Sungai Benenai yang mengalir sejauh 135 kilometer dari kaki Gunung Mutis hingga Laut Timor senantiasa mendatangkan berkah. Namun, terkadang berbalik membawa petaka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Sungai Benenai tak henti mengalir dari kaki Gunung Mutis hingga ke Laut Timor. Aliran airnya yang mendatangkan sumber penghidupan terkadang berbalik membawa petaka. Sudah semestinya mereka yang bermukim di sisi aliran itu mengakrabi diri dengan sifat sungai yang labil menurut ”mood” alam.
Dari Gunung Mutis di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Sungai Benenai melewati Kabupaten Timor Tengah Utara, hingga bermuara di Kabupaten Malaka. Alurnya meliuk-liuk di kaki gunung dan bukit sejauh 135 kilometer. Tiga daerah yang dilewati sungai itu berada di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Pantauan Kompas pada awal Januari 2022 lalu, topografi Malaka menjadi daerah hilir sungai yang relatif datar sehingga menerima limpahan berkah dari sungai itu. Sebagian aliran air dibelokkan ke dalam bendungan, kemudian dialirkan ke lahan pertanian. Di sana terdapat Bendungan Benenai yang mengairi 6.750 hektar sawah di tiga kecamatan.
Lahan pertanian yang tidak dilewati saluran irigasi pun tak kalah subur. Humus tanah yang mengendap di sisi sungai menjadi tempat bercocok tanam tadah hujan.
”Ibaratnya kita hanya buang batang ubi kayu pasti tumbuh tanpa harus dirawat. Kalau tanaman dari biji tinggal kita hambur saja pasti akan tumbuh,” kata Wendi Taek (34), warga Desa Fahiluka.
Banyak orang baru yang berkunjung ke wilayah Malaka di bagian pesisir biasanya keheranan. Daerah itu subur dan berlimpah air. Potret ini kontras dengan wilayah Pulau Timor pada umumnya yang hampir semua kesulitan air bersih dan sering mengalami kekeringan ekstrem setiap tahun.
Warga di selatan Malaka, yang dalam bahasa lokal disebut ”orang fehan”, nyaris tidak kekurangan bahan makanan. Kebun mereka menghasilkan tanaman pangan sepanjang tahun. Ubi, kacang, pisang, jagung, dan padi adalah makanan pokok mereka. Belum lagi sayur-sayuran.
Di Betun, areal persawahan menghampar luas, seperti di Bakateu, Laran, dan Kletek. Musim tanam padi bahkan lebih dari dua kali dalam setahun. Di rumah mereka, berkarung-karung beras tersusun dari dapur sampai ruang tamu. Hasil panen dua tahun sebelumnya bahkan masih ada hingga musim tanam tahun depan.
Berlimpah hasil kebun membuat harga sayuran di Pasar Betun termasuk yang paling murah di NTT. Satu ikat kangkung yang di Kota Kupang dijual dengan harga Rp 5.000 hanya dihargai Rp 1.000 di Bentun. Ketika musim panen, harganya bisa turun menjadi Rp 500 per ikat. Menurut data Badan Pusat Statistik, total sayuran yang diproduksi dalam setahun sebanyak 23.382 kuintal.
Hasil kebun dari daerah itu kemudian dijual ke kabupaten tetangga, seperti Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Kupang, hingga Kota Kupang. Sebagian besar pisang yang dijual di Kota Kupang, misalnya, berasal dari Malaka. Satu tandan pisang dibeli dengan Rp 20.000, lalu dijual lagi di Kupang dengan harga Rp 100.000. Selama tahun 2021, Malaka mengirim 617 ton pisang.
Bahkan sebelum pandemi Covid-19, hasil pangan Malaka dijual hingga ke negara Timor Leste. Warga dari wilayah negara itu yang terdekat dengan gerbang perbatasan, seperti Suai, datang membeli bawang merah di Malaka. ”Selain secara resmi diekspor, banyak warga Timor Leste masuk beli bawang secara eceran,” kata Yosef Seran, Kepala Desa Fafoe, Malaka.
”Kuali lumpur”
Di samping berkah air melimpah dan kesuburan lahan, warga di hilir Benenai masih sering terusik dengan banjir akibat luapan sungai. Beberapa permukiman, seperti Bolan, biasa jadi langganan banjir setiap tahun. Ketika musim hujan tiba, mereka siaga. Barang-barang di lantai dievakuasi agar tidak terendam.
Terkadang, banjir datang ketika daerah itu tidak sedang diguyur hujan. Ternyata luapan air itu akibat hujan di hulu, seperti di Timor Tengah Selatan atau Timor Tengah Utara. Warga menyebutnya banjir dadakan. Banjir menyeret lumpur yang menggenangi permukiman. Warga pun menamai daerah langganan banjir itu dengan sebutan ”kuali lumpur”.
Dalam catatan Kompas, banjir dengan dampak terparah di daerah itu terjadi pada Mei 2000. Korban jiwa lebih dari 100 orang. Ratusan rumah rusak berat. Lebih dari 1.000 hektar sawah rusak. Jembatan Benenai yang dibangun tahun 1984 juga hanyut disapu air.
Sekitar 21 tahun kemudian, tepatnya April 2021, badai Seroja yang menerjang wilayah NTT juga ikut merusak daerah itu. Tiga warga dilaporkan meninggal, ribuan ternak mati dan hilang, ratusan rumah rusak berat, serta lebih dari 1.000 hektar tanaman jagung siap panen rusak.
Banjir juga menghantam tiang Jembatan Benenai, yang membuat bentang tengah jembatan menjadi miring. Kendaraan tidak bisa melintas. Hingga saat ini jembatan sepanjang 295 meter itu belum selesai diperbaiki. Jalur selatan Pulau Timor terputus hampir sebulan terakhir.
Yustina Opat (40), warga Laran, berpendapat, banjir besar yang terjadi adalah bentuk kemarahan alam kepada manusia. Sebelum banjir besar, warga menebang pohon di sisi aliran sungai dan melakukan perbuatan terlarang di sana.
”Sungai itu punya roh. Ada pemiliknya. Sungai sudah baik dengan kita. Kasih kita air dan kesuburan. Kalau kita kurang ajar dengan sungai, sungai juga bisa marah,” kata Yustina.
Dalam tradisi masyarakat setempat, korban yang meninggal akibat banjir dimakamkan di pinggir sungai tersebut. Secara simbolis, makam sebagai benteng agar air sungai tidak lagi meluap melewati makam. Nyawa para korban sebagai martir untuk melindungi orang lain yang masih hidup agar tidak lagi meninggal akibat keganasan air.
Yustina mengatakan, ada satu kearifan lokal yang sudah mulai ditinggalkan warga setempat, yakni model rumah. Dulu, warga yang tinggal di sisi Benenai membangun rumah panggung untuk menghindari banjir. Saat ini, rumah panggung sudah diganti dengan rumah yang berdiri di atas fondasi biasa.
Direktur Eksekutif Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal Torry Kuswardono dalam diskusi membahas isu perubahan iklim di NTT mengatakan, dampak perubahan iklim akan semakin buruk dari waktu ke waktu. Dampak itu mulai terasa dalam 20 tahun terakhir, seperti intensitas hujan yang berlebihan.
Ia mencontohkan, siklus La Nina dan El Nino mulai berubah. ”La Nina terjadi dalam dua tahun berturut-turut, yakni 2020 dan 2021. Padahal, sebelum tahun 2000, siklus itu biasanya terjadi dalam tujuh tahun,” katanya. La Nina adalah kondisi curah hujan berlebihan, sedangkan El Nino adalah kekeringan berkepanjangan.
Masyarakat di sisi Benenai harus terus diingatkan untuk adaptif. Di samping berkah kesuburan, ada juga bencana yang selalu menghantui.