Menkes: Puncak Kasus Omicron Diperkirakan Akhir Februari-Awal Maret
Puncak kasus Covid-19 akibat varian Omicron di Indonesia diperkirakan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2022. Untuk mengantisipasi kenaikan kasus Omicron, upaya surveilans harus digencarkan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, puncak kasus Covid-19 akibat varian Omicron di Indonesia diperkirakan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2022. Upaya surveilans harus digencarkan agar warga yang terinfeksi Covid-19 bisa ditangani sejak dini sehingga tak menularkan pada orang lain.
”Kalau saya lihat di negara-negara lain, (kasus Omicron) dari mulai sampai ke puncak sekitar 40 hari. Jadi, mungkin akhir Februari atau awal Maret sudah sampai ke puncak,” kata Budi saat meninjau vaksinasi di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (21/1/2022).
Budi memaparkan, sejak beberapa waktu lalu, varian Omicron telah masuk ke Indonesia. Transmisi atau penularan lokal Omicron pun sudah terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, semua pihak di Tanah Air harus bersiap menghadapi lonjakan kasus Covid-19.
Apalagi, berdasarkan pengalaman di negara-negara lain, lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Omicron terjadi dalam waktu cepat. ”Di seluruh dunia, Omicron itu ciri-cirinya naiknya cepat dan tinggi. Selain naiknya cepat dan tinggi, turunnya juga cepat. Dan, yang dirawat di rumah sakit jauh lebih rendah,” ujar Budi.
Untuk mengantisipasi kenaikan kasus Omicron, Budi memaparkan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Langkah pertama adalah penerapan protokol kesehatan secara ketat di masyarakat. Langkah kedua adalah menggencarkan upaya surveilans untuk mendeteksi secara dini warga yang positif Covid-19.
Upaya surveilans itu dilakukan dengan tes terhadap orang-orang yang diduga terinfeksi Covid-19. Apabila dari hasil tes itu ditemukan adanya kasus positif Covid-19, petugas harus melakukan tindak lanjut dengan tracing (pelacakan) untuk menemukan orang-orang yang melakukan kontak erat.
Selain itu, warga yang positif Covid-19 juga harus dipastikan melakukan isolasi dengan baik agar tidak menulari orang lain. Proses isolasi bisa dilakukan di rumah jika kondisi memungkinkan. Namun, apabila kondisi rumah tak memungkinkan untuk isolasi mandiri, warga yang positif Covid-19 harus melakukan isolasi di shelter atau tempat isolasi terpusat.
Budi menyatakan, saat lonjakan kasus akibat Omicron terjadi, rumah sakit akan difokuskan merawat pasien dengan gejala berat, pasien dengan komorbid atau penyakit bawaan, serta pasien lanjut usia yang belum menjalani vaksinasi. Hal ini karena sebagian besar orang yang terinfeksi Omicron tidak mengalami gejala sehingga tak perlu dirawat di rumah sakit. ”Kalau waga lansia dan belum pernah divaksin lalu kena, masuk rumah sakit saja supaya bisa cepat dirawat,” tuturnya.
Menurut Budi, dari sekitar 1.000 orang yang positif terinfeksi Omicron di Indonesia, sekitar 65 persen di antaranya tidak mengalami gejala dan sekitar 30 persen mengalami gejala ringan. Dia juga menyebut, ada sekitar 5 persen pasien terinfeksi Omicron yang membutuhkan bantuan oksigen dengan nasal cannula atau alat bantu pernapasan melalui lubang hidung.
Pemakaian nasal cannula biasanya dilakukan untuk pasien dengan kondisi yang tak terlalu berat. Sementara pasien dengan kondisi berat biasanya membutuhkan bantuan oksigen dengan alat high flow nasal cannula (HFNC) dan ventilator.
”Sampai sekarang, (pasien positif Omicron) belum ada yang pakai ventilator, belum ada yang pakai HFNC, dan belum ada yang wafat,” ungkap Budi.
Dia menambahkan, langkah lain untuk mengantisipasi lonjakan kasus Omicron adalah mempercepat vaksinasi. Percepatan vaksinasi dibutuhkan agar makin banyak orang yang memiliki antibodi sehingga mereka tidak mengalami gejala yang berat ketika terinfeksi Covid-19.
Jangan menutupi
Secara khusus, Budi juga meminta pemerintah daerah untuk tidak menutup-nutupi informasi mengenai penularan Omicron. Hal ini penting agar masyarakat juga mewaspadai penularan varian baru tersebut. ”Jaga komunikasi dengan masyarakat. Saya rasa kalau kita jujur, itu lebih baik daripada menutup-nutupi,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Bantul Agus Budi Raharja mengatakan, hingga saat ini belum ada kasus Omicron yang ditemukan di Kabupaten Bantul. Meski begitu, Dinkes Bantul terus menggencarkan upaya 3T atau testing (tes), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan atau isolasi). ”Begitu ada kasus, surveilans dengan 3T harus berjalan,” katanya.
Agus memaparkan, Dinkes Bantul juga mewaspadai kedatangan pekerja migran dan pelaku perjalanan dari luar negeri. Sebab, meski saat ini sudah terjadi transmisi lokal Omicron, sebagian besar kasus Omicron masih berasal dari pelaku perjalanan luar negeri.
Agus menyebut, fasilitas kesehatan di Bantul juga disiapkan untuk mengantisipasi lonjakan kasus Omicron. Selain itu, shelter-shelter di tingkat desa juga disiagakan sehingga bisa dipakai jika sewaktu-waktu terjadi lonjakan kasus. ”Shelter kita siap. Begitu nanti ada tren lonjakan kasus, kita siap menerima,” ujarnya.