Ujaran kebencian masih saja terus terjadi di negara ini. Bila terus terjadi, hal ini sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa dan antarmasyarakat.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
Kasus ujaran kebencian terus berlanjut di awal tahun 2022. Kali ini, Ferdinand Hutahaean, bekas kader Partai Demokrat, diduga melakukan ujaran kebencian terkait agama. Ajaran Islam dalam menangkal siaran kebencian berabad-abad silam sangat relevan untuk masa kini.
Ferdinand ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian, Senin (10/1/2022). Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, Ferdinand kini ditahan hingga 20 hari ke depan (Kompas.id, 11/1/2022).
Kasus ini bermula dari cuitan Ferdinand di Twitter yang diduga bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Belakangan, ia menghapus pesan itu.
Menurut dia, unggahan tersebut tidak menyasar kelompok, kaum, orang, atau agama tertentu. Cuitan itu, lanjutnya, merupakan dialog imajiner antara pikiran dan hatinya. Namun, ia memohon maaf kepada siapa pun yang merasa terganggu dengan cuitannya.
Sebelumnya, sejumlah kasus dugaan ujaran kebencian yang memuat SARA juga terjadi di Tanah Air. Bahkan, ujaran itu menyebar melalui tempat atau acara ibadah. Padahal, Islam, agama yang paling banyak diyakini penduduk Indonesia telah mengajarkan cara melawan ujaran kebencian sejak berabad-abad silam.
Buku Menangkal Siaran Kebencian, Perspektif Islam karya KH Husein Muhammad dan Siti Aminah mengungkap panduan praktis menghadapi ujaran kebencian. Buku saku 120 lembar itu diterbitkan 2017 oleh Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.
Buya Husein menjelaskan, ujaran kebencian memiliki unsur hasutan, diskriminasi, permusuhan, hingga kekerasan. Ia mencontohkan, seseorang boleh menyatakan ajarannya paling benar di mata Tuhan. Namun, ungkapan itu bisa berujung kebencian apabila mengandung hasutan, diskriminasi, permusuhan, dan menganjurkan kekerasan.
Islam, lanjutnya, anti-ujaran kebencian. Prinsip paling fundamental, yakni tauhid, mengajarkan hal tersebut. Tauhid dapat dimaknai dalam sebuah kalimat tegas, yakni, La Ilaha Illallah atau tidak ada Tuhan kecuali Allah. Hanya Dia yang memiliki kebesaran, kekuasaan, kebenaran, dan segalanya yang absolut.
”Pernyataan ini dengan sendirinya juga membawa konsekuensi sosial paling rasional bahwa semua manusia dan ciptaan Tuhan yang lain adalah setara di hadapan-Nya, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih utama,” tulis Husein. Oleh karena itu, manusia seharusnya tidak merendahkan yang lain.
Dalam Al Quran Surah Al-An’am Ayat 108, Islam juga memeringatkan agar umat Muslim tidak menghina agama lain. Mengutip ahli tafsir besar, Ibnu Katsir, Husein mengatakan, Allah SWT melarang orang-orang beriman mencaci maki sesembahan kaum musyrik meski untuk kemaslahatan.
Cacian itu tidak hanya menimbulkan permusuhan dan konflik berkepanjangan, tetapi juga merusak agama Islam sendiri. Husein berpendapat, adalah alamiah seseorang menganggap keyakinannya yang paling benar. Namun, bukan berarti, orang itu boleh menghina pemeluk agama lain.
Ibnu Katsir, lanjut Husein, mengatakan, Allah SWT melarang penganut Islam mengolok-olok orang lain. Misalnya, menjuluki seseorang dengan sebutan yang dapat merugikan dan menyakiti orang tersebut. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk kesombongan.
”Nabi SAW bersabda: sombong itu menolak kebenaran dan menghinakan orang lain,” tulisnya.
Penghinaan terhadap orang lain, kelompok, bahkan keyakinan tertentu kini dapat ditemui di media sosial. Husein menyarankan sejumlah cara menghadang tindakan itu. Pertama, tidak mudah percaya dengan kabar yang menjelekkan suatu pihak. Tabayyun atau verifikasi perlu dilakukan.
Selanjutnya, menghindari pergaulan dengan orang atau kelompok yang kerap menebar kebencian, provokator. Orang-orang yang melakukan hal tersebut di mata ulama tidak memiliki pikiran sehat. Terakhir, Islam memegang prinsip kedamaian dan menolak berbagai bentuk ujaran kebencian.