Mitigasi kekerasan seksual di negeri ini masih belum mampu membendung aksi para predator. Selain upaya hukum, pendampingan korban dan pengentasan rakyat dari kemiskinan perlu perhatian banyak pihak.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/CORNELIUS HELMY
·5 menit baca
Jumat (10/12/2021) di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, Cirebon, Jabar, semarak. Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan digelar lewat acara bertajuk Orange the World Ekspress Your Orange: Panggung Perempuan. Kegiatan itu digelar antara lain oleh Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan, Fahmina Institute, dan Women Crisis Center Mawar Balqis.
Tema hari itu selaras dengan pokok pikiran global untuk kampanye antikekerasan perempuan tahun ini, ”Orange the World: End Violence Against Women Now! (Selesaikan Kekerasan terhadap Perempuan Sekarang !)”. Warna oranye (orange) menjadi simbol harapan masa depan cerah bagi anak dan perempuan bebas dari kekerasan.
Salah satu keyakinan itu dikatakan perempuan ulama Nyai Masriyah Amva. Dalam pidatonya, ia mengajak seluruh elemen masyarakat mencegah kekerasan terhadap perempuan. Namun, dari banyak kata yang dilontarkannya, kutipan ajaran rasulullah, Nabi Muhammad SAW, bisa jadi yang paling mengena. Alasannya, banyak kalangan seperti lupa dengan itu.
”Sebaik-baiknya laki-laki adalah yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan,” katanya lantang.
Kasus Herry Wirawan yang baru saja terungkap menjadi contoh buruk lelaki yang lupa memuliakan perempuan. Pemimpin salah satu pesantren di Bandung ini memerkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan pada kurun 2016-2021.
Saat kejadian, para korban yang berasal dari keluarga tidak mampu itu berusia 13-16 tahun. Herry yang kini sudah duduk di kursi terdakwa diduga menggunakan uang bantuan pemerintah untuk memuluskan perbuatan mesumnya. Di pengadilan, Herry kini dituntut hukuman penjara hingga 20 tahun. Proses pengadilan saat ini masih berlangsung.
Banyak kalangan terpukul dengan kasus ini. Dilakukan seorang guru, terjadi di tempat pendidikan penjaga moral, hingga berlangsung dalam waktu lama tanpa diketahui aparat, jelas bukan hal sepele. Semua menunjukkan masih lemahnya mitigasi bangsa menghadapi kasus memilukan ini.
Merujuk Catatan Tahunan 2021 Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 terdata 299.911 kasus. Jika dibandingkan tahun 2019, sebesar 431.471 kasus, jumlah itu bisa jadi terlihat menurun.
Akan tetapi, fakta di lapangan berbeda. Akibat pandemi Covid-19, besar kemungkinan, jumlahnya jauh lebih besar. Selain pemahaman literasi teknologi yang minim dan keengganan korban mengadu, sistem pelaporan yang ada belum bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan situasi pandemi.
Lemahnya mitigasi
Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Nyai Awanilah Amva menilai pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan acap kali menggunakan dalih ketaatan murid terhadap gurunya. ”Misalnya, kalau santri tidak menuruti permintaan gurunya dianggap tak taat. Terus, nanti (diancam) ilmunya tidak bermanfaat. Ini alasan klasik,” katanya.
Menurut Awanilah, pemahaman tentang keadilan jender kepada santri dan guru bisa mencegah kekerasan seksual. Pemahaman semua orang harus menerima perlakuan yang adil dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas jender itu, katanya, akan membangun pikiran kritis tentang ketaatan.
”Santri akan berpikir, ketaatan yang seharusnya seperti apa? Yang pasti bukan seperti itu (kekerasan seksual),” ujarnya. Pondok pesantren pun, lanjutnya, seharusnya tidak alergi dengan pemikiran yang menjunjung hak-hak perempuan.
Untuk mencegah kasus serupa terjadi di satuan pendidikan berbasis agama, pihaknya memasukkan mata kuliah terkait keadilan jender di Mahad Aly Kebon Jambu, satuan pendidikan tinggi di pesantren itu. ”Pemahaman ini juga kami selipkan di pengajian santri,” ucap Awanilah.
Pihaknya juga menyiapkan badan konseling untuk santri melapor tentang kasus perundungan hingga kekerasan seksual. ”Sampai saat ini tidak ada kasus kekerasan seksual. Kami juga berupaya memberikan ruang agar santriwati speakup (bersuara),” katanya.
Ponpes berisi lebih kurang 1.000 santri itu juga kerap menggelar acara yang memuat tentang perempuan. Pada 2017, misalnya, pertama kali dilaksanakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Salah satu rekomendasinya untuk ulama adalah mendorong perspektif keadilan hakiki dalam relasi perempuan dan laki-laki.
Studi motif
Dokter Spesialis Kejiwaan dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Limijati Bandung Teddy Hidayat berpendapat, pendidikan pencegahan terhadap kekerasan seksual terhadap anak penting dilakukan. Pengawasan orangtua, institusi pendidikan, dan pemerintah diperlukan untuk mengantisipasi kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi.
”Banyak anak masih tidak tahu seperti apa bentuk kekerasan seksual ini,” ujarnya.
Ke depan, selain memberikan pemahaman yang tepat, orangtua jangan terlalu mudah melepaskan anak-anaknya. Pemerintah juga seharusnya bisa ketat mengawasi sekolah-sekolah agar bebas dari perilaku menyimpang.
Studi pengalaman masa lalu terdakwa juga perlu ditelusuri. Tujuannya, menemukan motif pemicu di balik perbuatan itu. Sejumlah faktor, seperti genetik, pola pendidikan, dan trauma masa lalu, bisa memicu perilaku menyimpang itu.
Dalam kasus HW, Teddy berpendapat pelaku punya banyak tipu muslihat. Pelaku berhasil memperdayai korban agar tidak melapor selama lima tahun. HW juga lihai menyampaikan indoktrinasi dan intimidasi secara bersamaan untuk memengaruhi korban.
Dampak terhadap korban ini bisa menjadi seumur hidup. Trauma-trauma ini akan terus ada, bahkan bisa menjadi gangguan penyimpangan seksual. Ini adalah urusan jangka panjang. (Teddy Hidayat)
”Semua dilakukan untuk memuaskan nafsu tanpa mempertimbangkan moral baik atau buruk. Orang-orang seperti ini disebut psikopat. Harus ada hukuman berat bagi dia,” ujarnya.
Akan tetapi, pendampingan korban juga jangan dilupakan meski kasus hukum pada terdakwa sudah dijatuhkan. Butuh perhatian jangka panjang untuk memastikan korban lepas dari trauma. Pendampingan yang tidak tuntas rentan memicu korban kian terpuruk atau justru menjadi pelaku tindakan ini kelak.
”Dampak terhadap korban ini bisa menjadi seumur hidup. Trauma-trauma ini akan terus ada, bahkan bisa menjadi gangguan penyimpangan seksual. Ini adalah urusan jangka panjang. Masa menjelang puber dan masa menjelang menikah adalah titik-titik rawan,” ujarnya.
Kemiskinan
Untuk memuluskan hal itu, Sri Mulyati, Ketua Pengurus Yayasan Sapa, lembaga pendampingan korban kekerasan di Bandung, berharap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan. Tidak hanya memberi perlindungan yang lebih kuat kepada korban kekerasan seksual, aturan hukum itu juga mewajibkan negara merehabilitasi pelaku mencegah kejadian serupa terjadi.
Selain itu, perhatian pada masalah ekonomi dan sosial juga harus dilakukan. Dia menyebutkan, salah satu yang krusial adalah kemiskinan yang ikut meledakkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Banyak bukti sudah ia dapatkan dari beberapa kasus kekerasan yang didampinginya.
Sri mengatakan, sebagian besar pelaku dan korbannya adalah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Bahkan, tidak jarang pelakunya pengangguran. Kondisi itu membuat pelaku tidak memiliki pemahaman seksual yang baik. Korban pun akhirnya hanya diam karena tidak tahu harus melakukan apa.
”Pemerintah harus memasukkan isu kekerasan pada perempuan di setiap program perbaikan kesejahteraan. Contohnya, prioritaskan perbaikan rumah sempit tanpa sekat yang diisi banyak orang. Banyak pengalaman hal ini rentan memicu kasus pemerkosaan yang menimpa anak yang dilakukan orangtua atau kerabatnya yang tinggal seatap. Semua elemen harus peduli pada isu ini,” katanya.
Persoalan kekerasan seksual jelas diselubungi multidimensi. Sulit menyelesaikan masalah apabila strategi penyelesaiannya parsial atau ramai saat penyimpangan telanjur terjadi. Butuh mitigasi lebih maju menghadapi tipu muslihat predator seksual yang terus mengintai.