, kelima gajah yang mati berjenis kelamin betina. Hal itu menunjukkan warga tidak memiliki niat untuk memperjualbelikan organ satwa. Namun, oleh MA, seorang terdakwa, caling gajah itu diambil untuk dijual.
Menurut Hamdani, vonis penjara 10 bulan terhadap para terdakwa karena ikut memindahkan bangkai gajah merupakan bentuk ketidakadilan. Mereka memindahkan bangkai gajah karena posisi bangkai berada di badan jalan menuju perkebunan.
kompas-photographer-name
Wisatawan memandikan gajah di Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Selasa (24/7/2018). Selain sebagai pusat mitigasi konflik gajah, fasilitas ini menjadi obyek wisata satwa lindung gajah.
”Warga di sana bahkan tidak tahu bahwa gajah adalah satwa lindung. Menurut pengakuan warga, tidak pernah ada sosialisasi dari pemerintah,” kata Hamdani.
Hamdani menyebutkan, warga telah mengalami banyak kerugian karena kebun dirusak gajah, tetapi tidak ada ganti rugi dari pemerintah.
Sementara itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto mengatakan, vonis penjara bagi terdakwa jangan dinilai dari berapa besarannya, tetapi ini adalah komitmen negara dalam melindungi satwa yang terancam punah. Ia berharap putusan itu memberikan efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi warga lain.