Dampak keparahan Omicron lebih ringan bagi kesehatan individu dibandingkan varian Delta. Namun kemampuannya yang amat menular bisa berdampak serius di populasi. Pencegahan masih menjadi strategi terbaik menghadapinya.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kader Posyandu mengukur tekanan darah warga lanjut usia di tempat tinggalnya di kampung Gandaria di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Kamis (13/1/2022). Pelayanan jemput bola dari rumah ke rumah ini telah dilakukan kader posyandu selama pandemi.
Penambahan kasus Covid-19 harian secara global terus memecahkan rekor. Laporan epidemiologi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, penambahan kasus Covid-19 dalam seminggu terakhir di seluruh dunia mencapai 15 juta orang, tertinggi selama pandemi.
Di antara lebih dari 357.000 kasus yang diurutkan genomnya dalam 30 hari terakhir, hampir 59 persennya adalah varian Omicron, sebut laporan WHO ini. Karena Omicron memiliki waktu penggandaan lebih pendek daripada varian lain, jumlah hari yang diperlukan untuk erlipat ganda jauh lebih cepat.
Tanda-tanda peningkatan kasus Covid-19 juga telah terlihat di Indonesia. Rabu (13/1/2022), penambahan kasus baru mencapai 793 orang, jauh lebih tinggi dibandingkan sehari sebelumnya 646 orang.
Peningkatan kasus harian ini bisa menjadi alarm awal penularan Omicron yang semakin meluas. Namun, belum ada tanda-tanda pengetatan pembatasan dan mobilitas penduduk terus meninggi. Sekolah tatap muka juga tetap dijalankan secara penuh.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Seorang lansia mengikuti vaksinasi dosis ketiga atau penguat di Maha Vihara Duta Maitreya, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (13/1/2022). Tercatat, lebih kurang ada 5.000 orang yang mengikuti vaksinasi penguat di lokasi itu.
Pemahaman bahwa varian Omicron menimbulkan gejala lebih ringan dibandingkan varian Delta turut memengaruhi respons pemerintah dan masyarakat saat ini. Selain sejumlah alasan lain, seperti tingginya tingkat antibodi masyarakat, karena infeksi sebelumnya ataupun karena vaksinasi.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Iwan Ariawan optimis gelombang peningkatan kasus Covid-19 kali ini tidak setinggi saat Indonesia dilanda gelombang Delta pertengahan tahun lalu. Tingginya tingkat penularan di populasi, ditambah vaksinasi, menyebabkan sebagian besar orang Indonesia memiliki antibodi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Sebelumnya, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan bahwa 86,6 persen populasi telah memiliki antibodi SARS-CoV-2. Data ini didapatkan dari hasil sero survei yang dilakukan pada sebagian wilayah, yaitu 100 kabupaten/kota sepanjang November-Desember 2021.
Bahaya Omicron
Berbagai bukti dari berbagai belahan dunia memang menunjukkan varian Omicron menyebabkan Covid-19 yang tidak terlalu parah. Data di Afrika Selatan, di mana Omicron pertama kali terdeteksi pada November 2021, menunjukkan, orang dewasa yang terinfeksi varian Omicron sekitar 29 persen lebih kecil kemungkinannya dirawat di rumah sakit dibandingkan orang dewasa yang terinfeksi beberapa bulan sebelumnya.
Laporan penelitian dari Badan Keamanan Kesehatan Inggris, yang dirilis pada 31 Desember 2021, menunjukkan tingkat penghunian ruang gawat darurat akibat Omicron mencapai sepertiga dari Delta. Hal ini menyebabkan, sekalipun kasus melonjak tinggi, tingkat kematian relatif rendah dibandingkan saat gelombang Delta.
Sementara laporan Case Western Reserve University School of Medicine menunjukkan, hingga awal Januari 2022, orang dewasa Amerika Serikat yang terinfeksi Omicron kurang dari setengah kemungkinan untuk mengunjungi ruang gawat darurat, dirawat di rumah sakit, ataupun memakai ventilator. Studi ini memeriksa lebih dari 14.000 pasien dan memperhitungkan status vaksinasi mereka dan faktor komorbid atau penyakit penyerta.
Peneliti biostatistik Indonesia yang mengajar di University of South Australia, Beben Benyamin, mengatakan, Omicron relatif tidak berbahaya bagi individu jika dibandingkan varian Delta. Namun, dalam skala populasi dia tetap sangat membahayakan sebagaimana yang sekarang terjadi di Australia.
”Kasus di sini (Australia) meroket. Keterisian rumah sakit meningkat dan kematian menyusul. Dari segi persentase keparahannya memang rendah, tetapi karena penularannya sangat cepat, jumlah totalnya tetap tinggi,” kata Beben.
Jika sebulan lalu total kasus dalam sebulan hanya 1.000-an orang, dalam sepekan terakhir kasus Covid-19 di Australia bertambah lebih dari 100.000 orang per hari dengan positivity rate (angka kepositifan) 30-40 persen.
”Begitu Omicron menular di populasi sulit terbendung lagi. Kesalahan mendasar di Australia adalah beranggapan dengan cakupan vaksinasi 90 persen bisa membendung Omicron sehingga melonggarkan pembatasan,” katanya.
Begitu Omicron menular di populasi sulit terbendung lagi. Kesalahan mendasar di Australia adalah beranggapan dengan cakupan vaksinasi 90 persen bisa membendung Omicron sehingga melonggarkan pembatasan.
Saat ini tingkat kematian di Australia karena Covid-19 juga meningkat. Misalnya pada 12 Januari, 49 orang meninggal, merupakan rekor tertinggi kedua sepanjang pandemi. ”Kebanyakan yang masuk ICU (unit perawatan intensif) dan kematian memang yang tidak divaksinasi,” katanya.
Selain dampak kesehatan, lanjut Beben, Omicron juga melumpuhkan ekonomi. ”Banyak pekerja esensial sakit atau terpaksa menjalani isolasi. Akibatnya pasokan barang dan jasa terganggu. Dampak ekonomi saat ini lebih parah dibandingkan saat lockdown (karantina wilayah),” katanya.
Omicron bukan flu
Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis WHO untuk Covid-19, dalam konferensi pers mengingatkan, meski tidak separah Delta, Omicron tetap berbahaya sehingga tidak boleh dibiarkan merajalela. ”Omicron masih menempatkan orang ke rumah sakit, bisa menyebabkan orang ke ICU dan membutuhkan perawatan klinis lanjutan. Virus ini masih membunuh orang,” ungkapnya.
Sekalipun kasus rawat inap tidak setinggi yang terlihat pada lonjakan sebelumnya, data menunjukkan tingkat kematian akibat Covid-19 secara global masih amat tinggi, yaitu sekitar 48.000 kematian per minggu.
”Tolong, waspadai virus ini sebagaimana seharusnya. Bukan bermaksud menakut-nakuti, tapi narasi varian ini seperti flu biasa tidaklah benar. Narasi bahwa virus ini hanya menyebabkan gejala ringan juga tidak sepenuhnya benar,” katanya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengingatkan, lonjakan kasus di berbagai negara, termasuk di Australia, saat ini harus menjadi alarm bagi Indonesia agar tidak meremehkan Omicron. ”Upaya pencegahan tetap harus dilakukan, selain protokol kesehatan dan harus mempercepat vaksinasi,” katanya.
Menurut Dicky, jika Indonesia tidak melakukan langkah pembatasan yang memadai, Indonesia akan kembali mengalami lonjakan kasus dengan puncak pada Februari atau Maret 2022. Kenaikan kasus ini diprediksi bisa lebih dari dua kali lipat dari puncak saat Delta. ”Seperti sebelumnya, Jawa dan Bali yang akan kembali alami lonjakan kasus,” ucapnya.
Sekalipun penularan Omicron sulit dicegah, menurut Dicky, kita harus tetap berupaya agar varian Omicron tak merajalela. ”Jangan abai karena merasa sudah memiliki tingkat antibodi tinggi. Kita tahu vaksinasi dan infeksi sebelumnya tidak mencegah tertular Omicron walaupun vaksin bisa mencegah keparahan dan kematian,” katanya.
Selain karena varian ini jauh lebih mampu menerobos antibodi, membiarkan Omicron merajalela bisa mengundang masalah baru. ”Kalau Omicron meluas berarti kita memperbesar peluang munculnya rekombinan varian dan mutasi-mutasi baru yang bisa lebih berbahaya,” katanya.
Dengan pemahaman ini, Indonesia disarankan agar berupaya mencegah Omicron merajalela. Apalagi, masih banyak penduduk belum divaksin. Bahkan, bagi yang sudah divaksin sekalipun, risiko mengalami keparahan masih ada. Untuk masyarakat yang paling dasar adalah protokol kesehatan, di antaranya menghindari kerumuman dan tetap memakai masker.