Keberpihakan pada Lingkungan Dinanti Usai Pencabutan Perizinan Tambang dan Kehutanan
Keberpihakan pemerintah pada masyarakat dan lingkungan dinanti setelah ribuan izin usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan dicabut. Ini menjadi momentum untuk menyelesaikan konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dan lingkungan sangat dinanti setelah ribuan perizinan usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan dicabut. Pencabutan izin itu hendaknya menjadi momentum untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Sebelumnya, pemerintah mencabut 2.078 izin pertambangan, 192 izin kehutanan, dan 137 izin perkebunan karena izin-izin yang diterbitkan itu tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan. Pengumuman pencabutan perizinan itu disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022).
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan pada 5 Januari 2022 terdapat 192 unit perizinan atau perusahaan yang dicabut dengan luas area 3,126 juta hektar. Sebanyak enam perizinan di antaranya ada di Kalimantan Selatan dengan luas area 49,96 hektar. Selain itu, ada 12 perizinan lainnya di Kalsel yang harus dievaluasi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, pencabutan perizinan yang dilakukan pemerintah tidak boleh hanya sebatas administratif. Namun, semua harus ditindaklanjuti dengan pemulihan hak rakyat, terutama masyarakat adat serta pemulihan kerusakan lingkungan.
”Di Kalsel, pencabutan perizinan itu harus jadi momentum perbaikan lingkungan, terutama setelah bencana banjir besar melanda Kalsel pada awal tahun 2021,” katanya saat dihubungi dari Banjarmasin, Senin (10/1/2022).
Kalsel dengan luas wilayah 3,7 juta hektar disebut sudah darurat ruang serta bencana ekologis. Alasannya, separuh ruang wilayahnya sudah dibebani perizinan tambang (33 persen) dan perkebunan kelapa sawit (17 persen). Ketika musim hujan, di Kalsel pasti terjadi banjir. Dan ketika musim kemarau, pasti terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Untuk itu, ujar Kisworo, pencabutan perizinan harus disertai dengan evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif dari hulu ke hilir. Tak hanya evaluasi terhadap persoalan administrasi, tetapi juga terhadap praktik-praktik usaha pertambangan, perkebunan, dan kehutanan di lapangan.
”Setelah dicabut, jangan sampai diberikan kepada investor lain, tetapi harus dikembalikan kepada rakyat. Jadikan area itu sebagai mata pencarian baru yang bersifat ekonomi kerakyatan, ramah lingkungan, ramah hak asasi manusia, berkelanjutan, dan berkeadilan,” katanya.
Kisworo juga berharap dalam daftar izin pertambangan yang dicabut pemerintah nanti ada nama PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang memiliki izin atas area seluas 5.900 hektar di Kalsel. Hal itu mengingat gugatan Walhi terhadap izin operasi produksi perusahaan tersebut telah dimenangkan Mahkamah Agung.
”Kalau sampai tidak ada nama PT MCM, akan menjadi pertanyaan besar. Sebab, gugatan Walhi yang dimenangkan oleh MA sudah jelas dan punya kekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara sekaligus Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Denny Indrayana, juga menyoroti pencabutan ribuan perizinan usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang dilakukan pemerintah. ”Konstitusionalitas dan legalitas pencabutan ribuan izin tersebut harus terjaga,” katanya.
Tanpa kepentingan
Denny memandang, jika tindakan pemerintah mencabut ribuan izin dengan semangat menegakkan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, layak diapresiasi. Namun, jangan sampai pencabutan izin itu ditunggangi oleh oknum tertentu sehingga hanya menjadi ajang tukar pemain.
”Pencabutan izin harus untuk menjaga kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Jangan ada kepentingan pemodal besar dan kepentingan oligarki koruptif dalam kebijakan negara tersebut,” tuturnya.
Menurut Denny, kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Alasannya, keberpihakan negara dalam pengelolaan sumber daya alam sering kali dipertanyakan. Sebagai contoh, perubahan UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang menjamin perpanjangan izin otomatis bagi pemegang kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Ia juga menyoroti latar belakang pemerintah mencabut perizinan karena alasan banyaknya izin yang terbengkalai. Sebab, di antara ribuan izin yang dicabut terdapat perusahaan yang telah memenuhi aspek legalitas dan telah berproduksi.
”Jangan sampai perusahaan kecil yang tidak punya proteksi dari penguasa, yang sudah melalui proses berliku untuk mendapatkan izin dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur perundang-undangan, menjadi korban,” ujar salah satu pendiri Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu.
Denny menambahkan, jika pencabutan perizinan itu dilakukan dengan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, termasuk melanggar peraturan perundang-undangan, pihak yang dicabut izinnya dapat mengajukan gugatan pembatalan pencabutan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
”Pencabutan ribuan perizinan ini haruslah sangat hati-hati dan sesuai prinsip pemerintahan yang baik (good governance),” kata mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.