Warga Desa Bongo Menjadi Investor di Tanah Sendiri
Masyarakat Desa Bongo di Kabupaten Gorontalo membuktikan tak selamanya perlu aliran modal privat besar untuk bisa makmur. Ketika warga mampu bergotong royong mengelola kekayaan desa, kesejahteraan pasti menyusul.
Masyarakat Desa Bongo di Kabupaten Gorontalo membuktikan tak selamanya perlu aliran modal privat besar untuk bisa makmur. Ketika warga mampu bergotong royong mengelola kekayaan alam dan kearifan lokal desa, kesejahteraan sudah pasti akan menyusul.
Pantai Dulanga adalah salah satu buktinya. ”Pantai ini kami rintis sejak 2014 untuk menjadi obyek wisata desa. Namun, kami tidak membuka pintu bagi investor luar. Kami ingin masyarakat yang menjadi investor bagi desanya sendiri,” kata Yamin Nusi (40), penanggung jawab pantai itu, Sabtu (27/11/2021) siang.
Pantai Dulanga seolah dipeluk tebing karang yang hijau ditumbuhi berbagai pepohonan dan semak. Suasana tenang berkat alunan desir ombak pantai semakin teduh berkat pepohonan rindang yang menjulang di atas pondok-pondok dengan kayu beratap rumbia. Pantai ini seolah memanggil siapa pun yang ingin menepi sejenak dari hiruk-pikuk rutinitas kehidupan.
Pengunjung pun dapat menikmati segarnya air kelapa muda langsung dari batoknya. Masyarakat desa sendiri yang memetik dan menjualnya. Berbagai fasilitas lain pun tersedia di pantai di Kecamatan Batudaa Pantai itu, dari aula sampai kamar mandi umum yang pantas. Padahal, tidak ada biaya masuk selain karcis parkir Rp 5.000.
Kebanggaan Yamin akan pantai rintisan warga itu tersirat dari nada tuturnya, tetapi ia tetap berusaha merendah. ”Dari dulu sampai sekarang, kondisi pantai memang begini terus. Namun, ini semua hasil swadaya dan milik masyarakat. Sebanyak 60 persen keuntungan dari sini kami kembalikan ke masyarakat melalui desa. Sisanya untuk operasional,” katanya.
Nama Dulanga sendiri, menurut beberapa catatan, berarti ulekan yang dipakai untuk melumat rempah-rempah. Tidak jelas mengapa masyarakat menamai pantai itu demikian. Namun, nama Pantai Dulanga kini siap mendunia setelah Pemerintah Provinsi Gorontalo mencalonkannya sebagai situs geologi (geosite) yang dinilai UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Baca juga: Aroma Gas yang Bikin Petani Gorontalo Lupa Elpiji dan Pupuk Kimia
Mukhlis Pana’i (38), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bubohu Bongo, mengatakan, pihak UNESCO telah melaksanakan asesmen terhadap 10 kandidat geosite di Indonesia. Hal ini berarti Pantai Dulanga merupakan bentang alam yang istimewa sehingga perlu dikelola dengan mengedepankan konsep perlindungan dan keberlanjutan keanekaragaman hayati.
Keunikan Pantai Dulanga adalah terumbu karang yang hidup dan tumbuh hingga ke atas daratan. Batu karang tepian kaki bukit yang menjorok ke pantai adalah wujudnya. Mukhlis mengklaim, bukit karang di dekat pantai juga terbentuk dari terumbu karang yang tumbuh. ”Jadi bukan pantainya yang surut, melainkan karangnya yang tumbuh,” katanya.
Yamin menambahkan, beberapa pohon yang secara lokal dikenal dengan nama wolihedu juga tumbuh di atas karang-karang tersebut. Di samping itu, Pantai Dulanga memiliki potensi kekayaan bawah laut yang dapat menjadikannya destinasi selam dan snorkeling. Salah satu satwa unik yang ditemukan di sana adalah ikan napoleon (Cheilinus undulatus).
”Selama November ini ada empat ekor yang kami temukan. Kami sosialisasikan ke masyarakat agar selalu menjaga habitatnya karena kita sudah menjadi kandidat geosite sebagai bagian dari geopark (taman geologi) Provinsi Gorontalo,” ujar Yamin.
Desa wisata religi
Di samping menjadi kandidat geosite UNESCO, Desa Bongo yang juga dikenal dengan nama Desa Adat Bubohu adalah satu dari 50 desa penerima Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Bahkan, dalam kategori tersebut, Desa Bongo merupakan satu-satunya yang berpredikat desa wisata religi.
Kepala Desa Bongo Bahtiar M Yunus mengatakan, Desa Bongo merupakan sebuah kerajaan kecil bernama Bubohu pada 1750-an. Rajanya memeluk agama Islam. Salah satu kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai kini adalah parade walima, sebuah rangkaian kue kolombeng berbentuk kubah segi empat yang lancip di pucuk dan cembung di keempat sisinya.
Parade walima umumnya digelar masyarakat Gorontalo pada peringatan Maulid Nabi. Namun, kata Bahtiar, parade terbesar ada di Desa Bongo, sampai-sampai desa ini selalu menjadi rujukan provinsi sebagai pusat perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW. ”Ini adalah bukti amal ibadah serta cinta masyarakat terhadap Rasulullah,” ujar Bahtiar.
Wisata religi pun semakin berkembang sejak 1997. Seorang tokoh desa bernama Yosep Tahir Ma’ruf, yang masih keturunan salah satu Raja Bubohu, membangun sebuah pesantren alam. Kini, ada 200-an santri yang rutin datang untuk mengaji dan belajar agama. Mereka tidak memondok di sana.
Jadi bukan pantainya yang surut, melainkan karangnya yang tumbuh.
Pesantren itu terletak dalam sebuah kompleks wisata bernama Taman Wisata Religius Bubohu. Berdiri empat pondok berbentuk walima yang sekaligus berfungsi sebagai langgar bagi para santri untuk mengaji. Menurut pemandu wisata di Desa Adat Bubohu, Yohan Arbie (38), empat pondok itu juga melambangkan empat sahabat Rasulullah.
Di depan pondok-pondok itu terbentang sebuah kolam yang jika dilihat dari atas tampak seperti bayi di dalam rahim. Kolam yang disebut Kolam Asmaul Husna itu, kata Yohan, melambangkan ungkapan kasih sayang Yosep Tahir Ma’ruf kepada Allah serta orangtuanya.
Di taman itu pula dibuka sebuah museum fosil kayu, satu-satunya di Gorontalo. Fosil-fosil kayu itu diyakini sudah tersimpan selama ratusan tahun dalam tanah hingga mengeras. Menurut kepercayaan masyarakat, Yosep Tahir Ma’ruf memiliki kekuatan spiritual untuk dapat mengambil dan mengumpulkan kayu tersebut.
Selain itu, pada 2012, Yosep Tahir Ma’ruf yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat juga membangun sebuah masjid pada ketinggian 250 meter di atas permukaan Teluk Tomini, yaitu Masjid Walima Emas. Bangunan masjid itu pun penuh filosofi. Yang utama adalah kubah berbentuk walima khas Gorontalo.
Baca juga: Pemuda Merayakan Pangan Lokal Gorontalo
Selain kubah utama, terdapat pula empat kubah kecil di atap masjid yang menyimbolkan empat sahabat Nabi. Tangga dari bawah menuju pintu utama masjid yang memiliki 33 anak tangga melambangkan jumlah butiran tasbih, sedangkan 27 anak tangga ke atap masjid melambangkan peristiwa Isra Mikraj yang terjadi pada 27 Rajab.
Bahtiar, Kepala Desa Bongo, mengatakan, semua pemberian Yosep, yang meninggal pada 2019, menjadi modal untuk kesejahteraan desa. Sekalipun tidak ada tiket masuk untuk mengunjungi Masjid Walima Emas dan Taman Wisata Religius Bubohu, masyarakat tetap dapat sejahtera berkat kedatangan ribuan wisatawan yang memutar roda ekonomi desa.
Mukhlis, Ketua Pokdarwis Bubohu Bongo, mengatakan, pendapatan dari Pantai Dulanga dan dua destinasi religius bisa mencapai Rp 900 juta hingga Rp 1 miliar per tahun. Sebanyak Rp 200 juta dari jumlah itu dialokasikan ke kas pemerintah desa sebagai pendapatan asli desa.
”Berkat pendapatan itu, setiap tahun, kami dapat menyelenggarakan kegiatan sosial, seperti sunat massal. Ketika Covid-19 menyerang, kami juga membuat program makan siang gratis untuk masyarakat setiap Jumat dan Senin. Ini semua bisa menyejahterakan masyarakat,” ujar Mukhlis.
Berkelanjutan
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, yang sempat berkunjung ke Desa Bongo pada awal November 2021, menyebut desa itu berpotensi mendorong pariwisata berbasis komunitas dan religi. Pasarnya adalah wisatawan Nusantara yang mampu menghabiskan 11 miliar dollar AS per tahun untuk melancong ke luar negeri demi mencari spiritualitas.
Bagi Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo, Desa Bongo alias Bubohu perlu terus dikembangkan untuk menciptakan ekonomi berbasis alam dan kearifan lokal yang menyejahterakan masyarakat. Hal itulah yang ia sebut sebagai upaya merangkai kembali identitas lestari.
”Kami mendorong gotong royong lintas sektor antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Kami ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sembari melestarikan ekonomi. Tidak hanya salah satu,” ujar Nelson.
Komitmen untuk mewujudkan ekonomi lestari ia buat permanen melalui, salah satunya, keanggotaan Kabupaten Gorontalo dalam Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). LTKL adalah sebuah asosiasi beranggotakan sembilan kabupaten yang bertekad mendorong kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Terdapat target yang harus dipenuhi pemerintah kabupaten anggota LTKL untuk memastikan pembangunan sejalan dengan pelestarian lingkungan. Pemkab Gorontalo telah memiliki antara lain kelompok kerja perubahan iklim dan program inventarisasi gas rumah kaca. ”Sebanyak 10 persen dari APBD dan APBDes juga kami alokasikan untuk belanja di bidang lingkungan dan investasi lestari,” ujarnya.
Baca juga: Kabupaten Cari Solusi Atasi Banjir lewat Festival Kabupaten Lestari