Pertanian Organik di Magelang Belum Konsisten Dijalankan
Aktivitas pertanian organik di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, belum berlangsung konsisten. Petani sering berubah pikiran dan kembali memakai pupuk kimia. Salah satunya justru karena banyak kemudahan dari pemerintah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Aktivitas pertanian organik di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, belum dijalankan secara konsisten. Sebagian petani yang sudah memulainya sering kembali menggunakan pupuk kimia karena terdesak kebutuhan. Dampaknya, luasan lahan sawah organik justru cenderung menurun.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang Ade Sri Kuncoro mengatakan, karena perilaku yang belum konsisten, sejak 2014, luas lahan pertanian organik di Kabupaten Magelang terus fluktuatif. Terkadang bertambah luas, tetapi juga bisa menyusut.
”Melihat data selama lima tahun terakhir saja luas lahan organik di Kabupaten Magelang di tahun 2017, misalnya, pernah mencapai 1.000 hektar (ha). Tetapi, setelahnya, luas lahan terus berubah, dan saat ini terdata 817,3 ha saja,” ujar Ade, Kamis (2/7/2020).
Perubahan ini juga terlihat dari data kelompok petani pelaku pertanian organik dan sebaran pertanian organik di Kabupaten Magelang. Kecamatan Kaliangkrik, misalnya, sebelumnya sempat terdata sebagai kecamatan dengan daerah pertanian organik. Namun, data terbaru berubah karena kelompok tani di daerah itu tidak lagi melanjutkan aktivitas tersebut.
Menurut Ade, lahan pertanian organik seluas 817,3 ha tersebut tersebar di empat kecamatan, yaitu Sawangan, Grabag, Bandongan, dan Tempuran. Selain mengembangkan pertanian organik padi, tiga kecamatan di antaranya juga menerapkan sistem pertanian organik untuk bertani palawija dan sayur-sayuran.
Minat untuk bertani organik, menurut Ade, memang bisa berubah-ubah. Dalam perjalanan, petani kerap tergoda kembali menggunakan pupuk kimia. Salah satunya karena program bantuan pupuk dan obat-obatan dari pemerintah yang cukup sering disalurkan setiap tahun.
”Petani non-organik dimudahkan aktivitasnya karena berpeluang mendapatkan bantuan pupuk dan obat-obatan kimia dari pemerintah, serta sehari-hari juga bisa menggunakan pupuk kimia bersubsidi. Di sisi lain, petani organik harus mengusahakan semuanya sendiri,” ujarnya.
Petani non-organik dimudahkan aktivitasnya karena berpeluang mendapat bantuan pupuk dan obat-obatan kimia dari pemerintah. Di sisi lain, petani organik harus mengusahakan semuanya sendiri.
Petani organik juga tidak hanya memikirkan aktivitas pertanian di sawah semata, tetapi juga jaringan pemasaran sehingga produk beras yang dihasilkan terserap konsumen. Berbagai masalah ini, diakui Ade, berpeluang menyurutkan minat petani untuk bertani organik.
Padahal, jika memang berkomitmen melakukannya, para petani organik bisa jauh lebih diuntungkan karena pasar produk pangan organik, terutama beras, kini makin terbuka lebar. ”Petani organik bisa lebih meraup untung karena mereka berkuasa atas produk mereka sendiri. Untuk beras saja, harga tidak tergantung HPP (harga pembelian pemerintah) dan bisa bebas ditawarkan hingga Rp 20.000 per kg,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Gemilang, Eko Sungkono, mengatakan, dua gabungan kelompok tani organik yang tergabung di asosiasinya sejauh ini tetap eksis dan memiliki jaringan pemasaran mandiri. ”Setiap bulan, dua gabungan kelompok tani ini telah mengirimkan puluhan ton beras organik baik di Jawa maupun luar Jawa,” ujarnya.
Oleh karena termasuk golongan beras premium dan diminati kelompok masyarakat tertentu, volume penjualan beras organik tersebut terbilang rendah. Bahkan, jauh di bawah volume penjualan dari tiga kelompok padi biasa, yang mampu menjual hingga ratusan ton beras per bulan.
Oleh karena termasuk golongan beras premium dan diminati kelompok masyarakat tertentu, volume penjualan beras organik tersebut terbilang rendah.
Andono, ketua Gabungan Tani Organik Sawangan (Gatos) di Kecamatan Sawangan, mengatakan, jumlah anggota Gatos terdata 2.000 orang dengan luas areal pertanian sekitar 600 ha.
Ia mengakui, tak mudah menjaga konsistensi 2.000 petani anggota untuk menerapkan pertanian organik. ”Setiap tahun, selalu saja ada satu atau dua orang yang tiba-tiba berubah pikiran dan bertani biasa dengan bahan kimia,” ujarnya.
Andono menambahkan, sebagian petani menilai pengistirahatan lahan pertanian organik setelah ditanami juga menjadi hambatan lain. Terkait permintaan beras organik produksi Gatos, menurut dia, sebenarnya cukup tinggi, mencapai lebih dari 20 ton beras per minggu. Namun, karena keterbatasan areal dan petani, yang terkirim hanya 10 ton per minggu.
Daerah yang menjadi sasaran pengiriman antara lain Jakarta, Surabaya, dan Tegal. Tidak hanya beras putih jenis Mentik Wangi, Pandanwangi, dan IR 64, Gatos juga memproduksi dan menjual beras merah dan beras hitam.