Hoaks Ancam Demokrasi, Filsafat Komunikasi Digital Bisa Menyelamatkan
”Semua orang bisa berbicara karena dalam komunikasi digital tidak ada hierarki yang membatasi. Konsep ideal demokrasi dapat diraih, tetapi cita-cita demokrasi juga terancam lumpuh dari genggaman,” kata F Budi Hardiman.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR/DIAN DEWI PURNAMASARI
Sidang terbuka pengukuhan Profesor Doktor Fransisco Budi Hardiman sebagai guru besar pada bidang ilmu filsafat Universitas Pelita Harapan, Rabu (8/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran berita bohong atau hoaks di ruang digital bisa merusak demokrasi. Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat, media sosial malah menjadi ladang untuk menyebarkan hoaks. Tanpa dibekali ilmu filsafat, komunikasi digital bisa membahayakan demokrasi.
Demikian disampaikan Fransisco Budi Hardiman dalam orasi ilmiah yang disampaikan pada sidang pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta, Rabu (8/1/12/2021). ”Di era komunikasi digital, realitas telah digantikan dengan simbol-simbol teks, gambar di internet. Isi Zoom, Whatsapp, dan Tiktok terasa lebih riil seolah kita sedang berada di dalamnya. Kita kemudian menjadi gagap saat menghadapi kelangsungan,” tuturnya.
Sidang terbuka pengukuhan F Budi Hardiman digelar secara hibrida. Sebagian tamu undangan hadir secara luring, sedangkan sisanya mengikuti melalui platform daring.
Budi menyebut, saat ini pengalaman politis, ekonomis, psikologis, dan erotis seseorang yang dirasakan melalui layar telepon seluler (ponsel) tak lebih dari simulasi kenyataan. Di akhir abad ke-20, tepatnya 1978, seorang filsuf Perancis, Jean Baudrillard, telah berbicara tentang simulakra.
TANGKAPAN LAYAR/DIAN DEWI PURNAMASARI
Profesor Doktor Fransisco Budi Hardiman membacakan orasi ilmiahnya dalam sidang terbuka pengukuhan sebagai guru besar pada bidang ilmu filsafat Universitas Pelita Harapan, Rabu (8/12/2021).
Baudrillard mengatakan bahwa manusia abad kontemporer hidup dalam gambar, citra, atau penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman nyata. Mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi. Tidak ada yang nyata di luar simulasi karena sesuatu yang asli pun dapat ditiru. Sehingga nilai guna komoditas dan nilai imperatif sebuah produk digantikan oleh model, kode, serta tontotan hiperealitas. Hal itulah yang menjebak manusia ke dalam permainan simulakra ketika berkomunikasi melalui media sosial dan internet.
”Semua orang kemudian bisa berbicara karena dalam komunikasi digital tidak ada hierarki yang membatasi. Konsep ideal demokrasi seolah dapat diraih, tetapi juga cita-cita demokrasi terancam lumpuh dari genggaman,” terang Budi.
Di era komunikasi digital, lanjutnya, setiap orang seolah bisa menjadi produsen, sutradara, sekaligus ahli bagi orang lain. Namun, dalam interaksi warganet, alih-alih mengupayakan saling pemahaman, media sosial justru menjadi sarana untuk menyebarkan hoaks dalam bentuk teks, video, foto, dan poster yang mendistorsi kenyataan. Kebohongan itu setiap hari mengisi ruang privat publik, karena digitalisasi yang membuat orang ketergantungan terhadap telepon seluler.
”Industri kebohongan telah sampai pada ruang privat kita. Menghianati akal sehat, memancing kebencian timbal balik. Padahal, apakah bisa disebut komunikasi jika tidak saling mengerti. Apakah bisa disebut demokrasi jika kebohongan merusaknya?” kata Budi.
DIDIE SW
Didie SWHoaks Infodemi
Untuk mencegah kerusakan itu, terang Budi, filsafat diperlukan dalam komunikasi digital. Filsafat mengajak orang untuk berpikir, bertanya, dan mempersoalkan segala sesuatu. Hal itu masih relevan diterapkan dalam kehidupan modern karena filsafat juga mempersoalkan mitos.
Filsuf Yunani, Plato, mendefinisikan mitos sebagai bayang-bayang atau realitas semu. Dalam konteks dunia modern, revolusi digital membuat luapan informasi yang dapat mengacaukan persepsi antara fiksi dan realitas. Keduanya dapat dikaburkan.
”Pengguna gawai tidak peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan mitos dalam cerita Plato itu. Mereka memang tidak terjebak di dinding goa, melainkan layar ponsel. Simulakra menjebak mereka menikmati realitas semu. Inilah saatnya filsafat menjalankan tugas klasiknya,” imbuh Budi.
Dia berpandangan, filsafat mengajak orang berpikir untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan. Inilah yang diperlukan oleh masyarakat modern ketika komunikasi digital menjadi mood of being yang baru. Hal ini juga relevan diterapkan di Indonesia yang memiliki pengguna internet sekitar 125 juta orang. ”Tugas ini mendesak untuk dilakukan,” tegas Budi.
Semua orang kemudian bisa berbicara karena dalam komunikasi digital tidak ada hierarki yang membatasi. Konsep ideal demokrasi seolah dapat diraih, tetapi juga cita-cita demokrasi terancam lumpuh dari genggaman.
Tugas filsafat itu, lanjutnya, adalah menyingkap ambivalensi komunikasi digital. Ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kemanusiaan seseorang. Manusia yang bebas, kreatif, dan menjunjung tinggi moralitas. Bukan manusia yang seperti mesin berjalan.
Digitalisasi, imbuhnya, juga berdampak pada marginalisasi kelas-kelas sosial tertentu. Dunia digital mengubah antropologi interaksi manusia dan dunia digital. Kebenaran dan keindahan tidak lagi menjadi sesuatu yang orinisinal, tetapi hanya citra semata. Oleh karena itu, manusia harus kembali menjadi manusia uang merepakan etika komunikasi. Ada sopan santun, moral dalam berkomunikasi digital. Termasuk juga etika bagi para pihak penambang data. Mereka harus menerapkan prinsip keadilan kepada masyarakat.
Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan L Parapak mengatakan, dirinya juga banyak merenungkan hal-hal di dunia digital. Era digital dinilai telah membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada lagi batas-batas dalam dunia digital. Dunia maya seolah menjadi realitas nyata saat ini. Tanpa berfilsafat dalam komunikasi digital, dikhawatirkan masyarakat bisa terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan.
TANGKAPAN LAYAR/DIAN DEWI PURNAMASARI
Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan L Parapak memberi sambutan saat sidang terbuka pengukuhan guru besar bidang ilmu filsafat Universitas Pelita Harapan Prof Dr Fransisco Budi Hardiman, Rabu (8/12/2021).
”Saya banyak merenungkan era digital ini. Dan renungan filsafat seperti yang disampaikan Prof Budi (Fransisco Budi Hardiman) sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan,” kata Jonathan.
Adapun, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Agus Setyo Budi menambahkan, selama manusia bisa menggunakan akal pikirnya, semua masalah pasti bisa diselesaikan. Termasuk ancaman hoaks yang dapat merusak demokrasi. Dengan filsafat diharapkan orang tidak lagi berminat menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong.
Dikutip dari situs web resmi UPH, Fransisco Budi Hardiman adalah dosen Program Studi Liberal Arts. Selama ini, Budi juga menulis sejumlah buku. Di antaranya buku berjudul Kritik Ideologi dan Menuju Masyarakat Komunikatif yang ditulis untuk memperkenalkan pemikiran kritis Jurgen Habermas, filsuf dan sosiolog asal Jerman. Karya lainnya adalah Demokrasi Deliberatif, Humanisme dan Sesudahnya, serta Moncong Oligarki.