Aroma Gas yang Bikin Petani Gorontalo Lupa Elpiji dan Pupuk Kimia
Biogas mendorong perubahan pola hidup petani di Desa Bandungrejo, Kabupaten Gorontalo. Mereka mulai meninggalkan penggunaan elpiji untuk memasak dan pupuk kimia dalam bertani. Produk pangan organik pun berkembang.
Sukoco Sarji (47) sudah putus hubungan dengan yang namanya elpiji. Kebutuhan keluarganya akan bahan bakar untuk memasak telah dipenuhi suatu sumber yang tak dinyana, yaitu kotoran sapi.
”Ibu (istri saya) sudah enggak pernah masak pakai kompor gas. Itu sudah diparkir (tidak lagi digunakan),” kata Sukoco sambil menunjuk sebuah kompor dua tungku yang mangkrak di dapur rumahnya, Senin (29/11/2021).
Warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, itu kemudian berpaling ke sebuah kompor satu tungku, lalu memutar pemantiknya. Muncullah sebuah lingkaran api biru yang besar. ”Kualitas apinya lebih bagus ketimbang pakai gas biasa. Suhu panasnya lebih tinggi, kelihatan dari warna apinya. Rebus air, masak tahu, pisang goreng, semua bisa lebih cepat matang,” lanjutnya.
Kompor itu tersambung pada sebuah pipa yang mengular dari tembok dapur hingga ke sebuah reaktor di halaman belakang rumah. Di sanalah timbunan kotoran dua ekor sapi yang ia ternak ditampung dan dibiarkan hingga menghasilkan biogas yang menjadi bahan bakar alternatif untuk memasak.
Tabung hijau elpiji 3 kilogram pun terdepak dari daftar kebutuhan bulanan keluarga Sukoco. Kini mereka bisa hidup lebih hemat tanpa terpengaruh harga elpiji 3 kg yang kerap melonjak dari Rp 18.000 menjadi Rp 35.000 akibat kelangkaan. Tak ada pula waktu yang terbuang percuma akibat lama mengantre di pangkalan elpiji.
Reaktor biogas itu dibangun pada Juni 2021 dan oleh Yayasan Rumah Energi (YRE), sebuah lembaga swadaya masyarakat pengembang energi terbarukan. Sukoco dan empat warga Desa Bandungrejo lainnya terpilih sebagai penerima hibah reaktor senilai Rp 14 juta itu karena memenuhi satu syarat penting, yaitu memelihara sapi ternak di kandang.
Baca juga: Gorontalo dan Bone Bolango Promosikan Ekonomi Lestari Lewat Festival
Mereka semua adalah transmigran asal Jawa yang memelihara ternak di kandang. Praktik ini berbeda dari cara beternak yang umum di kalangan warga setempat, yaitu mengikat sapi mereka di kebun tanpa kandang. ”Kalau enggak punya kandang, repot. Kotoran enggak bisa langsung ditampung (ke reaktor),” ujar Sukoco.
Sejak reaktor itu dibangun, Sukoco memiliki rutinitas baru. Setiap pagi, ia menuju kandang untuk menyerok tinja sapi, lalu memasukkannya ke tangki pencampur (inlet) tepat di sebelahnya. Kotoran kemudian disiram air dan diaduk hingga mengalir ke tangki digester berukuran 4 meter kubik. Kotoran yang ditampung akan membusuk dan menghasilkan biogas untuk disalurkan ke kompor.
Menurut Sukoco, kompor biogas harus sering digunakan untuk memasak, sedangkan digester tidak boleh dibiarkan kosong. Dua cara sederhana itu dapat mencegah penyumbatan pipa akibat endapan biogas. ”Tidak ada biaya perawatan asal rajin mengisi dan menggunakan. Toh, mengisi (digester) tidak sampai 10 menit setiap hari,” ujarnya.
Berkat melimpahnya biogas, Sukoco dan keluarganya kini kerap merebus air untuk mandi tanpa pusing soal biaya. Warga pun bertanya-tanya kapan YRE datang lagi untuk menawarkan reaktor. Sebagian menyesal karena telanjur percaya akan rumor bahwa biogas bikin masakan beraroma kotoran sapi.
Manfaat utama
Kendati begitu, biogas hanyalah bonus. Manfaat terbesar dari reaktor tersebut justru terletak pada ampas yang dihasilkan, yaitu pupuk alami bio-slurry yang tertampung pada bak khusus seiring semakin penuhnya digester.
YRE pun tak pergi meninggalkan petani setelah pembangunan reaktor tuntas. Supandi Asmarejo (52), petani hortikultura di Desa Bandungrejo yang juga menerima hibah reaktor biogas, mengatakan, mereka dilatih untuk mengolah ampas biogas menjadi pupuk bio-slurry cair dan padat, bahkan pestisida yang ramah lingkungan.
Kini, Supandi bisa membuat sendiri berbagai jenis pupuk organik cair, seperti ramuan kalsium dari campuran ampas bio-slurry dengan cangkang telur dan ramuan kalium dari sisa kulit pisang. Ia juga memanfaatkan sisa akar tanaman untuk membuat pupuk nitrogen cair serta kulit bawang merah dan bawang putih sebagai perangsang pertumbuhan tanaman.
”Ada teknisi biogas yang mengajari cara mengolah pupuk slurry. Setelah tahu cara bikin pupuk ini dan itu, saya coba-coba sendiri dari melihat Google, Youtube, atau postingan orang. Menurut saya enggak sulit mengolah pupuknya, saya anggap hobi saja,” kata dia.
Baca juga: Potensi Biogas Besar, Pemanfaatan Kecil
Ampas padat bio-slurry pun Supandi olah menjadi kompos untuk ditebar di tanah sebelum mulai ditanami. Menurut dia, tingkat keasaman tanah menjadi lebih seimbang di kisaran pH 7. Angka itu ideal untuk bercocok tanam. ”Kalau pakai pupuk kimia, biasanya di bawah 6,” kata dia.
Pupuk cair maupun kompos itu mulai ia gunakan pada musim tanam tomat, terong, dan jagung manis empat bulan lalu. Berkat bio-slurry, ia dapat menghemat Rp 2 juta-Rp 4 juta yang biasanya ia keluarkan untuk membeli pupuk kimia. Semua bahan ramuan pupuk itu ia dapatkan gratis, termasuk cangkang telur dari pedagang martabak.
Supandi pun mengaku sangat puas dengan hasil panen pertama tomat dari kebunnya, akhir November lalu. Buahnya bagus dan padat, sedangkan kulitnya tampak mulus mengilat.
Sekalipun belum mengetahui produktivitas tanaman, ia cukup optimistis. ”Biasanya bisa 1.500 tas yang masing-masing beratnya 7 kilogram. Tetapi, untuk sementara pohonnya kelihatan berbuah lebat,” kata dia.
Asalkan petani tekun dan ulet, kita bisa menjaga keluarga dengan pangan yang lebih sehat tanpa bahan kimia.
Sukoco tak ketinggalan. Dari total 7 hektar sawah yang ia miliki dan kelola, 0,5 hektar ia coba olah dengan pupuk organik bubuk berbahan ampas bio-slurry. Hasilnya, tanah menjadi lebih gembur. Hama seperti tikus pun tak mau mendekat setelah carian bio-slurry dituang di saluran irigasi.
Kualitas beras juga lebih bagus dan tahan lama. ”Pupuk ini sangat ramah lingkungan karena organik. Asalkan petani tekun dan ulet, kita bisa menjaga keluarga dengan pangan yang lebih sehat tanpa bahan kimia,” kata Sukoco.
Membangun manusia
Selain lima petani di Bandungrejo, YRE juga membangun reaktor biogas bagi dua warga Desa Tolite, Kecamatan Boliyohuto, dan satu reaktor di Desa Balahu, Kecamatan Tibawa. Pembangunannya didanai YRE dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), sebuah asosiasi pemerintah kabupaten yang mempromosikan pembangunan berwawasan lingkungan.
Asisten Lapangan Teknis YRE Jihan Ahmad mengatakan, delapan reaktor biogas tersebut adalah proyek percontohan untuk mempromosikan pemberdayaan masyarakat melalui energi terbarukan dan pertanian berkelanjutan. Kendati begitu, keberhasilan proyek ini akan ditentukan oleh para penerima manfaat.
Baca juga: Kabupaten Cari Solusi Atasi Banjir lewat Festival Kabupaten Lestari
”Fokus kami bukan sekadar membangun fisik reaktornya, tetapi membangun manusianya. Kami tegaskan kepada para penerima, mereka harus mau dilatih pascapembangunan reaktor agar mereka bisa menggunakan. Reaktor ini jangan sampai mangkrak,” kata Jihan.
Proyek ini dapat dikatakan berhasil jika penerima sudah mampu meramu pupuk bio-slurry sendiri dan tak lagi tergantung pada pupuk kimia yang mengandung bahan bakar fosil. Petani juga akan mendapatkan hasil panen yang berkualitas berkat perbaikan kualitas tanah.
Jihan mengatakan, memakai pupuk bio-slurry berarti mengembalikan sebanyak-banyaknya bahan organik ke tanah sehingga memulihkan potensi jasa ekosistem. Tanah yang sudah jenuh pupuk kimia pun perlahan bisa pulih lagi. Ini merupakan salah satu praktik pertanian regeneratif.
Memasak dengan biogas juga berarti mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari metana dalam kotoran sapi. Senyawa tersebut memiliki potensi pemanasan global 24 kali lebih tinggi dari karbon dioksida.
”Memang, tetap ada karbon dioksida dari pembakaran biogas. Tetapi, kita hanya akan memakai bahan yang sudah ada di permukaan bumi, bukan mengangkat sumber karbon baru dari dalam tanah,” kata Jihan.
Kalau enggak punya kandang, potensi reaktor biogas mangkrak di tengah jalan sangat besar.
Jihan berharap, proyek percontohan ini dapat mengundang lebih banyak pendanaan sehingga reaktor biogas semakin umum digunakan di Gorontalo, terutama di kalangan warga yang bukan transmigran. Kendati begitu, ada tantangan kultural yang harus diatasi, yaitu kebiasaan beternak tanpa kandang.
Dua penerima manfaat di Desa Tolite, misalnya, tidak memiliki kandang sebelum reaktor dibangun. Jihan pun mewajibkan mereka membangun kandang sapi maksimal dua bulan setelah reaktor jadi.
”Kalau enggak punya kandang, potensi reaktor biogas mangkrak di tengah jalan sangat besar. Satu-dua bulan pertama mungkin masih semangat (mengambil kotoran untuk dimasukkan ke reaktor), tetapi lama-lama pasti lelah karena pekerjaan petani bukan cuma satu (mengurus ternak),” kata Jihan.
Di lain pihak, para penerima hibah seperti Sukoco dan Supandi mengaku tak mendapatkan nilai lebih dari produk yang mereka kembangkan secara organik. Meski kualitas komoditas yang dihasilkan lebih bagus, harganya tetap sama di pasar. Padahal, butuh waktu dan tenaga lebih untuk membuat pupuk organik bio-slurry.
”Petani mau dan siap bekerja keras dan ulet mengembangkan beras organik, tetapi jelaskan dulu pasarnya. Kalau (beras) yang kualitas bagus harganya Rp 9.000-Rp 10.000 per kg, sama dengan beras biasa, apa untungnya buat kami?” kata Sukoco.
Ia pun hanya bisa merasa getir melihat beras-beras dari luar daerah yang dijual di toko-toko ritel dengan harga di kisaran Rp 15.000 per kg. Karena itu, Sukoco hanya menggunakan pupuk bio-slurry di sepetak lahan yang hasilnya ia khususkan untuk konsumsi keluarga sendiri.
Sementara itu, Supandi kerap terpaksa menjual tomatnya seharga Rp 5.000-Rp 10.000 per kantong seberat 7 kg saat panen raya. Padahal, harga ideal di pasar selama ini adalah Rp 35.000 per kantong.
Supandi memang tak keberatan mengolah pupuk sendiri. Setidaknya ia bisa menghemat ongkos pupuk. Namun, ia berharap ada kejelasan nasib pascapanen bagi produk-produk organik berkualitas yang ia kembangkan.
Dalam pembukaan Festival Kabupaten Lestari 2021, akhir November lalu, Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo menyatakan, keterlibatan daerahnya dalam LTKL bertujuan melestarikan lingkungan sambil mendorong kesejahteraan masyarakat. Tujuan akhirnya adalah mewujudkan ekonomi lestari. Realisasi retorika itu dinanti petani seperti Sukoco dan Supandi.
Baca juga: Pasar Terbuka Lebar, Pengembangan Pertanian Organik Masih Terkendala