Perda Masyarakat Adat Langkah Awal Selesaikan Konflik Tenurial di Sumut
Tiga kabupaten di kawasan Danau Toba telah memiliki peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Perda yang sudah bertahun-tahun ditunggu itu diharapkan menyelesaikan konflik tenurial di Sumut.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Tiga kabupaten di kawasan Danau Toba telah memiliki peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yakni Kabupaten Humbang Hasundutan, Toba, dan, pekan lalu, disahkan di Tapanuli Utara. Perda yang sudah bertahun-tahun ditunggu itu diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan penetapan masyarakat adat dan wilayah adat.
”Kami mengapresiasi pengesahan peraturan daerah tentang perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Tapanuli Utara. Ini adalah langkah awal untuk menyelesaikan konflik tenurial yang sudah berkepanjangan di kawasan Danau Toba,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak, Rabu (23/12/2020).
Roganda mengingatkan, perda perlindungan masyarakat adat di Tapanuli Utara hanya menjadi landasan hukum dan mengatur tata cara penetapan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Karena itu, pemerintah kabupaten perlu segera membentuk panitia untuk melakukan identifikasi dan verifikasi data sosial masyarakat adat dan peta wilayah adatnya. ”Setelah itu baru masuk ke proses terakhir, yakni penetapan masyarakat adat dan peta wilayah adat melalui surat keputusan bupati,” kata Roganda.
Roganda mengatakan, regulasi di tingkat daerah sangat penting untuk melindungi masyarakat adat. Hal itu karena Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara nomor 35/PUU-X/2012 secara tegas menyebutkan bahwa hutan adat merupakan milik masyarakat adat, bukan hutan negara. Putusan itu pun meminta agar segera dibentuk undang-undang dan peraturan daerah sebagai landasan hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Dengan adanya perda, konflik tata kelola kepemilikan dan pengelolaan tanah berikut sumber daya alamnya bisa tereduksi.
Di Tapanuli utara,kata Roganda, sudah ada 10 komunitas masyarakat adat yang melengkapi data sosial dan peta wilayah adatnya. Mereka tersebar di Kecamatan Parmonangan, Siborongborong, Muara, dan Sipahutar dengan luasan wilayah adat lebih kurang 12.000 hektar.
Sebagian besar komunitas masyarakat adat di daerah itu hidup secara turun-temurun dari hutan kemenyan yang berstatus sebagai hutan adat. Namun, beberapa tahun belakangan, mereka terlibat konflik lahan dengan konsesi perusahaan dan hutan negara. Selama bertahun-tahun konflik berlangsung tanpa kepastian.
Beberapa tahun belakangan, mereka terlibat konflik lahan dengan konsesi perusahaan dan juga dengan hutan negara. (Roganda Simanjuntak)
Roganda mengingatkan, di Kabupaten Toba, perda tentang masyarakat adat telah disahkan sejak 2017. Namun, panitia identifikasi dan verifikasi masyarakat adat baru dibentuk pada 2020. Hingga kini, perda itu belum ditindaklanjuti dengan penetapan masyarakat adat dan wilayah adatnya melalui surat keputusan bupati.
Hal tersebut pun diharapkan jangan sampai terjadi di Tapanuli Utara. Pemerintah kabupaten harus bergerak cepat. Di Humbang Hasundutan, perda masyarakat adat hanya mengatur secara khusus masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta. Masyarakat adat itu telah ditetapkan melalui surat keputusan bupati.
”Namun, hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memberikan surat keputusan pelepasan hutan negara kepada mereka,” kata Roganda.
Roganda mengatakan, perda masyarakat adat di tingkat provinsi juga sebenarnya mendesak untuk segera disahkan. Perda di tingkat provinsi sangat penting untuk penetapan masyarakat adat yang berada di dua kabupaten/kota. Selain itu, perda ini juga bisa menjadi payung hukum bagi kabupaten yang belum punya perda masyarakat adat.
Semua fraksi di DPRD Sumut mempunyai komitmen yang sama untuk segera mengesahkan perda tentang masyarakat adat. (Jonius Taripar Hutabarat)
Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan mengatakan, pihaknya akan segera membentuk panitia agar penetapan komunitas masyarakat adat dan peta wilayah adat bisa segera dilaksanakan. ”Bagi kami, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sangat penting. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara menginisiasi langsung perda masyarakat adat sejak 2016,” kata Nikson.
Nikson mengatakan, penetapan perda terlambat karena penyusunan naskah akademik yang memakan waktu yang lama. Ia mengatakan akan segera mengeluarkan surat keputusan bupati untuk menetapkan masyarakat adat. Penetapan itu pun diharapkan bisa menyelesaikan berbagai konflik tenurial di Tapanuli Utara.
Di tingkat provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Jonius Taripar Hutabarat, mengatakan, semua fraksi di DPRD Sumut mempunyai komitmen yang sama untuk segera mengesahkan perda tentang masyarakat adat. Perda itu kembali masuk dalam program legislasi daerah 2021.
”Kami sudah menyelesaikan naskah akademik dan drafnya. Kami juga telah kunjungan kerja ke beberapa daerah yang sudah punya perda masyarakat adat,” kata Jonius.
Jonius mengatakan, DPRD Sumut menargetkan agar perda masyarakat adat bisa disahkan tahun ini. Ia berharap, perda di tingkat provinsi bisa menjadi payung hukum untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat di seluruh wilayah Sumut. Ia pun mendorong agar Pemerintah Provinsi Sumut memprioritaskan perlindungan masyarakat adat. Ia mencontohkan Provinsi Bali yang mempunyai Dinas Pemajuan Masyarakat Adat.