Polda Sumut Tetapkan Empat Tersangka Tenggelamnya Kapal Calon Pekerja Migran
Dua negara, Malaysia dan Indonesia, dinilai tutup mata atas adanya pekerja migran ilegal. Akibatnya, kasus-kasus penyelundupan manusia ini terus terjadi.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumut menetapkan empat tersangka kasus tenggelamnya kapal pengangkut calon pekerja migran dari Batu Bara di Selat Malaka, akhir tahun lalu. Penyelidikan masih terus berlangsung sehingga potensi muncul tersangka baru tetap terbuka.
Direktur Reserse Kriminal Polda Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja, Senin (3/1/2022), mengatakan, sementara ada empat orang ditetapkan tersangka. Perannya beragam, mulai dari agen, penjemput, dan pemilik kapal. Total saksi yang diperiksa mencapai 23 orang.
Tantan mengatakan, polisi masih mengejar beberapa pelaku lainnya. ”Penyelidikan masih terus berlangsung dan dimungkinkan ada tambahan tersangka lagi,” kata Tatan.
Dia menambahkan, sejauh belum ditemukan adanya keterlibatan aparat. Pihaknya juga belum bisa menyampaikan jumlah korban dalam kasus itu.
Kapal naas itu awalnya bagian dari rombongan berisi 124 orang yang berangkat dari Batu Bara menuju Malaysia pada 22 Desember 2021. Namun, mendekati perairan Malaysia, kapal itu bermasalah.
Mesin kapal mati. Akibatnya, air mulai masuk kapal. Saat mesin kembali hidup, nakhoda memutuskan untuk kembali ke perairan Indonesia guna berganti kapal.
Setelah sembilan jam perjalanan, calon pekerja lantas dipindahkan ke dua kapal kayu nelayan. Setiap kapal berisi 64 orang dan 50 orang. Sementara 14 orang lainnya tidak bersedia pindah ke kapal kayu. Mereka tetap bertahan di kapal rusak.
Dua kapal kayu itu lantas melanjutkan perjalanan hingga tiba di perairan Malaysia pada 24 Desember 2021 sekitar pukul 15.00. Namun, karena tidak ada yang menerima kehadiran mereka, kapal kembali ke Indonesia pukul 20.00.
Namun, mesin kapal pengangkut 50 orang itu rusak setelah menempuh lima jam perjalanan. Kapal terombang-ambing di laut. Karena kelebihan muatan, air masuk ke dalam kapal. Penumpang yang panik memilih melompat ke laut.
Pada 25 Desember 2021 pukul 08.00, 31 penumpang itu ditolong kapal nelayan Malaysia. Mereka kemudian diserahkan kepada nelayan Indonesia asal Tanjungbalai.
Kapal nelayan Tanjungbalai itu lalu membawa rombongan ke perairan Pulau Pandang, Batu Bara. Di situ, sebuah kapal lain menjemput rombongan itu hingga para penumpangnya mendarat kembali di Batu Bara.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Siti Rolija mengatakan, pihaknya terus mengawal penyelidikan kasus ini. Pekan lalu, pihaknya bertemu Dinas Tenaga Kerja Sumut. Dengan instansi lainnya, seperti pemerintah kabupaten, kepolisian, dan TNI AL, mereka hendak bersama-sama mengantisipasi kejadian itu agar tidak terulang lagi.
Masih banyak pekerja migran yang memilih koridor tidak aman menandakan ada masalah di dalam koridor yang normal. (Wahyu Susilo)
Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo mengatakan, banyak calon pekerja yang memilih koridor tidak aman adalah tanda ada masalah di jalur normal. Diduga, ada faktor internal dan eksternal yang mendorong penyelundupan itu terus terjadi.
Secara internal, misalnya, biaya penempatan pekerja migran ke Malaysia melalui jalur resmi masih tinggi, mencapai Rp 20 juta-Rp 25 juta per orang. Hal itu menyebabkan calon tenaga kerja memilih jalur pintas meskipun berisiko.
UU No 18 /2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran sebenarnya sudah mengamanatkan pembebasan dan penurunan biaya penempatan PMI, termasuk biaya administrasi dan pelatihan. Namun, praktiknya amanat itu tidak sepenuhnya dijalankan. BP2MI dituding malah mengeluarkan kebijakan skema kredit TKI dengan pembayaran potongan 4-6 bulan gaji, termasuk pembayaran bunga.
Sementara secara eksternal, Malaysia sebagai penerima buruh migran lebih suka menerima buruh tidak berdokumen, terutama pekerja perkebunan kelapa sawit. Data berbagai lembaga advokasi pekerja migran Indonesia dan Malaysia, hampir 90 persen pekerja migran di sektor kelapa sawit tanpa dokumen (undocumented).
Perkebunan kelapa sawit, yang membutuhkan pekerja masif, ingin mendapat tenaga kerja dengan cepat, tidak bertele-tele, dan murah. Perusahaan enggan membayar pajak 2.500 ringgit per orang atau sekitar Rp 8,5 juta. Jika sekali rekrut, misalnya, perlu 15.000 orang, diperlukan dana 37,5 juta ringgit.
Malaysia, kata Wahyu, juga tidak juga menghentikan standar gandanya. Di satu sisi, mereka antipekerja ilegal, bahkan menyatakannya sebagai pendatang haram. Namun, mereka tidak menghukum perusahaan yang merekrut tenaga tanpa dokumen resmi. Padahal, perekrut tenaga di bidang kelapa sawit itu justru BUMN di Malaysia.
Indonesia juga disebutnya tidak serius menyikapi ini. Hal itu terlihat dari keterlibatan aparat. Pemerintah perlu menyelesaikan akar masalahnya agar kasus serupa tidak terulang.
”Dua negara ini tutup mata. Maka, kasus terus terjadi,” kata Wahyu.