Pasar Terbuka Lebar, Pengembangan Pertanian Organik Masih Terkendala
Pandemi Covid-19 memicu meningkatnya permintaan terhadap pangan sehat, termasuk pangan organik. Petani di Indonesia bisa mengambil kesempatan pasar tersebut. Namun, perlu usaha bersama guna menghadapi sejumlah tantangan.
Oleh
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah bibit tanaman selada yang disemai sebelum ditanam secara vertikultur di Taman Teknologi Pertanian Cigombong, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020).
MALANG, KOMPAS — Pertanian organik di Indonesia berpotensi berkembang seiring meningkatnya kesadaran hidup sehat di berbagai belahan dunia. Namun, sejumlah tantangan masih menghadang petani saat hendak mengembangkannya.
Demikian benang merah diskusi virtual bertema Pertanian Berkelanjutan yang digelar Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina), Jumat (13/11/2020). Diskusi itu menghadirkan Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Anton Apriantono; Guru Besar Keamanan Pangan Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Ahmad Sulaeman; dan Sekretaris Jenderal Dewan Kopi Indonesia Jamil Musanif.
Hadir pula Ketua Dewan Maporina Haryono Suyono dan Ketua Umum Maporina Pusat Djoko Sidik Pramono. Djoko Sidik memberikan sambutan pembuka dalam diskusi ini.
Ahmad menyatakan, selama pandemi Covid-19, permintaan hasil pertanian organik meningkat pesat. Di Amerika Serikat, kenaikan permintaannya mencapai 30 persen. Di India bahkan melonjak hingga 100 persen. Meningkatnya kesadaran masyarakat menjaga kesehatan menjadi faktor pendorong utama.
Pasien dengan gangguan jiwa berlatih berkebun di RSUD Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020). Pasien sedang membuat pupuk organik.
Indonesia, kata dia, memiliki kesempatan besar mengisi pasar pertanian organik dunia. Namun, kesempatan itu belum dimanfaatkan maksimal, baik dari sisi pasar maupun produksi.
Dalam diskusi itu terungkap sejumlah kendala, seperti banyak tanah yang ”sakit” hingga minimnya pemenuhan bibit. Selain itu, jalur pemasaran juga masih tersumbat dan permodalan kerap belum menyentuh semua petani.
Menurut Anton, sebagian tanah di Indonesia mulai jenuh karena terus diberi pupuk kimia. Untuk mengembalikan kesuburannya, butuh perawatan dalam jangka waktu lama. Sistem pertanian organik bisa menjadi salah satu solusi.
”Sayangnya, petani belum mendapatkan insentif untuk membuat pupuk organik yang menjadi bagian penting dalam sistem pertanian itu,” katanya.
Selama ini, pemerintah lebih memilih memberikan subsidi pupuk kimia pada petani nonorganik. Anton menyarankan, setidaknya 20 persen saja dari nilai subsidi pupuk kimia dialihkan ke pupuk organik. Dengan demikian, petani organik bisa terbantu.
”Subsidi pun tidak diberikan ke pabrik. Namun, langsung ke kelompok tani agar mereka bisa mengolah pupuk secara mandiri. Pupuk organik seharusnya tidak dibeli dari pabrik,” kata Anton.
Ibad (35) memeriksa penyemaian bibit tanaman selada sebelum ditanam secara vertikultur di Taman Teknologi Pertanian Cigombong, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020). Sistem pertanian semacam ini mampu meningkatkan produktivitas produksi pangan, khususnya sayuran.
Ketersediaan bibit juga menjadi persoalan. Jamil Musanif mengatakan, jumlah kebun masih terbatas, akibatnya bibit susah didapatkan. Salah satu contohnya, saat tidak ada bibit kopi di Kalimantan Utara. Padahal, petani di sana sangat memerlukannya.
”Bibit harus didatangkan dari Pulau Jawa. Hasilnya, 90 persen bibit mati di perjalanan. Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” katanya.
Dari diskusi itu juga terungkap sulitnya petani mengakes pasar saat panen raya. Pieter Tangka, pengusaha pertanian organik, mengatakan, keberadaan pasar menjadi persoalan klasik petani. Menurut Pieter, petani hampir selalu tak bisa menentukan harga. Untuk masuk ke pasar induk di Jakarta, misalnya, masih sangat sulit.
Saat akan menanam kopi di Kalimantan Utara, kami harus mendatangkan dari Jawa. Hasilnya, 90 persen bibit mati semua di perjalanan.
”Beruntung kini banyak generasi muda yang kreatif menemukan pasar. Mereka bisa menjadi manajer pemasaran,” kata Pieter.
Permodalan juga mengalami masalah pelik karena tidak menyentuh semua petani. Menyikapi ini, Djoko Sidik Pramono menekankan, beragam persoalan hanya bisa dihadapi jika pemerintah, petani, dan warga bekerja bersama untuk menjamin kedaulatan pangan berkelanjutan.
”Pemerintah saja tidak cukup, apalagi hanya petani. Harus ada usaha bersama-sama untuk mengembangkan pertanian organik berkelanjutan,” katanya.
Sayuran ditanam secara vertikultur di Taman Teknologi Pertanian Cigombong, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020). Beberapa hasil pengembangan teknik ini mampu membantu meningkatkan produktivitas sayuran organik di sejumlah pelaku pertanian tersebut.