Masyarakat Adat Tapanuli Utara Dapat SK Bupati, Titik Terang Penyelesaian Konflik
Penanganan konflik lahan di kawasan Danau Toba menemukan titik terang setelah untuk pertama kali tiga komunitas adat mendapat pengakuan dan perlindungan melalui Surat Keputusan Bupati Tapanuli Utara.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
TARUTUNG, KOMPAS — Penanganan konflik lahan di kawasan Danau Toba menemukan titik terang setelah untuk pertama kali tiga komunitas adat mendapat pengakuan dan perlindungan melalui Surat Keputusan Bupati Tapanuli Utara. Penetapan itu diharapkan segera ditindaklanjuti dengan penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Masyarakat adat kami sudah bertahun-tahun menghadapi konflik dengan perusahaan hutan tanaman industri penerima konsesi dari pemerintah. Pengakuan dan perlindungan ini kami harapkan bisa jadi titik terang penyelesaian konflik,” kata Ketua Masyarakat Adat Onan Harbangan Nagasaribu, Jonris Manutur Simanjuntak (47), Kecamatan Siborong-Borong, Rabu (12/1/2021).
Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan menandatangani tiga surat keputusan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayahnya. Selain Masyarakat Adat Onan Harbangan, dua komunitas lainnya, yakni Bius Huta Ginjang di Kecamatan Muara dan Aek Godang di Kecamatan Adian Koting.
Jonris pun berharap, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa segera menindaklanjuti SK Bupati itu dengan penetapan hutan adat di wilayah mereka. Ada sekitar 65 kepala keluarga anggota masyarakat adat itu yang sudah hidup turun-temurun dari hutan kemenyan mereka.
”Namun, dalam beberapa tahun ini terjadi konflik karena hutan adat kami diklaim sebagai konsesi hutan tanaman industri. Hutan kemenyan kami juga dirusak,” kata Jonris.
Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi, yang mendampingi masyarakat adat, mengatakan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui SK Bupati tersebut merupakan yang pertama di kawasan Danau Toba. ”Penetapan ini sangat penting mengingat konflik tenurial yang sudah berkepanjangan di Danau Toba,” kata Delima.
Namun, dalam beberapa tahun ini terjadi konflik karena hutan adat kami diklaim sebagai konsesi hutan tanaman industri. Hutan kemenyan kami juga dirusak. (Jonris Simanjuntak)
Delima pun mengapresiasi langkah Bupati Tapanuli Utara itu dan diharapkan kepala daerah lainnya di kawasan Danau Toba juga ikut memprioritaskan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Skema panjang
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat berawal dari Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun, untuk menetapkan hutan adat harus melalui skema yang panjang, yakni pembentukan peraturan daerah di tingkat provinsi atau kabupaten sebagai payung hukum.
Selanjutnya, setiap anggota masyarakat hukum adat harus ditetapkan melalui surat keputusan bupati. ”Dengan dasar perda, SK Bupati, dan setelah dilakukan verifikasi, baru bisa ditetapkan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Delima.
Delima mengatakan, baru Kabupaten Tapanuli Utara dan Toba yang sudah punya perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di kawasan Danau Toba. Kabupaten lainnya, seperti Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, dan Humbang Hasundutan belum mempunyai payung hukum itu. Humbang Hasundutan sendiri sudah punya perda, tetapi khusus untuk masyarakat adat Pandumaan dan Sipitu Huta.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak Roganda Simanjuntak mengatakan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat lainnya kini terkendala oleh tidak adanya perda sebagai payung hukum. ”Kami meminta pemerintah daerah, baik bupati maupun dewan perwakilan rakyat daerah, memprioritaskan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” kata Roganda.
Saat ini, ada 32 komunitas masyarakat adat di kawasan Danau Toba yang sudah diajukan untuk mendapat pengakuan dan perlindungan yang tersebar di Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Simalungun. Namun, baru tiga komunitas di Tapanuli Utara itu yang sudah mendapat SK Bupati.
Nikson mengatakan, ia berharap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat bisa menyejahterakan dan meningkatkan perekonomian. Ia juga meminta agar masyarakat adat menjaga dan melestarikan hutan adat di kawasannya. Ada tujuh komunitas adat lainnya yang akan segera ditetapkan kembali di Tapanuli Utara.