Meski berulang kali diguncang gempa, masih banyak bangunan di Pandeglang, Banten, belum berstandar tahan gempa. Tanpa mitigasi konstruksi infrastruktur itu, potensi gempa yang lebih merusak tinggal menunggu waktu.
Gempa bumi bermagnitudo 6,6 di Selat Sunda, Jumat (14/1/2022) pukul 16.05, kembali mengirimkan sinyal bahaya bagi masyarakat di pesisir Pandeglang, Banten. Sekitar 1.100 rumah rusak. Buruknya konstruksi bangunan memperparah kerusakan. Jika tak segera dibenahi, kegagapan mitigasi di lokasi yang disebut penduduk setempat sebagai ”urat bumi” itu berpotensi menyebabkan dampak lebih besar.
Gempa bermagnitudo 4,7 membuat sebagian masyarakat di Kecamatan Sumur, Cimanggu, dan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, berhamburan keluar rumah, Sabtu pukul 09.29. Guncangan lebih dari lima detik itu membuat tanah gemetar disertai gemuruh.
Uweng (43) bersama istri dan kedua anaknya yang sedang tiduran di teras rumahnya pun bergegas bangkit dan berlari ke halaman di Desa Tunggaljaya, Sumur. Trauma masih melekat saat gempa membuat setengah dinding sisi kiri rumah mereka ambruk, Jumat sore.
Mereka selamat. Namun, rumah seluas sekitar 50 meter persegi itu tak lagi layak dihuni. Dinding depan, belakang, dan sisi kanannya retak. Beberapa lembar gentingnya juga berjatuhan.
”Masih takut tinggal di dalam rumah. Untuk sementara kami bertahan di teras saja sampai situasinya aman,” ujarnya.
Pilihan itu tak keliru. Mereka lebih cepat mengevakuasi diri saat gempa berkekuatan M 4,7 mengguncang lagi kawasan itu, Sabtu pukul 03.43.
Hingga Sabtu sore, Uweng belum membersihkan reruntuhan puing rumahnya. Bata bekas dinding rumah itu masih menumpuk di samping rumah.
Tanpa struktur kolom beton berbahan besi, bangunan berusia 14 tahun itu rawan ambruk diguncang gempa. Apalagi kawasan itu rutin dilanda gempa yang bersumber di Selat Sunda dan Samudra Hindia.
Hidup di kawasan rawan gempa, Uweng tak dibekali dengan kesadaran mitigasi mumpuni. Ia pun mengaku belum pernah mendengar konstruksi rumah tahan gempa. Sosialisasi mengenai hal itu juga tak pernah diperoleh.
”Bangunan apa itu? Maksudnya dinding rumahnya berbahan baja supaya tahan gempa?" katanya.
Uweng menyadari kerentanan bencana di desa itu. Namun, ia tak punya pilihan untuk pindah dari sana. Sebagai sopir harian lepas, pendapatannya tak menentu.
”Orangtua kami menyebut tempat ini urat bumi karena menjadi rambatan gempa. Tetapi, kalau harus pindah dari sini, uangnya dari mana,” ujar lulusan sekolah dasar tersebut.
Dinding depan rumah Nanang (40) di Desa Kertamukti, juga ambrol digoyang gempa. Ia selamat karena sedang berada di luar rumah saat terjadi gempa.
Akan tetapi, gempa masih menyisakan kecemasan. Sebab, rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai. Kawasan itu pernah diterjang tsunami akibat longsoran bawah laut Gunung Anak Krakatau pada 2018.
Rumah Nanang menjadi satu di antara tiga rumah yang rusak berat di desa itu. Beberapa kolom bangunan itu runtuh.
Kerusakan bangunan akibat gempa di Pandeglang dan sekitarnya lebih didominasi oleh efek guncangan gempa. Oleh sebab itu, mitigasi dengan menerapkan bangunan tahan gempa menjadi salah satu kunci untuk meminimalkan dampaknya
Akan tetapi, pilar penyangga tersebut bukan berbahan besi, tetapi bilah bambu. Hal itu membuatnya mudah copot saat menerima efek guncangan.
Gempa bermagnitudo 6,9 pada Agustus 2019 masih menyisakan sejumlah rekahan di dindingnya. Namun, ketika itu, Nanang belum menganggapnya sebagai ancaman berarti.
”Dinding cuma retak-retak dan genting ada yang bocor. Rumah masih ditempati tanpa banyak renovasi,” ujarnya.
Gempa kali ini membawa petaka lebih serius. Rumahnya tak lagi bisa ditempati. Nanang mulai memindahkan sejumlah barangnya ke rumah kerabatnya.
”Kalau nanti gempa susulan dan bangunan runtuh, semakin banyak barang yang rusak. Jadi, lebih baik diungsikan dulu,” ujarnya.
Tak hanya rumah, gempa juga membuat dinding sejumlah sekolah di Pandeglang ambruk. Di Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 Pandeglang, misalnya, bagian atas dinding pembatas ruang guru runtuh, Jumat sore.
Bangunan berusia 20 tahun itu tidak mampu menahan guncangan gempa. Untuk sementara, ruang tersebut belum dapat digunakan karena dikhawatirkan kerusakannya semakin parah mengingat masih terjadi gempa susulan.
”Ruangan ini sebenarnya termasuk yang diajukan untuk direnovasi, tetapi belum disetujui. Sementara 15 ruangnya dalam proses renovasi,” ujar Kepala MTs Negeri 3 Pandeglang Eman Sulaiman.
Mitigasi
Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMB) Badan Geologi, Supartoyo, mengatakan, kerusakan bangunan akibat gempa di Pandeglang dan sekitarnya lebih didominasi oleh efek guncangan gempa. Oleh sebab itu, mitigasi dengan menerapkan bangunan tahan gempa menjadi salah satu kunci untuk meminimalkan dampaknya.
”Tanpa balok ring dan kolom struktur, bangunan tersebut bersifat non-engineering sehingga rentan rusak diguncang gempa,” ujarnya.
Supartoyo menyebutkan, sebutan ”urat bumi” oleh masyarakat setempat bukan mengacu pada jalur sesar di kawasan itu. Sebab, sumber gempa di sana lebih didominasi di laut.
”Bisa jadi itu untuk mendefenisikan jalur kerusakan dari gempa-gempa sebelumnya. Hal inilah yang penting diantisipasi agar kerusakan lebih besar dapat dihindari,” jelasnya.
Di samping masih banyaknya bangunan yang belum menerapkan konstruksi tahan gempa, upaya mengedukasi mitigasi sejak dini juga dibutuhkan.
Saat diguncang gempa, Sabtu pagi, puluhan siswa Madrasah Ibtidaiyah Citangkil, Desa Tangkilsari, Cimanggu, langsung bergegas berlari menuju halaman sekolah. ”Tiba-tiba bergetar, bunyi kaca pecah, tiang listrik goyang. Kami semua lari ke halaman sekolah. Guru bilang jangan di dalam kelas,” ujar Daren (10), siswa kelas IV.
Edi Suaedi, salah satu guru, menyebutkan, guru dan siswa spontan lari keluar kelas karena takut bangunan roboh. Pada 2019, pascatsunami Selat Sunda 2018, pernah berlangsung pelatihan dan penyuluhan tanggap bencana di Kantor Desa Tangkilsari. Kegiatan berlangsung selama lima hari untuk mengedukasi siswa tentang evakuasi, simulasi, dan penanggulangan bencana.
Selain di Pandeglang, gempa juga merusak sejumlah bangunan di Kabupaten Lebak dan Serang. Lebih dari 1.200 bangunan rusak di tiga daerah itu.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Banten Nana Suryana mengatakan, masyarakat yang rumahnya rusak akibat gempa mengungsi ke rumah kerabat. ”Kami belum membuka tenda pengungsian karena masyarakat masih memilih untuk menetap di rumah saudaranya,” katanya.
Nana menyebutkan tidak ada korban jiwa akibat gempa tersebut. Namun, beberapa warga terluka dan dalam perawatan.
Meskipun tak menyebabkan korban jiwa, gempa yang mengguncang Pandeglang dan sekitarnya jangan sampai dianggap remeh. Apalagi, hingga saat ini, gempa belum bisa diprediksi kapan akan terjadi. Tanpa mitigasi, gempa hanya tinggal menunggu waktu untuk berdampak lebih merusak dan menelan korban lebih besar.