Jabar di Antara Luka dan Rasa Kemanusiaan yang Meringankan
Di Jabar, rasa kemanusiaan direnggut dan dibagikan dalam saat berbeda pada tahun 2021. Tahun depan, banyak hal butuh perbaikan untuk masa depan lebih baik.
Perjuangan manusia mendukung sesama di Jawa Barat selama 2021 begitu haru biru. Banyak kisah hebat muncul saat Covid-19 varian Delta menggila.
Akan tetapi, kisah kepahlawanan itu terancam perbuatan kejam di ujung tahun. Ulah guru predator seksual di Kota Bandung hingga tiga tentara di Kabupaten Bandung seharusnya tidak terjadi. Tahun depan, semua pihak harus sadar masih banyak hal yang butuh diperbaiki bila tidak ingin kemanusiaan kembali terluka.
Ruang Sidang Anak di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (30/12/2021) sore, itu kembali sepi. Hanya ada bangku kosong berjejer menjadi saksi persidangan kasus hukum melibatkan anak-anak.
Suasana itu kontras saat siang hari. Ada tangis kencang perempuan terdengar di ruang berkelir biru itu. Pemilik air mata itu adalah istri dari Herry Wirawan (36), terdakwa kekerasan seksual 13 siswa di Kota Bandung. Perempuan itu menjadi saksi dalam kasus memilukan ini.
Berdasarkan fakta persidangan yang digelar tertutup itu, istri Herry mengaku berada di bawah tekanan suami. Akibatnya, dia tidak berani melaporkan ulah suaminya yang membuat masa depan 13 siswa suram selama 2016-2021. Bahkan, sebanyak sembilan bayi lahir dari sejumlah korban. Saat ini, para korban masih mengalami tekanan mental dan trauma.
”Saat istrinya menangis ketika bersaksi, terdakwa HW tampak tenang. Di sini istri juga menjadi korban karena tidak berdaya atas tindakan suaminya,” ujar Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Bimasena, seusai persidangan.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar Asep N Mulyana menyatakan, terdakwa mampu mencuci otak istrinya dan para korban untuk melakukan apa pun yang diinginkannya. Dalam persidangan ini, Asep turun tangan langsung sebagai jaksa penuntut umum.
”Jadi, kenapa istrinya tidak melapor? Dalam istilah psikologi, ada yang dirusak fungsi otaknya sehingga orang tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Boro-boro melapor, istrinya pun sempat tidak berdaya,” ujarnya.
Baca juga : Siapkan Mitigasi Hadapi Predator Kekerasan Seksual
Gunung es
Pola semacam ini sebenarnya jamak terjadi di Jabar. Banyaknya laporan yang masuk ke Komnas PA Jabar dalam setahun terakhir menjadi bukti. Tidak banyak laporan yang bisa diproses ke persidangan karena petugas kesulitan mengumpulkan keterangan para saksi.
Ketua Komnas PA Jabar Diah Puspitasari Momon menyatakan, dari puluhan kasus yang dilaporkan tahun ini, sebagian besar adalah kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Namun, pihaknya kerap terkendala, mulai dari saksi yang tiba-tiba menarik diri hingga takut melapor karena dihalangi lembaga pendidikan.
”Kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es. Ada puluhan laporan yang masuk ke Komnas PA Jabar dan mayoritas terkait kekerasan seksual seperti kasus HW ini. Namun, tidak semua saksi berani. Bahkan, ada penyelenggara pendidikan yang mencoba menghalangi karena takut namanya tercemar,” ujar Diah.
Kriminolog Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, mengatakan, penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan tidak cukup hanya dengan pendekatan terhadap korban dan pelaku. Butuh penanganan hulu hingga hilir yang saling bertautan bila tidak ingin terus terulang pada kemudian hari.
”Pendekatan menyeluruh agar semuanya tersentuh. Jangan sampai menjadi api dalam sekam sehingga terus berulang,” ujarnya di Bandung.
Menurut Yesmil, diperlukan regulasi ketat dalam pembentukan kelembagaan. Hal ini untuk memperkuat pencegahan dengan mengetahui latar belakang pendirian, profil guru, jumlah siswa, dan pendanaannya.
Langkah selanjutnya ialah pentingnya mitigasi, bukan hanya oleh kementerian dan pemerintah daerah, melainkan juga lembaga sosial. ”Jangan menunggu ’muntah’ (terjadinya kejahatan seksual) dulu baru bergerak. Buatlah program pencegahan bersama,” ucapnya.
Pengawasan oleh RT/RW dan masyarakat di sekitar sekolah ataupun pesantren juga tak kalah penting. Hal ini untuk mengetahui aktivitas keseharian guru dan siswa sehingga dapat dipantau secara berkala.
”Jika semua dilakukan, ini menjadi pendekatan terintegrasi yang komprehensif. Dengan begitu, terbentuk pengawasan paripurna dan berkelanjutan,” katanya.
Yesmil juga mengingatkan orangtua untuk selektif memilih tempat pendidikan bagi anaknya. Sebab, tak jarang pelaku kejahatan seksual memanfaatkan kepercayaan orangtua untuk melancarkan perbuatan biadab.
”Harus ada kontrol. Sebab, ada juga (pelaku) memanfaatkan (lembaga pendidikan) untuk mengeruk duit dan mencari bantuan sosial. Ini tentu merusak. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” ucapnya.
Ketua Pengurus Yayasan Sapa Sri Mulyati mengatakan, selain menghukum pelaku, masa depan korban juga harus diperhatikan. Sapa adalah lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan di Bandung.
”Yang sering luput dari kasus seperti ini adalah pendampingan terhadap korban. Bagaimana memberikan layanan psikologis dan kesehatan. Ingat, mereka masih anak-anak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pemeriksaan kesehatan reproduksi korban juga tak boleh dilewatkan. Selain itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah pemeriksaan kesehatan, salah satunya tes HIV.
”Mengingat pelaku melakukannya (pemerkosaan) dengan banyak korban. Hal seperti ini juga tidak boleh diabaikan,” ucapnya.
Kekerasan seksual oleh tenaga pendidik terhadap siswa sudah berulang kali terjadi. Di lingkungan pendidikan pesantren, orangtua mempunyai keterbatasan dalam memantau anaknya setiap saat.
”Kami mendorong pesantren memiliki layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis komunitas. Selain itu, diperlukan kurikulum tentang pemahaman kekerasan seksual,” ujarnya.
Keterlibatan tentara
Belum usai kasus kejahatan seksual, kisah menyesakkan lainnya hadir di Jabar. Perbuatan tiga prajurit TNI AD yang membuang dua korban kecelakaan, Handi Hariasaputra (17) dan Salsabila (14), juga menuai banyak kecaman.
Kejadian ini bermula saat keduanya menjadi korban kecelakaan lalu lintas di Jalan Nasional III, Nagreg, Kabupaten Bandung, Jabar, Rabu (8/12/2021). Keduanya berboncengan menggunakan sepeda motor dan ditabrak mobil yang berisi Kolonel P, Kopral Satu DA, dan Kopral Dua A. Terkapar tidak berdaya, keduanya lantas dibawa ketiga tentara itu menggunakan mobil.
Handi dan Salsabila dibuang ke Sungai Serayu, Jawa Tengah. Handi disebut masih hidup saat ditenggelamkan. Perbuatan pelaku dengan cepat dan mudah merenggut rasa kemanusiaan banyak orang.
Yesmil mengatakan, diperlukan evaluasi prajurit secara rutin agar kejadian serupa tidak berulang. ”Pembinaan bukan hanya fisik, melainkan juga mental dan spiritual,” ujarnya.
Yesmil menambahkan, anggota TNI semestinya bertanggung jawab atas perbuatannya sebagai bentuk memegang teguh sumpah prajurit. Ia juga mengusulkan pembenahan perekrutan prajurit yang lebih selektif untuk memilih anggota yang tidak lari dari tanggung jawab.
Baca juga : Mimpi Handi Jadi Prajurit TNI Hanyut di Sungai Serayu
Kepala Staf TNI AD Jenderal Dudung Abdurachman berjanji akan menegakkan hukum secara tegas dan transparan. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan keadilan hukum sesuai fakta di pengadilan.
”TNI AD akan tunduk kepada supremasi hukum dengan menyerahkan penyelesaian perkara berdasarkan peradilan militer. Masalah pemecatan, TNI AD akan menyesuaikan atas apa yang menjadi putusan peradilan,” ujarnya.
Dua kisah memilukan sepertinya cukup meremukkan hati banyak orang. Semuanya menjadi ironi di tengah suburnya pupuk kemanusiaan di Jabar sepanjang tahun 2021.
Solidaritas untuk penyintas
Simak kisah Yaya Risbaya (30) bersama kawan-kawannya lewat Dapur Musafir. Sejak Mei 2020, mereka setia berbagi lewat nasi bungkus gratis.
Kiprah mereka membuktikan tidak perlu menunggu banyak harta untuk berbagi. Modal memasaknya dari kantong sendiri dan iuran teman dekat. Tempat memasaknya menggunakan ruang tengah kontrakan berukuran 3 meter x 6 meter. Bahkan, alat masaknya hasil pinjaman tetangga.
Dari keterbatasan itu, hasilnya nyata. Dalam berbagai sesi memasak, mereka bisa menghasilkan hingga 70 bungkus nasi. Bila awalnya untuk solidaritas seniman yang sepi panggung, Dapur Musafir lantas dinikmati kaum papa yang hidup di jalanan Kota Bandung. Pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan mendapatkannya.
Mahesa El Gasani (27), seniman, bersama rekan-rekannya di Komunitas Sahabat Uncle Teebob, juga setiap akhir pekan berkeliling di pusat kota, seperti Alun-alun Kota Bandung, Jalan Braga, dan Jalan Asia Afrika, di pertengahan tahun ini. Dalam sekali pertemuan, mereka membagikan 500 paket makanan.
”Walau berupa nasi bungkus dan lauk sederhana, kami mencoba membantu mereka,” ujarnya.
Selain di jalanan, Mahesa bersama sukarelawan di lingkungan rumahnya di Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, juga memberikan makanan kepada warga yang kesulitan. Ada warga yang kehilangan pekerjaan, ada pula warga yang menjalani isolasi mandiri di rumah.
”Ada yang sudah di-PHK, kena Covid-19 pula. Kami bantu dengan makanan supaya tak kebanyakan pikiran,” ucapnya.
Dunia usaha kuliner juga tidak ingin egois. Bahkan, saat bisnis tak secerah sebelumnya, mereka tidak ingin melewatkan kesempatan berbagi. Pemilik Himas Coffee and Eatery Cirebon, Teddy Dharmadi Chandra (29), mengatakan, usahanya sebenarnya juga terdampak pandemi. Baru sebulan beroperasi, kafenya lesu pembeli. Kondisi kian sulit pada April 2020 saat ada pembatasan sosial berskala besar.
”Omzet jatuh sampai 90 persen,” ujarnya.
Alih-alih menutup usaha, ia malah menggagas berbagi makanan gratis 100 porsi untuk warga yang terpinggirkan sejak Oktober 2020. Tempat ini menyuguhkan sarapan gratis bagi mereka yang kurang mampu setiap Jumat pada minggu kedua dan minggu keempat. Ada 100 paket ayam geprek gratis setiap kegiatan. Syaratnya, menukarkan kupon dan mematuhi protokol kesehatan.
Teddy mengatakan, hal itu bukan teknik pemasaran mencari untung. Ia hanya ingin berbagi pada periode sulit ini. Dia yakin masih banyak orang yang lebih sulit menjalani hidup di luar sana.
”Ayah pernah melihat pemulung ambil tikus dan dimasukkan ke gerobak, bukan disingkirkan. Kami berpikir, tikus itu untuk apa? Apa hidup sesusah ini sekarang?” ujarnya.
Sucipto Chandra (64), ayah Teddy, mengatakan, di tengah kondisi sulit, berbagi merupakan solusi bagi semua. Perbedaan latar belakang ekonomi, agama, dan etnis sepatutnya tidak menjadi penghalang untuk berbagi.
Bagi keturunan Tionghoa ini, kemanusiaan tidak terbatas suku, ras, agama, dan golongan. Pandemi juga begitu. Hanya dengan berbagi, kesulitan dan perbedaan bisa dihadapi bersama.
”Ada pepatah Khonghucu mengatakan, kalau ingin tegak, tegakkan orang lain terlebih dahulu. Kalau mau maju, majukan orang lain dulu,” kata mantan Wakil Ketua Majelis Agama Khonghucu Indonesia Cirebon itu.
Tidak hanya untuk mereka yang lapar, ragam kuliner di Jabar bisa menjadi sumber solidaritas bagi mereka yang merasa dikucilkan saat pandemi. The Goodlife, kedai kuliner di Jabar, misalnya, memberikan potongan harga hingga 50 persen bagi mereka yang menjalani isolasi mandiri, pertengahan 2021.
Sari Asih (47), pemilik The Goodlife, mengatakan, potongan diberikan untuk menu andalan, seperti chicken cream soup dengan roti panggang, quiche pesto dengan salad, dan lebanese breakfast. Menu itu diklaim memiliki bahan menyehatkan.
Kisah berbagi ini merupakan lanjutan dari program sebelumnya. Tahun lalu, bersama kelompok penggemar makanan asal Bandung, Parti Gastronomi, Asih membagikan paket makanan untuk tenaga kesehatan.
”Kami ingin terus berbagi,” ujarnya.
Kozi Coffee Bandung punya cara lain. Ramanda Audia Adam (40), pemilik Kozi Coffee, mengatakan, pandemi tak mudah dijalani bagi sebagian orang. Ada yang nekat turun ke jalan dengan risiko dagangan sepi atau tertular Covid-19.
Lewat pembagian sekotak nasi di pertengahan tahun 2021, ia berharap ikut meringankan beban. Uang makan siang setidaknya bisa disimpan untuk menambah penghasilan. ”Kami melakukannya sejak Senin silam. Jumlahnya tak tetap. Hari ini ada 40 paket lebih yang dibagi,” kata Ramanda.
Punya cabang tersebar di Bandung dan Jakarta, Kozi Coffee juga menawarkan potongan harga 10 persen kepada konsumen yang telah divaksin.
Ramanda juga mengajak pelaku kuliner lain untuk berbagi. Mereka pun memberikan paket makanan beserta vitamin untuk warga yang tengah menjalani isolasi mandiri. Beberapa di antaranya yang terlibat, Imah Babaturan, Volks, Mimilu, dan Nasi Pedas Maicih. Sebanyak 28 menu dengan nilai per paket tak lebih dari Rp 70.000 disajikan kepada pelanggan.
”Kami tetap berjualan, tetapi menyelipkan nilai berbagi,” ujarnya.
Mendapat begitu banyak cinta, sebagian penyintas Covid-19 di Jabar juga tidak ingin ketinggalan berbagi. Di Bandung, mereka datang ke Palang Merah Indonesia setempat untuk mendonorkan plasma darahnya. Layanan donor plasma konvalesen dibuka PMI Bandung sejak Oktober 2020.
Menurut Kepala Subbagian Teknologi Informasi dan Hubungan Masyarakat Unit Transfusi Darah PMI Bandung Budi Wandina, hingga akhir Desember 2020, lebih dari 50 penyintas Covid-19 yang berdonor. Jumlah itu masih sangat minim dibandingkan dengan lebih dari 6.000 penyintas di Bandung.
”Permintaan plasma konvalesen sangat banyak. Dalam hitungan jam, plasma yang baru didonorkan sudah didistribusikan ke sejumlah rumah sakit di Bandung,” ucapnya (Kompas, 26 Januari 2021).
Warna tentang manusia begitu beragam di tahun 2021. Saat kemanusiaan tidak mati saat pandemi, ulah segelintir orang rentan mencoreng kisah baik yang sudah terbangun. Tanggung jawab kita semua meminimalkan hal buruk dan meninggikan kemanusiaan ke tempat terbaiknya.
Baca juga : Teladan Besar Itu Muncul dari Gang Sempit